spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Menelusuri Peradaban Eropa Lewat Dua Mahasiswa Unmul yang Belajar di Barcelona dan Roma

SAMARINDA – Setelah menempuh 16 jam dari Jakarta, pesawat yang ditumpangi Ananda Nazeli Ahsan mendarat mulus di bandara Leonardo da Vinci. Pemuda 21 tahun itu segera menuju pintu depan bandara. Dari situ, Ananda yang hanya mengenakan jaket tipis, bisa merasakan udara alami Roma, Italia. Hawa panas Eropa, kata dia, tidak jauh berbeda dengan Samarinda, daerah asalnya.

“Waktu saya mendarat, itu masih di ujung musim panas. Jadi, betul-betul seperti Samarinda,” kenang mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi (Ilkom), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, angkatan 2019 ini. Ananda menceritakan pengalamannya itu ketika ikut diskusi yang diadakan Unmul pada Selasa, 7 Desember 2021. Tema diskusi bertajuk International Culture Communication: Tantangan Komunikasi di Dunia Perguruan Tinggi Luar Negeri.

Erzha Tegar Hati, 21 tahun, mahasiswa Unmul lainnya yang menempuh pendidikan di luar negeri, juga punya cerita soal cuaca. Bedanya, jika Ananda dilanda panas, Erzha diusik dingin. Pengalaman tersebut ia dapatkan setelah dua hari tiba di Barcelona, Spanyol, pada 17 September 2021. Waktu itu, musim dingin tiba-tiba melanda sepenjuru Spanyol.

Terlepas dari cuaca, mahasiswa Ilkom 2018 ini mengaku terkesima dengan orisinalitas arsitektur bangunan di Spanyol. Hampir di setiap sudut jalan, ia bisa melihat jejak sejarah perkembangan peradaban Negeri Matador. Contohnya, bangunan gereja Basílica de la Sagrada Família yang terletak di pusat kota Barcelona.

Sang arsitek gereja adalah Antonio Gaudí. Ia merancang dan membangun Basílica de la Sagrada Família sejak 136 tahun lampau. Yang membuat Erzha heran, sampai hari ini, pembangunan gereja katolik tersebut belum rampung. Padahal, UNESCO sudah menetapkan bangunan tersebut sebagai situs warisan dunia pada 2010. Erzha merasa beruntung mendapat tempat tinggal yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari gereja tersebut.

BACA JUGA :  Dampak La Nina, Kaltim Waspada Banjir

“Itu sejarah kelas dunia dan lokasinya persis di depan rumah saya. Hal-hal yang dilihat di film, itu ada di sini. Orisinalitas bangunannya sangat terjaga,” ungkapnya.

Erzha lantas mengisahkan wujud arsitektur kampusnya, Universitat Pompeu Fabra. Kampus tersebut memiliki perpustakaan yang mirip seperti Hogwarts School of Witchcraft and Wizardy, perpustakaan di novel fiksi Harry Potter. Sementara kampus Ananda, Sapienza University of Rome, disebut salah satu universitas tertua di Eropa. Didirikan pada 1303, Sapienza bertengger di peringkat pertama sebagai studi sejarah klasik dan kuno.

Perbedaan Budaya dan Pembelajaran

Perpindahan seseorang dari lingkungan lama ke lingkungan baru memungkinkan seseorang mengalami gegar budaya atau culture shock. Gegar budaya adalah pengalaman pribadi yang muncul ketika individu bertemu dengan budaya baru. Meskipun demikian, bagi seorang mahasiswa, gegar budaya dapat menjadi kesempatan untuk meningkatkan kapasitas individu dalam beradaptasi dengan keadaan baru (Teddy Fiktorius, Culture Shock: A New Life of an Indonesian Student Adapting to U.S Life, Jurnal Sosial Budaya, 2019, hlm, 149).

Kepada kaltimkece.id, Ananda dan Erzha mengaku tidak begitu merasakan gegar budaya selama tiga bulan tinggal di luar negeri. Ananda menyebut, perilaku masyarakat Roma tidak jauh berbeda dengan Samarinda. Ananda dan Erzha sepakat menyatakan, masyarakat di luar negeri juga tidak ‘sempurna’. Dalam hal peraturan, misalnya.

“Mereka menyeberang jalan, ya, menyeberang saja, tinggal mengacungkan tangan. Jadi tidak jauh berbeda. Dan, ada kekurangannya juga,” ucap Ananda. “Kadang, kita mendramatisasi orang Eropa begini dan begitu. Tapi, (kenyataannya) tidak juga. People still disobey rule sometimes.”

BACA JUGA :  Bejat! Kakak Beradik di Samarinda Jadi Budak Seks Ayah Kandungnya

Tinggal dekat pusat keagamaan di Vatikan membuat Ananda banyak mendapatkan pengalaman. Ia mengaku, pola pikirnya mulai terbuka tentang kultural seperti menghargai perbedaan beragama. “Akhirnya, saya tahu rasanya menjadi minoritas,” sebutnya.

Erzha juga tertarik melihat sikap masyarakat Eropa yang sangat menghargai urusan privat seseorang. Mayoritas penduduk di Barcelona disebut tidak mau mencampuri urusan pribadi seseorang. Sebagai ibu kota, Barcelona adalah tempat pertemuan berbagai individu. Masyarakat di sana pun dikabarkan sangat menghargai perbedaan suku, ras, dan agama. Padahal, terdapat tiga bahasa yang digunakan di Barcelona yakni Spanyol, Catalan, dan Inggris.

“Warga di sana tidak mempermasalahkan jika seseorang tidak fasih berbahasa lokal. Jadi, kalau bahasa Spanyol-nya agak kurang, bisa menggunakan bahasa Inggirs. Saya mencoba tidak terlena. Saya mempelajari budaya mereka sembari menjelaskan budaya saya,” jelas Erzha.

Selain sikap dan budaya, Erzha mengaku kagum dengan model pembelajaran di universitasnya. Setiap mata kuliah, terang dia, dosen hanya mempresentasikan materi dan kuliah umum pada pertemuan pertama. Pertemuan kedua, mahasiswa dikumpulkan dalam kelompok-kelompok kecil untuk mendiskusikan berbagai isu ataupun bahan pelajaran yang sudah diterangkan dosen pada pertemuan sebelumnya. Mahasiswa didorong untuk aktif bersikap kritis dan menyampaikan pendapat di kelas secara terbuka.

“Kami membicarakannya seperti lagi nongkrong. Bahkan ada beberapa kata seperti swearing atau menyumpah. Itu tidak apa-apa digunakan kalau memang begitu kenyataannya,” paparnya.

Erzha hanya diwajibkan berkuliah mulai Senin sampai Jumat. Biasanya, setiap akhir pekan, ia berkunjung ke Swiss, Belanda, Italia, dan Andora. Ia mengaku, pergi ke negara lain untuk mempelajari berbagai hal yang tidak ada di Samarinda.

BACA JUGA :  Antisipasi Kenaikan Harga Jelang Iduladha, Pemkot Samarinda Gelar Pasar Murah

“Andora, negara yang lebih kecil banget dari Samarinda, cuma seukuran Sempaja. Tapi, kenapa bisa sukses? Aku selalu mempertanyakan itu. Makanya aku ke sana. Kalau perlu sendirian,” ucap Erzha.

Ananda dan Erzha mengaku beruntung bisa berkuliah di luar negeri melalui beasiswa Indonesian International Student Mobility Awards (ISMA). Program tersebut dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tujuannya, memberi kesempatan mahasiswa mengambil maksimal 20 sistem kredit semester (SKS) selama satu semester di universitas luar negeri.

Di Unmul, hanya ada tujuh mahasiswa yang menerima beasiswa ini. Ananda dan Erzha berharap, mahasiwa lain bisa memperoleh kesempatan yang sama berkuliah di luar negeri. Mereka lantas membeberkan beberapa tips agar bisa mendapat ISMA dan program darmasiswa lainnya.

Satu di antaranya adalah melatih kemampuan berbahasa Inggris dan mengantongi hasil tes kebahasaan seperti TOEFL dan IELTS. Selain itu mempersiapkan diri untuk interviu, belajar menulis esai, dan menyusun curicullum vitae.

Khusus daftar riwayat hidup, Ananda dan Erzha berpesan, para mahasiswa sebaiknya fokus mengumpulkan pengalaman. Yang paling penting, menyiapkan mentalitas untuk konsisten dan berkompetisi. Dan, tidak perlu minder dengan kemampuan diri sendiri. “Just do it. Yang penting mencoba. Berkuliah di luar itu life changing experience,” seru Erzha.

Koordinator Program Studi Ilmu Komunikasi, Unmul, Rina Juwita, mengaku bersyukur bisa mengirim dua mahasiswa berkuliah di luar negeri lewat program ISMA. Tahun-tahun berikutnya, Rina berharap, mahasiswa yang mengikuti program tersebut makin banyak.

“Pengalaman antarbudaya ini mengartikan betapa luasnya dunia ini dan menyadari pentingnya menghargai setiap perbedaan,” kata alumni program doktoral dari The University of Western Australia itu. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Html code here! Replace this with any non empty raw html code and that's it.