spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Puasa dan Kepemimpinan: Ramadan dan Pemilu yang Belum Usai

RESIDU politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih hangat. Tensi pertengkaran wacana di media sosial masih tinggi. Para jawara politik juga masih bertempur narasi. Sementara rakyat masih asyik membahasnya di kedai kopi.

Topiknya kebanyakan tentang indikasi kecurangan. Ada yang pro, ada yang kontra. Saling menegasi terjadi, saling tuding tak dapat dielakkan.

Di tengah situasi itu, bulan suci Ramadan menyambangi bumi. Kehadiran bulan Ramadan seperti oase di tengah padang tandus keadaban politik. Tentu bukan kebetulan. Tiada selembar daun yang jatuh kecuali perkenan Allah, tiada sebutir debu terbang kecuali juga dengan perkenan-Nya.

Hadirnya Ramadan membuat pesan-pesan langit kembali membumi di tengah hegemoni argumentasi politik mutakhir. Hadirnya Ramadan di tengah Pemilu sekaligus menawarkan diskursus menarik, yakni Islam dan kepemimpinan.

Dua kata itu sesungguhnya adalah senyawa.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS Al Baqarah: 30)

Ragam pandangan tentang khalifah. Pendapat pertama mengartikan khalifah sebagai fungsi manusia mengemban amanah Allah di muka bumi. Pendapat kedua memandangnya sebagai gelar yang diberikan kepada pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Manusia sebagai pemimpin jauh hari telah ditegaskan Rasulullah Muhammad SAW.

Beliau bersabda : “Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin…”.

Hadist riwayat Al-Bukhari itu juga menjelaskan level kepemimpinan pada kalimat berikutnya. Ada pemimpin untuk rakyat kebanyakan, pemimpin keluarga, hingga pemimpin level terkecil yaitu budak yang memimpin harta tuannya. Hadist ini lalu ditutup dengan penegasan, “Ketahuilah, setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”

Jadi, kepemimpinan itu amanah, kepemimpinan itu ujian. Dari perspektif ini, bulan suci Ramadan menjadi ruang tafakur ideal merefleksi kepemimpinan diri (self leadhership) dan juga kepemimpinan nasional.

Memilih pemimpin nasional bukan urusan sebatas bilik suara, mencoblos dan selesai. Di dalamnya ada tanggung jawab dunia dan akhirat. Itu karena urusan pemimpin bukan hal sepele. Kebijakan pemimpin terpilih bakal memengaruhi wajah Islam dan kehidupan orang banyak.

Tidak heran, Islam memberi panduan dalam menetapkan pemimpin. Pertama, tidak memilih pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan agama Islam (QS. Al Maidah: 57)

Kedua, memilih pemimpin yang memiliki keahlian di bidangnya. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya (HR Bukhari dan Muslim).

Ketiga, pemimpin harus memiliki penerimaan luas dari masyarakat (acceptable), mencintai, dan dicintai umat. “Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu…. (HR Muslim).

Keempat, memilih pemimpin yang membela dan mengutamakan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melawan kemunkaran.  (QS Al Maidah: 8).

Kelima, memilih pemimpin yang paling mendekati sifat kepemimpinan Rasulullah, yakni amanah (dapat dipercaya), siddiq (jujur), fathonah (cerdas dan bijaksana) dan tabligh (menyampaikan kebenaran).

Kini, umat telah mencoblos. Pilihan telah diberikan dan perolehan suara menunggu kalkulasi final Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, meski pencoblosan telah selesai namun tahapan Pemilu secara keseluruhan belum sepenuhnya rampung.

Pertanyaannya, dalam situasi politik nasional yang masih memanas hingga kini, bagaimana sebaiknya rakyat (wabilkhusus umat Islam Indonesia) memaknai bulan suci Ramadan kali ini?

Ada beberapa hal. Pertama, yang paling bijak adalah mendoakan semoga Pemilu menghadirkan pemimpin yang terbaik bagi agama dan bangsa ini. Pemimpin yang kriterianya telah disebut di atas. Bukan pemimpin yang mengutamakan kepentingan kelompok.

Bulan suci Ramadan ini adalah momentum terbaik memaksimalkan doa. Ada tiga waktu mustajab yaitu waktu sahur, selama berpuasa, dan saat berbuka puasa. Semoga dengan doa-doa kita, Bumi Pertiwi akan menemukan pemimpin terbaik.

Kedua, tetap fokus pada kegiatan utama masing-masing diiringi peningkatan kuantitas dan kualitas ibadah. Pemimpin negara itu penting, bahkan sangat penting. Tetapi, jika ruang geraknya selama ini bukan di politik, jangan menghabiskan waktu untuk berdebat, apalagi debat yang berujung kerenggangan hubungan dan merusak kohesivitas sosial.

Ketiga, menerima kenyataan. Terkadang ada hal yang baik menurut manusia namun bukan yang terbaik di hadapan Allah. Allah Maha Mengetahui. Allah yang paling mengerti pemimpin seperti apa yang terbaik bagi situasi Indonesia kini.

Ketika semua doa dan ikhtiar telah dikerjakan maka hal terbaik berikutnya adalah bertawakal, berserah diri kepada Allah sembari mengevaluasi diri. Biarkan kebenaran menemukan jalannya sendiri melalui tuntunan Allah.

Bagaimana pun, tujuan puasa adalah meningkatkan derajat taqwa. Cara kita merefleksi sekitar, menata hati, mengondisikan pikiran, lalu mengorelasikannya dengan eksistensi Allah adalah bagian dari taqwa.

Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi puasa dalam tiga tingkatan. Pertama adalah puasa orang umum. Ini puasa standar, puasa kelas orang awam. Keadaannya sekadar menahan kebutuhan perut dan kemaluan.

Kedua, puasa orang khusus. Tingkatan ini termasuk golongan kelas istimewa. Selain menahan kebutuhan perut dan kemaluan, juga menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota badan dari berbagai dosa.

Ketiga, puasa al-khusus, merupakan puasa kelas super. Tingkatan ini merangkumi dua jenis puasa di atas plus puasa hati dan pikiran dari hasrat dunia, menahan diri dari apapun selain Allah.

Selamat berpuasa. Semoga puasa kita termasuk puasa golongan ketiga. Semoga Indonesia memperoleh pemimpin yang adil dan amanah. Aamiin.

Penulis :
Nursyamsa Hadis
Da’i Hidayatullah dan Mantan Anggota DPD-MPR RI 2004-2009
Editor : Nicha R

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img