spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Potensi Besar Minim Petani, Budi Daya Aren Genjah di Kutim

SANGATTA- Kutai Timur (Kutim) memiliki varietas unggulan dan sudah tersohor di Indonesia, namanya Aren Genjah. Tanaman asli Kutim yang penyebarannya cukup luas di Desa Kandolo, Kecamatan Teluk Pandan. Sayangnya, petani yang membudidayakan tanaman palma itu kini semakin sedikit. Sakka dan Hadrah, pasangan suami istri petani Aren Genjah paham betul bagaimana potensi tanaman tersebut. Jika dapat dikelola dengan baik, pohon aren ini bisa menjadi berbagai produk. Semakin sedikitnya petani ditambah tidak adanya penerus, produk olahan pun hanya terbatas dari hasil menyadap tangkai buah saja.

“Ya hanya bisa jadi gula merah, gula palem dan minuman jahe instan. Padahal banyak lagi yang dapat diolah,” ucap Hadrah kepada Media Kaltim, Selasa (4/10/2022).

Buah aren misalnya, bisa dibuat jadi kolang-kaling, sabut dan lidi dari batang daun pun memiliki nilai jual tinggi. Tapi karena tidak adanya sumber daya manusia yang mampu membuatnya, akhirnya luput dari pengelolaan.

“Untuk produksi air nira saja kami kewalahan. Karena permintaan dari berbagai tempat cukup banyak,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, air nira hasil sadap per harinya bisa mencapai 5 hingga 20 liter tiap pohon. Air nira sebanyak itu hanya bisa menjadi 2,5 kg gula merah, atau menjadi 4 kg gula palem. Harga jualnya per 600 gram dipatok Rp 17.000.

“Kami masih menjual di sekitar Kutim dan Bontang saja. Itu saja sudah kewalahan. Bagaimana mau membuat produk lainnya,” sebutnya.

Sakka menambahkan, saat ini petani yang masih mau mengelola kebun Aren Genjah ini hanya tersisa yang berumur. Anak mudanya lebih memilih menjual bibit saja, atau lebih memilih kelapa sawit. Bahkan di kelompok tani yang ada, petani aren hanya tersisa 18 orang.

“Kalau lebih banyak orang yang terlibat mungkin bisa dikembangkan lagi berbagai produk olahannya,” sebut Sakka.

Pria berusia 66 tahun ini bercerita, awal mula dirinya membudidayakan Aren Genjah. Awal tahun 2000-an, Sakka mencoba mengembangkan tanaman kakao. Namun karena kerap diserang hama tupai, hasilnya tidak maksimal.

Dia lantas beralih ke pisang dan terserang virus tanaman. “Hingga akhirnya saya coba kembangkan aren ini,” bebernya.

Dibantu Dinas Perkebunan Kutim dan peneliti dari Manado, Sakka akhirnya berhasil membudidayakan tanaman yang dulunya sebatas tanaman hutan biasa itu. Sebab awalnya hanya pohon yang hanya setinggi 4 meter saja dan sudah berbuah pada usia tanam 6 tahun.

“Kalau aren tingginya bisa 6 meter dan baru berbuah 8 hingga 10 tahunan,” tandasnya. (ref)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img