spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kaltim Bisa Minta Perbaikan Regulasi, Setelah MK Perintahkan UU Omnibus Law Dikoreksi

Wisnu Juliansyah, 23 tahun, sedang memainkan gawai pintar ketika mengikuti Aksi Kamisan Kaltim di depan Kantor Gubernur di Samarinda. Mahasiswa Universitas Mulawarman tersebut kemudian membaca berkas putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja. MK menetapkan beleid tersebut inkonsistusional bersyarat dan harus direvisi selama dua tahun.

Putusan MK ini adalah perkembangan yang luar biasa bagi Wisnu. Tahun lalu, ia sampai harus dipenjara karena menentang omnibus law. Setelah demonstrasi menolak undang-undang sapu jagat di kantor DPRD Kaltim, Wisnu dijatuhi hukuman lima bulan penjara.

“Sampai hari ini, saya tetap menolak UU Cipta Kerja. Perasaan saya campur aduk membaca putusan MK ini,” terang mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Politik, Unmul, tersebut, ketika ditemui kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com pada Kamis, 25 November 2021.

Pada hari yang sama, MK baru saja mengumumkan putusan uji materi UU Cipta Kerja. Omnibus law disebut inkonstitusional secara bersyarat atau tidak sesuai UUD 1945. Putusan ini dibacakan Ketua MK, Anwar Usman, dalam sidang uji formil yang disiarkan daring.

Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas, pembuatan UU baru atau hanya merevisi aturan sebelumnya. Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan kepada publik meski sudah ada beberapa pertemuan dengan sejumlah pihak. Pertemuan itu dinilai belum sampai tahap substansi UU. Draf UU juga dinilai tidak mudah diakses oleh publik.

MK menyatakan, omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja inkostitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan. Dalam kurun tersebut, seluruh UU dalam omnibus tetap berlaku sampai diperbaiki. Apabila dalam dua tahun tidak diperbaiki, omnibus Law otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.

Wisnu mengaku bahagia dengan putusan itu. Perjuangannya tidak sia-sia. Akan tetapi, di sisi lain, ia mengaku heran karena UU tersebut masih bisa direvisi. Jika omnibus law memang bertentangan dengan undang-undang dasar, menurutnya, peraturan seharusnya tidak diberlakukan.

“Kalau memang cacat, kenapa harus menunggu diperbaiki? Buat apa kelompok masyarakat dan mahasiswa sampai berdarah-darah menolak? Mending dibatalkan saja,” tegasnya.

TANGGAPAN PARA PIHAK
Pendapat Wisnu dibenarkan tiga organisasi masyarakat sipil di Kaltim. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Kelompok Kerja 30, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, bersuara seragam. Kaltim menerima dampak besar dari UU Cipta Kerja. Satu di antaranya adalah sejumlah kawasan ekologi dan kewajiban untuk menyediakan ruang terbuka hijau yang hilang. Putusan MK mengenai uji materi seharusnya bukan merevisi tetapi membatalkan UU Cipta Kerja.

“Aneh juga disebut inkonstitusional bersyarat. Pilihannya, ‘kan, cuma dua. Sesuai UUD 1945 atau tidak. Ini artinya, secara politik MK juga bermanuver,” jelas Rupang. Jatam juga pesimistis dengan pemerintah daerah memperjuangkan penolakan omnibus law. Sepanjang periode Gubernur Isran Noor, kata Rupang, tidak ada satu pun kritik terhadap undang-undang yang sifatnya memberatkan daerah tersebut.

Sementara Sekretaris Provinsi Kaltim, Muhammad Sa’Bani, menanggapi dengan singkat. Ia mengatakan, Pemprov Kaltim menunggu arahan dari pemerintah pusat. “Ada batas waktu dua tahun. Undang-undang itu sepenuhnya kewenangan pusat,” ucapnya melalui aplikasi percakapan.

Dua legislator Senayan dari daerah pemilihan Kaltim menanggapi putusan MK ini. Pertama, Wakil Ketua Komisi X DPR-RI, Hetifah Sjaifudian. Politikus Partai Golkar ini hanya meneruskan pesan yang dikirimkan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Isi pesan tersebut adalah empat poin penjelasan pemerintah pusat atas putusan MK.

Pertama, pemerintah menghormati dan mematuhi putusan MK. Kedua, UU Cipta Kerja tetap berlaku secara konstitusional sampai perbaikan sesuai tenggat waktu. Ketiga, menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menerbitkan peraturan strategis baru selama perbaikan. Keempat, segera menindaklanjuti putusan MK dan memperbaiki undang-undang sebagaimana putusan tersebut.

Sementara itu, anggota Komisi V DPR-RI, Irwan Fecho, mengaku, senang dengan putusan MK. Irwan menjelaskan, Fraksi Partai Demokrat sedari awal menolak pengesahan peraturan tersebut sampai walk out. Peraturan ini dianggap Demokrat tidak merepresentasikan keinginan masyarakat.

UU Cipta Kerja menghilangkan kewenangan daerah, menyebabkan kerusakan lingkungan, dan menghilangkan hak-hak pekerja. Proses penetapannya pun berjalan cepat dan menabrak tahapan perundang-undangan.

Irwan menjelaskan, DPR akan mengawal putusan MK. Revisi UU Cipta Kerja pun didorong masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Perbaikannya diharapkan melibatkan berbagai pihak, seperti akademikus, kelompok sipil, dan pemerintah daerah.

Khusus yang terakhir, ia menilai, daerah sebaiknya berinisiatif memanfaatkan status quo dua tahun tersebut. Pemerintah daerah merasakan langsung dampak ditariknya berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat. Pemerintah bisa memperkuat diri dengan memunculkan peraturan daerah (perda) dan aktif berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

“Jadi proses perbaikan peraturan tersebut harus betul-betul diperjuangkan. Saya cuma berharap, mudah-mudahan mikrofonnya kada dimatikan lagi. Karena kalau dimatikan, pasti saya lawan,” pungkasnya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img