spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Soal Politik Uang, Pernyataan Menkopolhukam Jadi “Early Warning System” bagi KPU

JAKARTA – Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik menilai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD terkait masih banyak politik uang di tubuh KPU saat penyelenggaraan pemilu sebagai sistem peringatan dini (early warning system).

“Apa yang disampaikan oleh Pak Menko Polhukam menjadi early warning system bagi KPU untuk mendisiplinkan dan memastikan seluruh jajaran KPU di daerah dan Badan Ad Hoc (ppk, pps, dan kpps) agar tidak melakukan perilaku moral hazard dalam pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara Pemilu Serentak 2024,” ujar Idham saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu (9/8/2023).

Menurut dia, peringatan dini itu untuk memastikan dan mendisiplinkan seluruh jajaran KPU RI di daerah dan Badan Ad Hoc agar tidak melakukan penyimpangan moral dalam Pemilu Serentak 2024.

Apabila terdapat anggota KPU RI yang diketahui berbuat curang, mereka dapat dikenakan Pasal 535 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mengubah, merusak, dan/atau menghilangkan berita acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 398 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta”.

Lalu, Pasal 536 UU No 7 Tahun 2017 juga menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

Sementara itu, saat disinggung terkait upaya menyelidiki pembelian suara (vote buying) yang dilakukan anggota KPU. Idham menjelaskan dugaan tindak pidana pembelian suara atau politik uang ditangani oleh Bawaslu RI dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

Hal ini juga tertuang dalam Pasal 486 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi, “Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia membentuk Gakkumdu”.

Kemudian, Pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

Pasal 523 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatakan setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp48 juta.

Pasal 523 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 mengungkapkan setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

Selain itu, apabila anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, pegawai sekretariat KPU Provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan/atau pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti dengan sengaja melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta, sebagaimana tertuang dalam Pasal 524 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017.

Selanjutya, Pasal 524 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 menuturkan apabila anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, pegawai sekretariat KPU Provinsi, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan/atau pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti karena kelalaiannya melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan dan denda paling banyak Rp18 juta.

Adapun KPU memiliki peran sebagai penyelenggara tahapan pemilu dari awal hingga akhir dalam mewujudkan pemilu yang demokratis di Indonesia. Kendati demikian, saat disinggung mengenai apakah dengan keberadaan politik uang di KPU dapat menurunkan kepercayaan publik, Idham mengatakan belum ada putusan dari Bawaslu dan DKPP yang menyatakan hal itu.

“Sampai saat di Pemilu 2024, belum ada Putusan Bawaslu atau Putusan DKPP yang menyatakan demikian,” pungkasnya.

Sebelumnya, pada Selasa (8/8), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan sejumlah penyakit saat pemilu yang harus diantisipasi dari sekarang.

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum UII itu, penyakit pertama adalah politik uang dengan membeli dukungan suara yang dapat dibeli secara borongan maupun eceran.

“Politik uang adalah upaya memenangkan pemilu melalui pembelian dukungan,” ujar Mahfud MD dalam Forum Diskusi Sentra Gakkumdu, sebagaimana dipantau secara daring melalui kanal YouTube Kemenko Polhukam RI, Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan pembelian suara secara borongan dapat melalui botoh ataupun pejabat di desa, kecamatan hingga KPU. Walaupun KPU merupakan lembaga independen, sambung dia, anggotanya berada sampai ke daerah.

“Banyak di KPU meski sudah independen, karena KPU bukan hanya di Jakarta. Itu ada sampai ke daerah bahkan tingkat tps itu orang KPU semuanya,” jelasnya.

Sementara itu, pembelian suara secara eceran biasanya disebut sebagai serangan fajar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan KPK ditemukan peningkatan volume terjadinya korupsi itu selalu sejalan dengan pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Lalu, penyakit kedua ialah hoaks atau berita bohong yang isinya menimbulkan perpecahan. Padahal, lanjut Mahfud, pemilu adalah ekspresi demokrasi dan demokrasi akan menjadi liar serta merusak masyarakat kalau tidak ada nomokrasi. (Ant/MK)

Oleh : Narda Margaretha Sinambela

Editor : Budi Suyanto

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img