spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tentang Rasa

Cerpen: Muthi’ Masfu’ah

“Salam… Semoga sehat selalu…” sapanya ramah penuh semangat setiap pagi ia kirimkan lewat pesan WhatsApp.

“Alhamdulillah mas. Terima kasih sudah menyapa. Sehat saja kah?” Biasa jawaban balikku sampaikan padanya yang jauh di seberang pulau.

Ya, aku baru mengenalnya beberapa bulan ini. Seorang pengurus yayasan salah satu sekolah terpadu yang cabangnya lumayan banyak di salah satu kota besar di pulau Jawa.

Tiba-tiba aku jadi ingat pertama kali ia menyapa lewat Facebook, lalu menyampaikan maksudnya ingin menyambung silaturahmi.

Biasanya aku hampir tidak pernah merespons siapapun yang mengirim pesan langsung di Facebook-ku, apalagi dari nama yang baru aku kenal. Kecuali kalau memang aku kenal lama dan ada hal penting untuk didiskusikan.

Namun, hal berbeda untuknya yang memiliki bahasa rapi dan santun. Aku berkenan menjawab walau singkat dan mengangkat teleponnya untuk mendengarkan apa yang ia sampaikan.

“Terima kasih sudah berkenan menerima telepon saya ya. Semoga ini menjadi suatu motivasi, inspirasi, dan sumber energi itu sendiri bagi saya untuk lebih baik dan untuk kebaikan, prestasi, ibadah, dan amal sholeh bagi umat dan masyarakat,” jelasnya panjang yang aku dengarkan dengan baik dan menghargainya.

“Saya sangat kagum dengan prestasi Mbak Uty yang menurut saya sangat bagus dan jarang dimiliki kemampuan seperti itu,” masih panjang lagi ia sampaikan.

Aku mendengarkan dan menjawab, “Iya, terima kasih.”

“Saya ingin belajar agar bisa menulis, khususnya cerita kehidupan yang selama ini saya alami. Agar ada hikmah yang bisa dibaca oleh orang lain ya, jika Mbak Uty berkenan,” santun bahasa yang ia sampaikan.

Aku masih saja mendengarkan dengan baik. Aku berusaha menghargainya dan mencerna maksudnya.

Namun, yang sedikit menggelitik dan hampir membuatku tertawa terbahak-bahak ketika ia menyampaikan, “Juga saya ingin menyampaikan bahwa saya memiliki rasa dengan Mbak Uty, simpati, dan senang melihat Mbak Uty…” Jawabnya berani.

Kok bisa? Tiba-tiba aku berpikir, “Kok bisa sih, kan baru kenal, niatnya juga tadi mau belajar menulis dan diskusi tentang literasi ya?” Tanyaku dengan baik dan terus berusaha menghargainya.

“Ya bisa saja, Mbak. Kita lama berteman di Facebook ya. Saya lama melihat Mbak juga,” jawabnya lagi.

Aku… Ya, tidak habis pikir… Kok bisa ya… Tapi ya… Aku berusaha menghargai siapapun yang menyampaikan apapun ya… apalagi aku biasa menuliskan cerita-cerita yang berhikmah dari orang lain yang mencurahkan segalanya pada aku, meminta solusi atau sejenisnya. Tapi untuk yang satu ini, memang berani. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak karena tidak umum baru kenal… Tapi, lagi-lagi aku berusaha menghargainya… Aku hanya mengucapkan terima kasih atas apa yang ia sampaikan dan menyampaikan semoga silaturahmi ini mendapat manfaat.

Saat ia menutup pembicaraan, aku langsung membuka FB-nya. Sudah memiliki istri dan empat orang anak laki-laki yang ganteng, besar-besar lagi? Tiba-tiba aku mengerutkan dahi… Dengan latar belakang pendidikan yang S2, pengurus inti yayasan… Kok bisa ya…

Angin berhembus pagi itu… Aku terus merenung, sejuk pagi melembutkan hatiku… Tiba-tiba aku membuka FB salah satu teman Way Thoha… dan membaca beberapa artikel dan salah satunya yang cukup membuat aku merenung tentang makna cinta yang begitu mendalam, tentang tulisan seorang teman yang baru pulang umrah. Begitu menyentuh hati…

Di Masjidil Haram, sehabis menyelesaikan Tawaf, saya segera menepi mencari tempat strategis yang berhadapan langsung dengan Multazam untuk berdoa…

Saya menemukan tempat yang kebetulan kosong di hadapan Ka’bah. Lalu saya bersujud dan memanjatkan doa sambil menunggu waktu subuh menjelang.

Saat itulah saya melihat seorang lelaki hitam legam dari benua Afrika datang dan langsung mengambil tempat di samping kanan.

Terlintas dalam hati, “Dengan potongan perawakan dan tampang seperti ini, lelaki kulit hitam ini pasti orang kasar yang tidak berpendidikan.”

Lalu sebagaimana kebiasaan di masjid ketika duduk bersebelahan dalam satu jama’ah, saya menyalaminya.

Tiba-tiba ia bertanya dengan bahasa Inggris yang bagus sekali tentang asal saya. “Saya dari Nigeria, kamu dari mana?” Saya menjawab, “Saya berasal dari Indonesia.”

“Kenapa orang Indonesia suka sekali berusaha mencium batu Hajar Aswad?” tanyanya memulai percakapan.

“Mungkin karena cinta. Ka’bah adalah rumah Tuhan dan Hajar Aswad adalah Batu yang pernah dicium Rasulullah. Maka mencium Hajar Aswad adalah refleksi cinta orang Indonesia terhadap Tuhan dan Rasulnya,” jawab saya sekenanya.

“Apakah orang Indonesia juga bertingkah laku seperti itu terhadap cinta Allah yang dianugerahkan kepada mereka?” tanyanya.

“Maksud anda? Cinta Allah seperti apa yang dianugerahkan kepada kami?” jawab saya dengan bingung.

Lalu lelaki hitam itu menjawab, “Jika Allah menganugerahkan kalian istri, anak-anak, dan orang tua yang masih hidup, itulah wujud cinta Allah kepada kalian.”

“Pertanyaan saya,” katanya.

“Apakah orang-orang Indonesia berusaha dengan keras dan gigih mencurahkan kasih sayang terhadap anak, istri, dan orang tua mereka yang masih hidup yang diamanahkan Allah sebagaimana mereka berusaha mencium Hajar Aswad?” tanyanya lagi.

“Jika terhadap batu saja refleksi cinta kalian begitu dahsyat, lebih lagi terhadap makhluk Allah yang telah diamanahkan kepada kalian,” tegasnya lagi.

Saya tercekat, hilang akal, dan tak mampu berkata lagi…

Apalagi saat ia bercerita bahwa ia menyelesaikan PhD-nya di AS namun memilih pulang membesarkan anak-anaknya yang enam orang agar mampu menjadi muslim yang baik…

Maka hancurlah semua persangkaan saya terhadap orang ini. Allah membayarnya langsung tunai saat itu juga.

Setelah shalat Subuh, sebelum berpisah, ia memberi nasehat yang sampai saat ini masih teringat di kepala saya…

Keberhasilan haji atau umroh kita mabrur atau tidaknya, dinilai bukan pada saat kita menyelesaikan ritual haji atau umroh seperti tawaf atau bahkan mencium Hajar Aswad, namun dinilai pada saat kita kembali ke keluarga dan lingkungan.

Apakah kita mampu menunaikan amanah-amanah, anugerah-anugerah, kasih sayang Allah kepada kita dengan bersungguh-sungguh, bersusah payah, mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang kita cintai, pekerjaan, dan masyarakat.

Saya genggam tangannya, saya memeluknya, dan menyampaikan terima kasih.

Saat dia pergi di antara kerumunan orang, saya faham, inilah cara Allah menegur saya dan menyampaikan makna mencium Hajar Aswad.

Usai membaca kisah itu, aku merenung kembali. Menjadi belajar untuk menjadikan orang tua, istri/suami, anak-anak, saudara-saudara, serta sahabat dan lain-lain sebagai ladang amal ibadah kita. Dan bukan merupakan sumber gosip atau ladang keburukan kita ya…

Tiba-tiba aku ingat mas yang baru saja menelpon… Yah… Semoga Allah banyak memberikan hikmah dan pembelajaran untuknya… Walaupun aku belum banyak bercerita dan berdiskusi dengannya… (bersambung…)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img