Oleh: Andi Ade Lepu *)
Survei sudah menjadi bayang-bayang Pemilu. Di mana ada Pemilu, di situ ada survei. Maka sangat sulit membayangkan sebuah Pemilu tanpa embel-embel survei.
Survei sekaligus telah menjadi gula-gula yang membuat cita rasa kompetisi Pemilu penuh sensasi: manis, asam, asin. Manis bagi yang kebetulan jagonya ditempatkan sebagai pemenang, dan asam campur asin bagi pendukung kandidat yang angka surveinya tertinggal. Padahal, hasil sebuah survei sebenarnya tak perlu dirisaukan. Malah seharusnya dijadikan rujukan.
Jika angka survei menang, tingkatkan konsolidasi; sebaliknya jika kalah maka segerakan ekspansi. Itu teori sederhananya.
Lalu, bagaimana sebaiknya kita membaca hasil survei?
Pertama adalah kita perlu mengetahui bahwa survei bukanlah ilmu pasti, survei adalah ilmu estimasi. Hasil survei tidak statis, ia naik turun dari waktu ke waktu mengikuti perilaku pemilih yang juga selalu berubah-ubah. Para tukang survei menjadikannya alat referensial bagi kandidat. Sisanya prediksi. Pengetahuan tentang hal ini akan membuat kita selalu dalam posisi netral membaca survei. Bahwa survei bukanlah vonis Pemilu. Ia hanya potret estimasi statistik. Pemenang Pemilu ditentukan di hari H, bukan hari ini.
Kedua, survei pemilu adalah rekaman preferensi atau kecenderungan pemilih dengan responden yang dipilih secara metodik. Sampai fase ini, survei presisi dan memiliki error yang tipis. Tahap berikutnya adalah tatap muka atau wawancara responden. Di tahap inilah bias itu potensial muncul. Kelemahan pewawancara, metode pemilihan responden yang tidak ketat, atau kejujuran responden sangat menentukan kualitas survei.
Diperlukan pewawancara handal untuk mengeksplorasi isi kepala responden. Sebagai contoh, secara psikologis responden cenderung menyembunyikan pilihannya terhadap kandidat yang dianggap oposisi, sebaliknya cenderung ikut “mendukung” kandidat yang berposisi sebagai petahana atau yang didukung oleh pemerintah. Ini bisa menjelaskan mengapa survei-survei para petahana cenderung selalu lebih tinggi, dan para penantang selalu di bawah. Pemilih penantang cenderung bersembunyi, tidak tertangkap oleh survei.
Ketiga, semua lembaga survei dibiayai oleh pihak ketiga. Bisa kandidat, bisa juga sponsor. Tapi itu bukanlah alasan kita untuk tidak percaya hasil survei. Karena survei adalah kegiatan yang rata-rata dilakukan oleh mereka atau lembaga ilmiah yang sudah kredibel.
Ia bisa salah, tapi tidak akan berbohong. Bahkan pada titik tertentu, meskipun survei salah dalam prediksi, ia tetaplah memiliki nilai, karena sebuah survei memiliki banyak elemen, tidak hanya terbatas pembacaan arah elektabilitas, tapi juga menangkap harapan masa depan pemilih yang bersifat pesan ke semua orang.
Hasil-hasil survei yang dipublikasikan adalah output yang sebenarnya. Kita memiliki ruang untuk mengoreksinya melalui telaah ilmiah pula. Karena survei pada Pemilu rata-rata memiliki metode dan hasil yang kurang lebih sama, yang membedakan adalah pada pembacaan.
Kita bisa membaca sebuah hasil survei dengan banyak aspek. Bahkan dengan kekuatan analisis, kita bisa membantah angka-angka estimasi atau prediksi masa depan yang dikeluarkan sebuah survei.
Pembacaan ini menempatkan survei sebagai ruang diskusi dan perdebatan ilmiah. Survei adalah sebuah mata kuliah untuk masyarakat politik, dari pemilih sampai kandidat.
Pertanyaan berikutnya, apakah sebuah hasil survei yang dipublikasikan akan mempengaruhi hasil Pemilu?
Jawabnya mungkin ya, tapi sangat lemah. Ia bisa menguatkan sekaligus dapat melemahkan. Ada efek bandwagon, ada pula efek underdog. Karena sifatnya fifty-fifty inilah maka kita bisa menyebutnya nol.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pernah membuat penelitian khusus soal ini, temuannya adalah hasil survei yang dipublikasikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pilihan orang. Jadi, hasil survei bisa kita jadikan percakapan akademis tapi bisa juga kita jadikan ajang seru-seruan di grup-grup WhatsApp.
Tergantung di posisi mana kita berada.
Sampai di sini, kita sebaiknya memandang survei sebagai sebuah kurikulum biasa dari residu demokrasi. Bahkan kita bisa menempatkannya sebagai salah satu pilar baru demokrasi. Bahwa metodologi adalah milik lembaga survei, tapi pembacaan adalah milik kita semua.
Survei bukan KPU, dan terlebih lagi tentu bukanlah Tuhan yang mampu menentukan arah matahari dan kejadian esok hari. Survei pada ukuran simplifikasi kurang lebih sama dengan kita-kita sebagai individu, yang memiliki nalar imajinasi untuk membaca dan memperkirakan apa saja tentang kejadian esok hari.
Bedanya hanya terletak pada metode dan kekuatan instrumen masing-masing. Kita lebih dominan pada perasaan dan sekitar, sementara survei bekerja pada ukuran-ukuran statistik. Jangan khawatirkan soal ini, karena keduanya bisa kita pertemukan dalam obrolan santai warung kopi.
*) Direktur Lembaga Survei Kaltim (LSK)