Pandemi Covid-19 berlangsung setidaknya sudah dua tahun menjadikan rutinitas dilakukan di rumah bukan suatu hal yang baru. Ini karena setiap individu telah terbiasa dengan kondisi mereka yang sekarang. Mereka tak gencar untuk terus dan tetap berproduktivitas.
Melalui teknologi yang secanggih sekarang ini, tidak mungkin individu tidak mengenal individu lainnya di luar dari kebudayaan mereka sendiri. Platform media sosial seperti twitter, tiktok, instagram, telegram, dan lain sebagainya dianggap sebagai teman sekaligus kebutuhan mereka. Tujannya berbeda-beda seperti mencari hiburan, mendapatkan teman, ruang bercerita, meningkatkan skill dan kemampuan jika media digunakan secara tepat dan bijak.
Generasi milenial terdengar akrab di telinga kita. Istilah milenial pertama kali dicanangkan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe. Generasi dengan gaya hidup melekat pada dunia maya.
Demikian pula, tutur penggunaan bahasa asing dan bahasa Indonesia yang digabungkan serta merta caption dalam unggahan postingan di medos pun kerap menggabungkan bahasa asli Indonesia dengan bahasa asing. Artinya, generasi milenial telah terkontaminasi penggunaan bahasa budaya lain. Seiring berjalannya waktu, hal itu menjadi trend dan dianggap keren.
Bahasa merupakan sistem substansi simbolik yang memungkinkan kita untuk berbagi pengalaman dan kondisi internal dengan orang lain. Demikian, saat kita menggunakan dua bahasa berbeda dalam bertutur kata artinya kita memberi pemahaman dan pemaknaan baru lewat pelafalan yang belum pernah diucapkan.
Inilah yang kemudian disebut multikultural, yaitu bagaimana kita memandang suatu perbedaan tetapi dengan mengesampingkan beda demi terciptanya kedamaian, persatuan dan kesatuan.
Sukamto (2005: 32) dalam buku Komunikasi Multikultural mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen penting terjadinya komunikasi multikultural, yakni kompetensi attitudes (sikap) adalah sikap kita dalam mengadopsi bahasa budaya asing, knowledge (pengetahuan) adalah sampai dimana batas pengetahuan kita dan apa yang kita ketahui, skill of interpreting and relating (keterampilan menafsirkan dan mengaitkan) adalah bagaimana cara kita mengungkapkan dengan benar, membedakan pemakaian konteks bahasa dilihat dari situasi, skill of discovery and interaction (keterampilan penemuan dan interaksi) bagaimana kita menggunakan bahasa yang tepat dan cara menyampaikan bahasa, dan critical cultural awareness (kesadaran budaya yang kritis) jangan sampai budaya asing mengancam budaya sendiri.
Dimulai dari kalangan kelas atas sebagaimana artis ataupun selebgram sebagai orang yang mempunyai banyak pengikut. Mereka mulanya memadukan kosakata bahasa asing dan bahasa Indonesia dalam satu kalimatnya. Kita mengetahui Cinta Laura dan Boy William merupakan public figure Indonesia yang fasih berbicara bahasa inggris. Mereka seringkali menggabungkannya dengan bahasa Indonesia. Hal ini dianggap sok keren, namun pada akhirnya muncul generasi milenial di masyarakat yang mengikuti gaya bahasa keduanya.
Fenomena pencampuran dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ini kemudian disebut englonesian. Bahasa ini popular terutama ketika diidentikkan dengan lokasi geografis oleh anak Jaksel atau anak Jakarta Selatan yang pertama kali menggunakannya.
Dalam caption sebuah akun Instagram kampunginggris.online ditemukan penggunaan bahasa englonesian “make sure kalo havin’ conversation sama circle kalian apalagi anak Jaksel wajib pake kata-kata English slang ini.”
Dari contoh tersebut, perpaduan dua budaya adalah hal penting untuk dipelajari dan dipahami. Meski begitu, menghilangkan bahasa asli bukanlah hal baik. Penulis sendiri beranggapan bahwa menggabungkan dua bahasa, yaitu Inggris dan Indonesia boleh-boleh saja.
Hal tersebut bernilai baik atau positif jika bertujuan untuk belajar bahasa Inggris karena hal ini memberikan efek positive dalam penguasaan pengetahuan baru dikarenakan bahasa Inggirs merupakan bahasa internasional hingga kita perlu memperlajarinya.
Tetapi mencampuradukkan bahasa akan bernilai negatif jika hanya untuk kesenangan agar dipandang keren atau hanya sekadar bergaya. Ini dinilai buruk karena bahkan tidak lagi memperdulikan keabsahan bahasa Indonesia.
Mampu menguasai dan menggunakan bahasa asing khususnya bahasa Inggris merupakan hal yang membanggakan. Selain menjadi nilai tambah, menggunakan bahasa asing merupakan sebuah tuntutan atau kebutuhan sebab di era saat ini, bahasa asing telah berpengaruh hampir di semua aspek kehidupan.
Kita dapat belajar sekaligus membranding diri kita untuk terlihat lebih cerdas dan berkualitas. Tetapi kembali pada tujuan, apakah penggunaan englonesian alias mencampuradukkan bahasa merupakan intelektualitas atau sekadar gaya saja?
Pada akhirnya komunikasi multikultural merupakan suatu proses komunikasi dimana terdapat hubungan antara bagian-bagian dalam kehidupan dunia yang satu dengan dunia lainnya yang berbeda dan secara tidak beraturan namun hidup dalam wilayah budaya yang sama sehingga pada tahap beriktnya terjadilah proses transformasi dan perubahan budaya secara terus menerus.
Kecenderungan menyukai bahasa asing menambah tingkat intelektualitas pada diri seseorang. Memadukan dua bahasa, Inggris dan Indoesia dapat dikatakan masih dalam tataran yang wajar jika dinilai belum mengkhawatirkan apabila hanya digunakan dalam percakapan kehidupan sehari-hari.
Generasi milenial harus dapat meningkatkan imagenya dengan mempertahankan budaya sendiri, menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi formal tanpa mencampur adukkan dua bahasa yang berbeda. (**)
Penulis: Cindy Elysa; Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Mulawarman. Alamat : Waru, Kabupaten Penajam Paser Utara