spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Melihat Peluang di Tengah Potret Buram Globalisasi

Oleh: Nabila Mar’atun Khasanah
Mahasiswa Magister PSdK Fisipol UGM

Dalam buku yang berjudul “A Future Perfect, The Challenge and Hidden Promise of Globalization” karya Micklethwait dan Wooldridge (2000) menjelaskan tentang tiga mesin globalisasi (Three Engines of Globalization). Mesin globalisasi tersebut adalah teknologi, modal (capital) dan manajemen, ketiga mesin globalisasi tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain (Muhamad, 2019).

Teknologi dalam era globalisasi berfungsi sebagai alat produksi barang-barang global dan juga digunakan sebagai alat untuk transportasi perpindahan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Sedangkan manajemen digunakan sebagai strategi memenangkan persaingan dalam pasar global baik oleh pemerintah maupun swasta, institusi yang baik adalah intitusi yang memiliki manajemen yang baik sehingga dapat mengembangkan bisnisnya melewati batas-batas negara. Selanjutnya mesin globalisasi yang ketiga adalah modal (capital) yang biasa disebut dengan “dirty dollar”.

Modal berperan penting sebagai mesin penggerak perekonomian global. Modal dalam era globalisasi tidak mengenal batasan ruang. Negara-negara maju dapat berinvestasi di negara berkembang begitupun sebaliknya, negara-negara berkembang dapat menanamkan modal di negara maju untuk keuntungan yang berlipat-lipat ganda.

Ketiga mesin globalisasi tersebut memberikan dampak yang tidak dapat diprediksi, mulai dari ketidakpastian di berbagai sektor yakni di sektor ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Jika dilihat dari pengaruhnya, globalisasi erat kaitannya dengan modernisasi dan teknologi. Namun faktanya, modernisasi dan teknologi dalam globalisasi juga menciptakan rasa ketergantungan antara negara-negara berkembang kepada negara-negara maju. Paradigma ketergantungan tercermin melalui teori Keterbelakangan (Baran 1960; Frank 1967; Amin 1976) dan teori sistem dunia (Wallerstein 1979) muncul sebagai respon akibat gagalnya penerapan teori Modernisasi di Amerika Latin.

Pendekatan ini dipengaruhi oleh ide-ide Karl Marx mengenai konflik kelas di dalam masyarakat kapitalis, kemudian para ahli seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank, Samir Amin, dan Wallerstein berusaha menjelaskan keterbelakangan dan kemiskinan di Dunia Ketiga berasal dari ketergantungan pada ekonomi global serta konflik-konflik ineternasional (Hermawanto & Anggrani, 2020).

Adanya globalisasi yang tidak terkontrol menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem ekonomi dunia, di mana negara-negara yang kuat mengeksploitasi negara-negara yang lebih lemah. Indonesia, sebagai negara berkembang, juga mengalami dampak ketergantungan ini. Meskipun memiliki kekayaan alam, Indonesia menghadapi kesulitan mengelola sumber daya alamnya sendiri. Bahkan, Indonesia naik peringkat dari 133 menjadi 171 sebagai pengekspor sumber daya alam terbesar di dunia, mencerminkan ketidakseimbangan tersebut.

Dalam perspektif ini, globalisasi dianggap sebagai suatu proses dengan dampak dan tantangan yang beragam bagi negara berkembang dalam usaha mengelola sumber daya alam. Globalisasi dapat mengakibatkan pembentukan dua kelompok, yakni pihak yang kalah (the losers) dan pihak yang menang (the winners). Pihak yang kalah melibatkan masyarakat di negara-negara berkembang yang kurang terdidik, memiliki peluang terbatas, dan akses yang terbatas terhadap sumber daya ekonomi dan informasi. Sebanyak empat miliar orang di negara-negara berkembang hidup dengan pendapatan yang sangat rendah dan tertinggal.

Di sisi lain, pihak yang menang melibatkan negara maju dan perusahaan multinasional yang mempunyai kemampuan utnuk membangun jejaring bisnis secra global dan melibatkan berbagai aktor dari berbagai negara. Contohnya figur seperti Rupert Murdoch, Robert Kwok, dan Bill Gates, bersama dengan ribuan pengusaha atapun kelompok usaha lainnya, yang dapat beroperasi di berbagai belahan dunia (Nazih, 2022).

Sebagai tantangan, globalisasi dapat memberikan peluang bagi negara berkembang untuk lebih mandiri dan berdaya dalam mengelola sumber daya alamnya. Sebut saja merk HMNS yakni sebuah merk parfum lokal yang didirikan oleh Rizky arief Dwi Prakoso. Baginya Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, khususnya bahan mentah minyak nilam sebagai bahan pokok pembuatan parfum karena sifatnya mengikat wangi dari parfum tersebut.

Namun sayangnya pengolahan minyak nilam di Indonesia tidak optimal dan sebagian besar hanya dijadikan komoditi ekspor dalam bentuk bahan mentah. Padahal tanpa Indonesia industri parfum dunia tidak akan bisa sebesar sekarang. Pertahun kebutuhan akan minyak nilam dunia sebesar 2000 ton/tahun yang kurang lebih 1500 ton berasal dari Indonesia karena minyak nilam Indonesia adalah yang terbaik dan terbesar di dunia.

Kemampuan melihat peluang di tengah potret buram globalisasi. Meembuat Rizky tergerak untuk mengembangkan industri parfum lokal yang berskala internasional. Memanfaatkan modernisasi dan teknologi sebagai akibat dari adanya era globalisasi, Rizky memasarkan produknya di e-commerce. Dengan hasil yang mengejutkan ternyata merk HMNS mendapatkan sambutan yang luar biasa bukan hanya dari pasar lokal namun juga dari pasar internasional. Bahkan dari data compass: e-commerce market insight dashboard per periode 1-15 Agustus 2021 HMNS berhasil menduduki posisi kelima setelah produk-produk high end. Seperti YSL, Dior, Bvlgari, dan Channel.

Keberhasilan Rizky dalam melihat peluang di era globalisasi membuat penulis mempunyai harapan besar pada perkembangan industri di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi dan modernisasi sebagai akibat dari globalisasi itu sendiri. Terlebih dengan adanya focus pemerintah melalui Kementerian Perindustrian yang telah berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan hilirisasi industri dengan tujuan agar dapat memberikan dampak positif yang luas terhadap ekonomi nasional. Dampak positif tersebut mencakup peningkatan nilai tambah dari bahan baku lokal, penambahan lapangan kerja, dan penghasilan devisa melalui ekspor.

Oleh karena itu, generasi muda Indonesia sudah seharusnya menjadikan era globalisasi sebagai tantangan untuk terus berinovasi dibidang apapun, baik dari bidang teknologi, ekonomi, pariwisata, dan penguatan budaya sebagai identitas bangsa. Menjadikan globalisasi keadaan yang menguntungkan dalam melihat prospek industri. Jika banyak anak muda mampu melihat peluang tersebut maka sangat mungkin untuk Indonesia dapat menjadi pemenang dalam persaingan global. (*)

Referensi:
Hermawanto, A., & Anggrani, M. (2020). Globalisasi, Revolusi Digital Dan Lokalitas : Dinamika Internasional Dan Domestik Di Era Borderless World. In LPPM UPN VY Press.

Muhamad, D. (2019). Perkembangan Dan Transformasi Teknologi Digital. Infokam, 15(2), 116–123.

Nazih, A. G. (2022). Makna Globalisasi: Perkembangan Dunia dan Perkembangan Teknologi Informasi. 1–9.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img