spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

12 Tahun Perjuangan Warga Dayak Modang Pertahankan Hutan Adat dari Perusahaan Sawit 

Topi adat yang menutupi kepala Daud Lewing sedikit basah terkena rintik hujan ketika laki-laki itu duduk di teras Kantor Perkumpulan Nurani Perempuan di Jalan KS Tubun Dalam, Samarinda. Sibuk mengutak-ngatik telepon selulernya, Daud dengan sabar menunggu anggota DPR RI dari Kaltim, Hetifah Sjaifudian. Politikus Partai Golkar itu sedianya menemui Daud secara daring pada Senin, 13 September 2021.

Daud Lewing adalah kepala adat Dayak Modang Long Wai. Kepada Hetifah, ia ingin menyampaikan nasib kampung halamannya, Long Bentuq, Busang, Kutai Timur, yang disebut digusur perusahaan kelapa sawit. Tanah yang bermasalah itu luasnya 4 ribu hektare dan disebut milik masyarakat adat Dayak Modang Long Wai.

Kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Daud mengisahkan masalah dari awal. Sebermula pada 2006 ketika Bupati Kutai Timur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 22/02.188.45/HK/I/2006. Surat itu berisi izin perkebunan sawit kepada dua perusahaan, satu di antaranya PT Sumber Abadi Wana Agung (SAWA). Konsesi PT SAWA, menurut SK Bupati, seluas 14.350 hektare di 16 desa termasuk Long Bentuq.

Izin perkebunan itu akhirnya didengar dua masyarakat hukum adat yakni Dayak Modang dan Dayak Kenyah yang tinggal di 16 desa. Setahun sebelum perusahaan beroperasi, kedua masyarakat adat sepakat menolak perkebunan kelapa sawit dan industri ekstraktif yang lain. “Kami masyarakat Dayak sangat bergantung dengan hutan sebagaimana leluhur kami mengamanahkannya,” terang Daud.

Perusahaan disebut perlahan-lahan masuk. Daud bercerita, korporasi mulai menggalang dukungan desa lain dengan iming-iming keuntungan dari perkebunan sawit. Long Bentuq bersikukuh menolak sawit. Daud menuding, perusahaan mendorong warga dari desa tetangga untuk menggarap lahan yang masuk wilayah Long Bentuq.

Garapan ini ditengarai tidak lepas dari masalah tata batas Desa Long Bentuq. Pada awalnya, sesuai hasil rapat bersama penetapan tata batas Desa Long Bentuq pada 1993, luas desa adalah 51 ribu hektare. Peta wilayah yang diterbitkan pada 2015 memangkas wilayah Long Bentuq menjadi tinggal 13.500 hektare. Dari luas tersebut, 4.000 hektare telah dibuka perusahaan dan ditanami sawit.

“Jika dikurangi peta wilayah pada 2015, sisa hutan adat Long Bentuq tinggal 9.500 hektare. Sisanya sawit. Sekarang ini, mungkin lebih luas lagi hutan yang digunduli,” terang Daud.

Warga Long Bentuq disebut terkena dampaknya. Operasi perusahaan sawit dituding merusak ekosistem tiga sungai yaitu Long Beloah, Mendom, dan Menwewa (Atan). Banyak warga Long Bentuq akhirnya kesulitan menyambung hidup dari hasil hutan dan sungai.

Penolakan warga terhadap kehadiran perusahaan dimulai pada 2009. Warga Long Bentuq mengirim surat pengaduan kepada Komnas HAM. Komisi menindaklanjuti dengan mengirim surat kepada Bupati Kutai Timur untuk meminta penjelasan. Belum lagi masalah itu selesai, persoalan baru kembali muncul. Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 12/HGU/BPN RI/2011 tentang Pemberian Hak Guna Usaha kepada PT SAWA.

Daud bersama Sekretaris Adat Dayak Modang Long Wai, Benediktus Beng Lui, dan Dewan Adat Daerah Kaltim, Elisason, terus menjadi motor dalam perlawanan ini. Pada 2012, Kepala Desa Long Bentuq mengirim surat kepada Pimpinan PT SAWA. Kades melarang kegiatan perusahaan di wilayah adat namun, kata Daud, tidak digubris.

Setahun kemudian, kepala desa, kepala adat, badan permusyawaratan desa, dan tokoh adat mengirim surat kepada Dewan Kehutanan Nasional. Mereka meminta bantuan mengenai persoalan sengketa hutan adat tersebut. Tidak selesai juga. Benediktus Beng Lui kemudian melaporkan PT SAWA kepada Dinas Kehutanan Kutai Timur pada 2014. Waktu itu, dinas menahan kayu milik PT SAWA yang menyebabkan perwakilan perusahaan datang ke Long Bentuq untuk klarifikasi.

“Itu kemenangan kecil bagi kami. Selanjutnya, pada 2018, kami ditawari kemitraan atau plasma,” jelas Benekditus, yang juga hadir dalam pertemuan daring dengan anggota DPR RI Hetifah.

Kepada warga, sambungnya, PT SAWA menawarkan plasma akan tetapi berlandaskan persetujuan kelompok tani desa tetangga. Warga Long Bentuq lagi-lagi teguh dengan pendirian. Mereka meminta perusahaan menghentikan aktivitas perkebunan.

Dua tahun tanpa kejelasan, pada 2020, warga Long Bentuq bergerak. Mereka menutup akses pengangkut crude palm oil (CPO) perusahaan. Tindakan warga ini rupanya berbuntut panjang. Delapan tokoh masyarakat diperiksa karena disangka melanggar pasal 192 KUHP dan Undang-Undang 38/2004 setelah memblokir jalan. Tiga di antara mereka adalah Daud, Benekditus, dan Elisason, yang dikabarkan dijemput puluhan petugas bersenjata lengkap.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjafudian, geram dan sedih melihat video dokumentasi yang disertai penjelasan warga Long Bentuq. Hetifah melihat masih ada peluang persoalan ini dibawa ke kementerian terkait. Meskipun demikian, solusi konkret adalah pengesahan Rancangan UU Masyarakat Adat.

“RUU tersebut memang masih menjadi tugas kami di pusat. Tetapi, saya sudah mendengar kalau warga sudah menyampaikan keluhan ke KSP (kantor staf presiden) dan yang lain. Coba nanti masalah ini dibawa ke dirjen agar dapat solusi,” saran Hetifah.

Sementara itu, Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menyatakan bahwa perjuangan masyarakat merupakan hal wajar. Ada satu fakta yang tak terbantahkan dari kejadian ini. Bahwasanya, hampir seluruh siklus hidup masyarakat adat Dayak bergantung kepada hutan adat. “Wajar bila kemudian masyarakat adat Dayak berjuang mati-matian demi hutan adat tersebut. Hidup-mati mereka di hutan itu,” tegasnya.

PENJELASAN PT SAWA

Di tempat terpisah, General Manager License & Corporate Social Responsibility PT SAWA, Angga Rachmat Perdana, memberikan penjelasan. Dalam rilis yang diterima kaltimkece.id, PT SAWA mengeklaim telah mengganti rugi seluruh bidang tanah yang dimiliki dan dikuasai masyarakat pada rentang 2009 hingga 2012. PT SAWA melibatkan panitia sembilan serta kepala adat Dayak dari tiga desa; Long Pejeng, Long Lees, dan Long Nyelong, dalam pembebasan lahan tersebut. “Termasuk Kepala Adat Besar Suku Dayak Kenyah Se-Sei Atan dan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura,” jelas Angga.

Pada 2015, terjadi perubahan atau pergeseran batas desa. Sebagian lahan yang sebelumnya masuk wilayah Long Pejeng menjadi wilayah Long Bentuq. Pergeseran wilayah ini melahirkan tuntutan dari kepala adat Dayak Long Bentuq. PT SAWA diminta membayar denda adat sebesar Rp 15 miliar. Padahal, Angga menambahkan, biaya ganti rugi sudah dibayarkan kepada masyarakat setempat dengan persetujuan para kepala adat.

Sengketa ini sempat dimediasi Pemkab Kutim pada 2015. Kesimpulannya, tuntutan tidak dapat dikabulkan karena perusahaan telah memberi ganti rugi kepada masyarakat. Lagi pula, dalam diktum ketiga SK Bupati 130/2015 tentang perubahan batas desa, hak-hak yang telah ada tetap berlaku dan diakui keberadaannya.

Tuntutan tadi disebut terus bergulir hingga akhir 2020. Angga menjelaskan, PT SAWA mengambil jalan tengah dengan menawarkan kerja sama kemitraan bagi masyarakat Desa Long Bentuq. Kerja sama ini berbentuk percetakan sawah, tanaman jagung, kelapa sawit, ternak sapi, dan sebagainya. Tawaran ini yang ditolak Kepala Adat Dayak di Long Bentuq.

“Sedangkan Kepala Desa Long Bentuq beserta mayoritas masyarakat Desa Long Bentuq menerima solusi tersebut,” klaim Angga.

Akhirnya, pada 30 Januari 2021, Angga menyebutkan bahwa Kepala Adat Dayak Long Bentuq telah menutup akses jalan di Kilometer 16. Pemortalan ini menyebabkan PT SAWA tidak dapat mendistribusikan hasil produksinya. Penutupan juga mengganggu aktivitas masyarakat dan perusahaan lain.

“Sekaligus menghambat misi pemerintah dalam mendorong produktivitas sawit sebagai penopang ekonomi nasional semasa krisis akibat pandemi Covid-19,” jelasnya.

Pemkab Kutim kembali memfasilitasi pertemuan pihak-pihak yang bertikai disaksikan Dewan Adat Dayak Kaltim pada Februari 2021. Musyawarah itu, terang Angga, menghasilkan 5 kesepakatan. Pertama, Pemkab menegaskan batas Desa Long Bentuq mengacu SK Bupati Nomor 130/K.905/2015. Kedua, perubahan garis batas Desa Long Bentuq dapat diusulkan melalui mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kesepakatan ketiga, masyarakat Desa Long Bentuq menyatakan tidak berdemonstrasi, memortal, maupun kegiatan lain yang bertentangan dengan perundangan-undangan. Keempat, PT SAWA akan melaksanakan kewajiban pembangunan kebun plasma (lokasinya di areal PT HPM), kemitraan, CSR, serta pemberdayaan masyarakat Desa Long Bentuq. Pelaksanaannya difasilitasi Camat Busang dan Kepala Desa Long Bentuq.

Hanya beberapa hari setelah kesepakatan dicapai, Angga menambahkan, Kepala Adat Desa Long Bentuq justru berdemonstrasi di wilayah HGU secara paksa dan mematok lahan tanpa izin. Meskipun demikian, PT SAWA tetap mengakomodasi masyarakat yang berbeda pemahaman. Upaya mediasi ini difasilitasi Keuskupan dan Kantor Staf Presiden. “Mediasi masih berjalan,” tutupnya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img