spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Terbesar di Dunia, Brand Sawit Negeri Butuh Kolaborasi

BANJARMASIN – Journalist Fellowship and Training Batch II 2021 Wilayah Kalimantan yang diselenggarakan Badan Penghimpun Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS yang dilaksanakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Digelar 10-13 November 2021, acara melibatkan 40 media se-Kalimantan. Detailnya, 20 media secara daring dan 20 media secara luring di Galaxy Hotel.

Khusus daring, acara dibagi dua sesi. Pertama, malam ramah tamah Kamis (11/11) malam. Menghadirkan narasumber, Helmi Muhansyah, Kepala Divisi UMKM BPDPKS, Zainal Helmie, Ketua PWI Kalimantan Selatan, Eddy S Binti, Ketua Gapki Kalimantan Selatan dan Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, drh. Suparmi,M. Si,

Sesi kedua, digelar Jumat (12/11) pagi hingga sore. Dengan materi pengantar bisnis sawit dimata media oleh Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch.
Dilanjutkan Sejarah dan Status Lahan Perkebunan Kelapa Sawit oleh Yanto Santosa, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB. Kemudian Pengenalan ISPO dan Implementasi ISPO di Perkebunan Kelapa Sawit oleh Dedi Djunaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementan/Ketua Sekretariat Pelaksana RAN KSB.

Terakhir, materi Sawit Sumber Energi Terbarukan oleh Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan.
Tema sentral dari kegiatan ini, membuat komoditas kelapa sawit yang tengah menjadi primadona ekspor Indonesia, punya brand positif dimata dunia.

Proses yang tak mudah. Mengingat, sudah puluhan tahun, kampanye hitam terhadap kelapa sawit negeri ini terus bermunculan. Semakin intens di era media sosial dengan konten-konten menohok yang datang dari luar negeri. Khususnya Eropa.
“Isu menohoknya itu selalu seputar lingkungan, deforestasi, kesehatan, kesenjangan sosial, infrastruktur pendukung, hingga hambatan ekspor,” ungkap Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch saat membawakan materi pembuka, Jumat (12/11) siang.

Ia merinci, sederet isu itu sudah ada sejak bertahun-tahun lalu dan telah membentuk imej buruk perkebunan kelapa sawit. Padahal, disisi perekonomian negeri, sawit banyak menyumbang devisa negara.
“Dari sisi perekonomian, kedaulatan pangan dan kedaulatan energi, kelapa sawit punya peran vital. Penting bagi jurnalis untuk melihat dari kacamata yang lebih luas, dan lebih berimbang dalam pemberitaan agar posisi kelapa sawit kita dimata dunia semakin baik,” tuturnya.

Banyak tak diketahui umum, pengelolaan kelapa sawit di negeri ini sudah punya sejumlah aturan ketat terkait perizinan berlapis dan bertahap, pengelolaan lingkungan, tenaga kerja, dan standardisasi produksi.

Sayangnya, proses itu belum diimbangi dengan sosialisasi optimal di masyarakat.
Pada sesi selanjutnya, Ketua Bidang Komunikasi Gapki Tofan Mahdi menyebut, industri kelapa sawit menjadi satu dari sedikit sektor ekonomi yang mampu tetap menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia ditengah pandemi Covid-19.

“Total ekspor CPO 2020 lalu, tembus 22,97 juta dolar AS. Termasuk yang terbesar di dunia. Melibatkan 2,3 juta petani dan tenaga kerja hingga 4,4 juta orang. Kontribusinya yang sangat besar,” sebutnya.

Sinergi dengan pemerintah juga berbuah manis. Belakangan harga tandan buah segar (TBS) melonjak nyaris menyentuh Rp3.000 per kilogram. Kenaikan yang turut disebabkan pemanfaatan produk sawit untuk campuran BBM dalam program B30 oleh pemerintah.

Pada sesi selanjutnya, Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulis Tjakrawan menjelaskan, biosolar adalah solusi untuk dua masalah sekaligus, yaitu ketahanan energi dan tuntutan energi hijau. Pada aspek lingkungan hidup, Biosolar memiliki sifat yang tidak beracun dan diproduksi dari tanaman yang berkesinambungan.“Emisi gas rumah kaca lebih kecil,” katanya.

Menjadikan biodiesel sebagai ketahanan energi di Indonesia sangatlah menjanjikan. Bahan baku tersedia masif. Prosesnya ekonomis, dapat diperbarui, ramah lingkungan dan berada dalam zona ekuatorial dengan pancaran sinar matahari sepanjang tahun.

“Biodiesel dari Senyawa Turunan Minyak Sawit dengan bauran 30% (B30) hingga D100 (100 persen nabati) kelak akan memberikan dampak yang luar biasa di semua aspek,” jelasnya.

Saat ini pihaknya tengah mengkaji penggunaan B40 atau campuran minyak nabati 40 persen dan solar 60 persen.
Menurutnya, penerapan program biosolar tak hanya akan mengurangi impor BBM, tapi juga akan menghemat devisa negara.
“Dampak penurunan ongkos produksi dari pencampuran minyak nabati dengan solar, besar bagi penghematan devisa,” pungkasnya.

Tak hanya soal eksistensinya. Pengolahan sawit juga punya dampak bagus dilintas sektoral. Salah satunya, langkah revolusioner dimana Kalsel telah berhasil mengembangkan pola perpaduan perkebunan sawit dan peternakan sapi.
Proses yang diklaim efektif dengan biaya operasional rendah. Didukung kerjasama dengan pemerintah Australia, Kalsel telah menjadi pilot project nasional.

“Ekosistim berjalan. Semua bagian sawit termanfaatkan oleh pemeliharaan sapi. Limbah sapi bisa bermanfaat untuk perawatan sawit,” kata Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, drh. Suparmi,M. Si.
Ia juga menjelaskan, masyarakat seharusnya tak khawatir soal pembukaan lahan baru kelapa sawit. Karena prosesnya tak mudah, sangat panjang dengan persyaratan yang tak mudah.

Terkait penolakan investasi sawit pada kabupaten tertentu adalah kebijakan masing-masing daerah. “Di tanah air, ada 26 daerah produksi sawit. Pembukaan lahannya, prosesnya panjang dengan melibatkan banyak SKPD dan 14 kementerian dan lembaga. Jadi tidak ujug-ujug muncul. Itu harus dipahami jika mau mendemo atau protes,” katanya.

Pentingnya Peran Media
Dari acara ini, tantangan terbesar dari perusahaan kelapa sawit adalah bersinergi dengan semua pihak untuk meyakinkan dunia bahwa semua hujatan dan isu miring terkait operasionalnya, tak sepenuhnya benar.

Seperti disampaikan Ketua PWI Kalsel Zainal Helmy, isu negatif kelapa sawit, tak jauh-jauh dari lingkungan, infrastruktur jalan dan sengketa lahan.
“Itu yang masih jadi dilema. Nah, tugas kita bersama menciptakan ekosistem yang menghubungkan titik-titik yang mewakili banyak pihak, lebih berkolaborasi supaya sawit tak lagi disalahkan sebagai perusak lingkungan, penyebab banjir, pembunuh orang utan dan lain sebagainya,” katanya.
Ia meminta semua pihak paham. Isu yang dihembuskan itu berasal dari produsen asal Eropa yang bisnisnya minyak non nabati-nya berhadapan langsung dengan produksi sawit tanah air.
“Ini perang dagang. Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar minyak sawit dunia,” sebutnya.

Padahal, potensi sawit tanah air, dikelola pada total lahan 16,3 juta hektare. Tak sampai 10% dari daratan Indonesia. “Bayangkan bagaimana keuntungan negeri jika area operasionalnya kita perluas,” tambahnya.

“Akan kita bentuk pola-pola kerjasama yang nantinya berujung sosialisasi brand dan konten lintas platform positif pengolahan kelapa sawit tanah air,” harapnya. (rls/adi)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img