spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Menggali Proyek Raksasa Ibu Kota Negara Nusantara Dari Kacamata Marhaenisme

SALAH satu Proyek Raksasa yang sedang dikebut oleh Pemerintah saat ini adalah Proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang hangat diperbincangkan oleh khalayak luas, sehingga tak jarang menuai pro kontra. Pasalnya IKN merupakan upaya pemerintah yang katanya mengusung Pembangunan ekonomi inklusif, dengan tujuan menyebarluaskan magnet pertumbuhan ekonomi baru, sehingga pembangunan dan perekonomian tidak lagi berpusat di Jawa saja. Menariknya, IKN hadir dengan membawa symbol identitas bangsa, green ecnomy, green energy, smart transportation, dan tata kelola pemerintahan yang efesien dan efektif sebagai milestone transformasi besar bangsa Indonesia.

Kalau dilihat dari Sejarah, cikal bakal IKN yang nantinya berlokasi di Benua Etam yakni Kalimantan Timur telah digagas sejak tahun 1957 tepatnya pada era Soekarno. Namun baru terealisasi dan dieksekusi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dikutip dari akun Instagram resmi PUPR, di tahun 1957 Soekarno presiden pertama Indonesia menggagas agar Ibu Kota yang saat itu berlokasi di Jakarta dipindahkan ke Kalimantan Tengan yakni Palangkaraya. Di dekade berikutnya, tepat di era Soeharto, ia mengeluarkan Keputusan tentang koordinasi pengembangan Kawasan Jonggol, Jabar sebagai kota mandiri untuk dialokasikan sebagai pusat pemerintahan RI.

Di tahun 2013, Presiden SBY menawarkan apakah Jakarta tetap sebagai ibu kota atau memindahkan pusat pemerintahan keluar Jakarta. Tepat di tahun 2019, Indonesia dikejutkan dengan kabar dari Jokowi bahwa Ibu Kota Negara akan segera dipindahkan ke Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pembangunan pun mulai dikerjakan, namun tak jarang proyek strategis ini mendapat kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Tak berhenti sampai disitu, Presiden Jokowi pun kembali mengabarkan IKN ini akan diresmikan bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79 yakni di tanggal 17 Agustus 2024 mendatang.

BACA JUGA :  Pembangunan IKN, PPU Sudah Dapat Apa?

Jika kita menggali lebih dalam, salah satu urgensi pemindahan IKN, adalah untuk menghadapi tantangan di masa depan sesuai dengan Visi Indonesia 2045, yakni mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dengan target perekonomian terbesar ke-5 di dunia yang hanya dicapai dengan melakukan yang namanya transformasi ekonomi. Selain itu, pembangunan diharapkan tidak lagi bersifat Jawasentris ditambah dengan kondisi Jakarta

yang saat ini telah padat penduduk mencapai 16.704 jiwa/km2 yang juga berpengaruh terhadap permasalahan lingkungan yang tergolong serius. Pemindahan IKN pun digaungkan sebagai keputusan yang harus didukung oleh segenap elemen yang bernaung di Indonesia guna membangun bangsa yang lebih baik di masa depan.

IKN Dalam Bayangan Marhaenisme

Membicarakan IKN dengan segala visi misi yang sejauh ini digaungkan oleh pemerintah, tentu tak lepas dari prinsip dan ideologi Marhaenisme yang digagas oleh Bung Karno untuk mencapai keadilan sosial, kemandirian, dan kesejahteraan rakyat. Dalam sudut pandang Marhanisme, IKN bukan hanya milik segelintir elit lalu menindas rakyat kecil yang selama ini termarjinalkan dan haknya dirampas, melainkan menciptakan sebuah ekosistem sosial yang adil dan iklusif sejalan dengan alasan dan janji-janji para elit politik saat menggagas proyek ambisius ini.

BACA JUGA :  Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Kota Samarinda

Marhaenisme membayangkan pembangunan yang menghabiskan anggaran yang besar ini, harus dirancang sedemikian rupa sehingga yang katanya dirancang untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan roda ekonomi, tidak hanya dinikmati oleh perusahaan dan investor asing, tetapi juga dapat dinikmati dan diakses masyarakat lokal. Harusnya pemerintah tak lagi memikirkan bagaimana memperkaya diri dan keturunannya, tapi pemerintah hadir menjawab apa yang jadi kerinduan masyarakat di tanah air yang katanya kaya akan Sumber Daya Alam tapi faktanya banyak jiwa yang terlantar bahkan makan pun susah. Lantas, Dimana dan untuk siapa saja kekayaan alam yang selama ini menjadi slogan Indonesia? Sering dipertanyakan namun sayangnya sering juga dilupakan oleh para elit.

Pun juga, Marhaenisme mengajarakan bahwa harusnya di dalam setiap aspek pembangunan, rakyat harus menjadi subjek bukan objek. Padahal jika membaca berita di hari kemaren, lucunya pemerintah justru membuat masyarakat lokal merasa disingkirkan dan dibiarkan menata kembali kehidupannya dari nol, sementara kampung halaman mereka berubah menjelma menjadi “Kota Modern” yang jutru tidak bisa dinikmati. Lantas apakah IKN hanya melanjutkan prosedur perampasan lama?

Banyak orang menaruh harap kalau IKN itu akan menjadi pilot project pertama pemerintah Indonesia untuk memperbaiki kebijakan terhadap suku-suku asli di Indonesia yang selama ini sudah terepresi oleh pembanguan sejak zaman Orde baru, tapi kenyataannya ini lebih buruk dari zaman Orde Baru.

Tentu, kabar baiknya adalah kita akan menyaksikan akhir dari pembangunan IKN ini. Apakah sejalan dengan mimpi-mimpi pemerintah saat mencetuskannya, atau justru menyengsarakan warganya khusunya Masyarakat lokal.

BACA JUGA :  Putus di Tengah Jalan

Namun satu hal, yang menjadi kunci suksesnya proyek ini adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat. Semangat gotong royong yang menjadi inti marhaenisme tercermin dalam setiap proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pemerintah harus mau memberikan ruang yang adil bagi masyarakat, bukan malah menganggap masyarakatnya itu kaum yang bisa dimanipulasi dan dibodoh-bodohi.

Maka yang perlu dipersiapkan oleh masyarakat adalah kemampuan dan kemauan untuk berjuang menghadapi pertarungan di hari esok. Lawanlah setiap elit yang dirasa itu hanya untuk merampas hak dan membelenggu kita. Untuk kaumku, anak muda, bersiaplah menyambut perhelatan untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Tak lupa, rebutlah kembali keberpihakan kepada kaum marhaen yang selama ini diabaikan oleh pemerintah. Perjuangkanlah hak mereka yang termarjinalkan, sebab pemuda adalah pelopor untuk menjemput generasi emas 2045 yang nantinya akan menggantikan posisi para pemerintah kita.

Maka sekarang, IKN tidak dapat lagi ditolak tetapi mari kita kelola dan mengisi kekurangan yang ada sesuai dengan cita-cita marhaenisme yakni mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan mempromosikan pemerataan pembangunan, partisipasi Masyarakat, IKN menjadi symbol nyata untuk Indonesia lebih baik menuju Indonesia Emas 2045 dimana setiap warga negara menjadi objek dan merasakan manfaat dari kemajuan dan pembangunan bangsa. Bersiaplah, sebab babak baru dan Sejarah baru akan dimulai.

Penulis : Elfrida Sentyana Siburian Kader DPC GMNI Kota Samarinda

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img