spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Paradigma “Isranomics”

Catatan: Rizal Effendi

MENTERI Keuangan Prof  Sri Mulyani Indrawati, SE, MSc, PhD pernah mengemukakan  tiga pilar yang menopang paradigma Jokowinomics. Pemerataan yang berkeadilan, pengentasan kemiskinan, dan kebijakan afirmatif serta infrastruktur. “Itu yang membuat saya merasa terhormat ketika bergabung dengan pemerintahan Pak Jokowi. Ngeklik dengan tujuan profesional saya sebagai pribadi,” jelasnya.

Gagasan Jokowinomics ini dipaparkan lebih lengkap dalam buku berjudul “Jokonomics: Sebuah Paradigma Kerja” yang diterbitkan oleh Gagas Bisnis, Oktober 2017.

Istilah “nomics” sebenarnya kependekan dari economics, yang berarti Ilmu Ekonomi. Lalu sering dilekatkan menjadi imbuhan pada nama seorang tokoh yang punya kebijakan ekonomi secara khusus dan khas. Biasanya seorang kepala negara, tokoh penting pemegang kekuasaan atau pemikir ekonomi.

Mantan perdana menteri Jepang yang tewas ditembak, Juli 2022 lalu, Shinzo Abe punya kebijakan ekonomi yang dikenal dengan istilah Abenomics. Salah satu kebijakan ekonominya yang terkenal adalah ekspansi ekonomi nasional Jepang yang kala itu masih terbelenggu resesi ekonomi.

Ketika Prof BJ Habibie menjadi presiden Indonesia menggantikan Soeharto tahun 1998, dikenal juga dengan Habibienomics. Adalah ahli ekonomi Prof Kwik Kian Gie yang menyebutnya begitu. Padahal Habibie bukan seorang ekonom, tapi teknokrat.

Habibie berpendapat, perekonomian Indonesia harus dibangun melalui  teknologi untuk menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Kunci utama untuk mewujudkan hal itu adalah investasi di bidang sumber daya manusia (SDM).

Jauh sebelumnya ada juga istilah Widjojonomics. Dia, Widjojo Nitisastrob adalah ahli ekonomi yang menjadi tulang punggung atau arsitek perekonomian pemerintahan Orde Baru. Dia sempat ditempatkan sebagai menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri Ekuin (1971-1983), yang mempunyai pemikiran agak berbeda dengan Habibienomics. Dia menonjolkan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage).

Dalam konsep keunggulan komparatif, Indonesia harus memanfaatkan berbagai keunggulannya di antaranya sumber daya alam yang melimpah dan upah tenaga kerja yang relatif murah. Kalau itu dimanfaatkan secara maksimal, maka akan mendorong kenaikan output dan menciptakan lapangan  kerja yang luas.

Ekonom Sunarsip dalam pembahasannya di REPUBLIKA.CO.ID berpendapat, konsep Habibienomics dan Widjojonomics sama-sama memiliki landasan yang rasional. Kedua pemikiran itu, katanya, keluar pada era yang berbeda dan tentunya kebutuhan bangsa yang berbeda pula. Jadi hanya masalah tahapan saja.

“Setelah pemerintah berhasil membangun ekonomi melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya, memang sudah saatnya beralih mengembangkan keunggulan kompetitifnya melalui teknologi,” kata Sunarsip.

“MISTER 70 PERSEN”

Ada yang berpendapat pemikiran, konsep dan kebijakan Gubernur Kaltim Dr Ir Isran Noor, M.Si dalam mewujudkan visinya “Kaltim Berdaulat” boleh juga disebut “Isranomics”. Bahkan napasnya sejalan dengan rencana dan kebutuhan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) terutama dari aspek pendanaan.

Isran memang bukan ekonom. Dia sarjana (S1) Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Sedang  S2-nya di Universitas Dr Soetomo  dan S3-nya di Universitas Padjadjaran. Dia doktor ilmu pemerintahan dengan disertasi “Desentralisasi Pemberian Izin Tambang Batu Bara dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.”

Dulu izin penambangan batu bara di tangan Pusat. Lalu dengan semangat reformasi diturunkan ke daerah. Tapi belakangan ditarik lagi ke Pusat dengan alasan di antaranya di daerah lambat dan muncul raja-raja kecil. Berkat perjuangan Isran, Presiden Jokowi akhirnya mengembalikan kewenangan itu ke daerah. Saya bilang, Jokowi sangat memerhatikan suara Isran. Mungkin karena IKN di Kaltim, di mana Isran terlibat banyak.

Tapi tidak saja soal kewenangan izin saja. Isran juga menuntut formula dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam dari batu bara diubah. Selama ini pemerintah daerah hanya menerima 6 persen dari keuntungan bersih pemegang IUPK atau izin usaha pertambangan khusus. Itu pun harus dibagi lagi ke kabupaten/kota.

Di depan anggota DPR RI di Senayan, Jakarta, April 2022 lalu, Isran meminta agar pembagian hasil dari batu bara tidak hanya sebatas royalty. “Mestinya jauh lebih besar, bisa 30 sampai 40 persen dari hasil pendapatan penjualan batu bara,” tandasnya. Apalagi akibat pertambangan  batu bara yang terbuka (open pit) telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan infrastruktur jalan yang sangat parah.

Belakangan Isran juga menggaungkan konsep “70 persen.” Pertama kali dia cetuskan berkaitan soal pembahasan RUU Pemprov Kaltim, Januari 2022 lalu. Dia minta agar bagi hasil penerimaan negara dari sektor perkebunan kelapa sawit komposisinya 70 persen untuk daerah dan hanya 30 persen untuk Pusat.

Kaltim salah satu daerah penghasil sawit terbesar di Indonesia. Luas perkebunan sawitnya mencapai 1,2 juta hektare lebih dengan produksi 18 juta ton per tahun. Ini melibatkan tidak kurang 220 ribu tenaga kerja. “Selama ini kita diperlakukan tidak adil,” tandasnya.

Isran juga mengajak 22 gubernur, yang daerahnya penghasil sawit mengajukan tuntutan yang sama. “Kita harus kompak kalau mau menuntut dana bagi hasilnya,” kata wakil ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) ini.

Menurut hitung-hitungan Isran, ada uang terhimpun tidak kurang 2 miliar dolar AS dari 20 juta ton CPO yang diekspor. Itu jika 100 dolar per ton diberikan kepada daerah. “Apa yang tidak bisa dibangun dengan uang sebanyak itu? Kalkulator tidak bisa menghitung lagi,” katanya dalam acara The 5th Borneo Forum di Palangkaraya, Kalteng, 24 Agustus 2022.

Tuntutan 70 persen itu, Isran tujukan juga berkaitan dengan distribusi dana  APBN ke daerah. “Sudah waktunya postur APBN diubah,” tandasnya. Ini sejalan dengan dipindahkannya Ibu Kota dari Jakarta ke Kaltim, yang salah satu pertimbangannya untuk mengubah paradigma pembangunan “Jawa-sentris” menjadi “Indonesia-sentris.”

“Cukuplah porsi APBN sebesar 30 persen dari seluruh pendapatan nasional, sedang 70 persennya dibagikan kepada 34 provinsi, sehingga pemerataan benar-benar bisa terwujud. Itu yang baru namanya Indonesia-sentris,” kata Isran.

Karena tuntutannya itu, ada yang menjuluki Isran sebagai “Mr. 70 Percent”. Saya yakin daerah-daerah terutama luar Jawa memberi dukungan kuat. Sebab, orang tahu selama ini kue pembangunan terbesar dinikmati di Pulau Jawa. Lebih 60 persen perputaran uang ada di Jakarta.

Di depan civitas akademika Universitas Mulawarman (Unmul) pada acara Dies Natalis ke-60, Selasa (27/9) lalu, Isran bicara soal dana pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan gampangnya. “Kalau diserahkan ke Kaltim, beres itu,” katanya disambut applaus undangan.

Lagi-lagi Isran merujuk kepada dana dari hasil ekspor batu bara, yang menurutnya mencapai 40 ribu miliar dolar Amerika atau sekitar Rp 500 triliun lebih. “Nah, biaya pembangunan Ibu Kota Nusantara ‘kan Rp 466 triliun? Jadi sudah cukup, bahkan lebih,” tambahnya.

Ada yang bilang berbagai pandangan Isran sekarang ini bukan lagi pandangan daerah, tapi sudah menjadi pandangan nasional. Bahkan dinilai sebagai pandangan seorang negarawan yang punya visi ke depan. Bagaimana merawat NKRI secara adil di 34 provinsi. Bagaimana 34 provinsi, semuanya menjadi pusat pertumbuhan, tidak tertatih-tatih seperti sekarang ini.

Jadi tidak salah kalau ada yang mendukungnya meramaikan bursa pemilihan presiden dan wapres 2024 mendatang.  “Dia cocok jadi presiden IKN. Dia memang sudah menjadi Mr. President,” kata seorang nitizen ketika menyambut miladnya ke-65, Selasa (20/9) lalu. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img