spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Loneliness, Cinta dan Harmoni

Cerbung ke-5

Oleh Muthi’ Masfu’ah

Cinta memang tak sesederhana yang kita pikirkan… Seperti yang dialami oleh Marina Anramovic, pada tahun 1970, Marina dan kekasihnya yang bernama Ulay harus mengakhiri hubungan mereka. Bahkan saat mereka putus pun, mereka memilih dengan gaya yang berbeda, seperti seorang seniman sejati. Mereka menuju ujung yang berlawanan dari Tembok Besar China dan berjalan saling saling menghampiri dan bertemu di tengah. Ketika mereka bertemu, mereka memberikan pelukan terakhirnya dan akhirnya berpisah.

Sejak saat itu, Marina dan Ulay tidak pernah lagi bertemu. Lebih dari 30 tahun setelahnya, Marina membuat pertunjukan seni secara langsung. Ia menghabiskan waktu satu menit dengan orang asing tanpa berkata sepatah katapun. Mereka hanya duduk, saling memandang, dan mungkin mendapat inspirasi dan energi satu sama lain.

Namun, satu audien menarik perhatian Marina. Reaksi Marina saat bertemu pria satu ini sangatlah berbeda ketika Marina bertatapan dengan audien lainnya. Diketahui bahwa pria di menit ke 1:30 dalam video berikut adalah Ulay, sang mantan kekasih. Marina tidak pernah mengetahui bahwa mantan kekasihnya itu menjadi salah satu audien di pertunjukan seninya.

Hari itu menjadi yang pertama kalinya keduanya bertemu kembali setalah 30 tahun. Momen pertemuan mereka sangatlah emosional dan menyentuh. Marina dan Ulay saling berpandangan tanpa mengucapkan kata apapun. Air mata mulai terlihat dari keduanya, sebelum mereka berpegangan tangan, seolah berbicara dari hati ke hati. Seperti yang terlihat dari kisah Marina dan Ulay, cinta bisa dibilang sebagai hal paling menakjubkan di dunia.

Bahkan ketika beberapa hubungan tidak berhasil dan berakhir dengan perpisahan yang tak dikehendaki, ingatan pada orang yang pernah dicintai masih tetap ada dan melekat. Hal itu patut dikenang di hati dan hidup dalam pikiran kita selamanya. Meskipun Marina dan Ulay hanya berdiam di sana tanpa berbicara apa-apa, tapi terlihat bahwa mereka saling berbicara melalui hati.

Aku menutup cerita itu, seraya melihat pesan di HPku.

“Aku sudah menunggu di Kafe di pinggir sungai, tempat biasa aku menghabiskan waktu dan pekerjaan.”

Aku menghela nafas, dan segera bergegas ke Kafe tempat biasanya dia mengerjakan tugas liputan onlinenya.

“Kita telah salah.” Lelaki berusia tiga puluhan itu berkata seolah bergumam, memulai percakapan antara kami, setelah aku duduk di depannya.

“Kau tahu ini seharusnya tidak terjadi?” lanjutnya lagi.

Aku hanya bisa menatap debur ombak air sungai di pinggir kafe siang itu. Sebenarnya aku tahu bahwa itu adalah pertanyaan sederhana. Tapi entahlah bibirku membeku tak bisa sedikitpun menjawabnya.

Tergambar di wajahnya sebuah garis-garis kecemasan dan penyesalan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sorot matanya menunjukkan sebuah ketakutan. Takut kehilangan.

Aku juga mengakui memang tidak seharusnya hal ini terjadi di antara kami. Tapi entahlah aku merasa seperti tidak bisa menghindar dari itu. Aku gak enak menolak. Apalagi jika ayah sedang keluar kota, semua dibantu olehnya.

Terkadang aku mati langkah. Maksudku… tidak sama yang dia rasakan… Setiap kali ingin menghindar ada tatapan yang seolah menarikku kembali agar kembali mendekat. Aku dibuat tidak enak untuk menolak. Walau ini bukan rasa yang membuat aku tenang. Mungkin gak enak, atau hanya belas kasihan…

“Sudah ada cincin yang melingkar di jari manismu?” tanyamu sembari menunjukkan cincin yang aku pakai. Cincin yang dipasangkan oleh calon suamiku. Aku sampaikan begitu. Bahwa dua bulan lalu aku sudah dilamar seorang lelaki baik. Ya, lelaki pilihan ayahku.

“Sebenarnya aku sudah bisa melupakanmu. Perlahan aku sudah mencoba membunuh rasa ini. Perlahan aku mencoba membangun kesiapan hati untuk menyaksikan kamu bersama orang lain. “ Ujarnya dengan bahasa dewasa, dan lagi-lagi aku hanya diam menunduk dan… diam…

“Namun, satu minggu yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa kamu sudah dilamar oleh lelaki pilihan ayahmu. Aku memberanikan diri untuk mengajaknya ke sini ini.”

Ia masih melanjutkan perkataannya. Aku diam dan berusaha mendengarnya, menghargainya. Aku tak pernah berpikir, mengapa ia sampai jatuh hati sampai sejauh ini… Sementara aku tak pernah menjawab setiap apa yang ia sampaikan.

“Aku hanya untuk sekedar ingin bertemu dan mengucapkan selamat untukmu,” suaranya agak gemetar. Aku masih diam, entah apa yang harus aku katakan.

“Ini salahku. Aku telah salah menempatkan diriku dihadapan kamu. Harusnya jauh-jauh hari sudah aku katakan. Bahwa Ayah sudah punya pilihan. Dan aku menyetujuinya.” ucapku yang sejak tadi diam mematung. Gak tega melihatnya.

Dia terdiam setelah mendengar ucapanku itu. Dia memandangku, mungkin dia sedang memahami maksud dari kata-kataku. Lalu kulihat matanya mulai berkaca-kaca, dia memang lelaki perasa. Seharusnya aku tegas dari awal, hingga tak berlarut-larut seperti ini. Membuat seseorang yang mencintaiku terluka. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku tak ingin cintanya bertambah dalam, dan aku semakin tak enak bila meninggalkan.

“Kau dan aku sudah terlalu jauh berlari di jalan ini. Hingga akhirnya kita tiba di persimpangan jalan. Kau mengajakku untuk terus berlari sampai menemukan ujung jalan ini. Tentu aku masih ingin terus berlari bersamamu. Tapi kau tahu, aku harus memilih berbelok untuk mencari jalan lain.” ucapnya dengan lirih.

Duh, aku semakin merasa bersalah karena tidak tegasanku.

“Kau harus bisa berlari sendiri. Tanpa aku. Mungkin di jalan kau akan bertemu dengan wanita yang mau kau genggam tangannya, lalu berlari bersama menemukan ujung jalanmu. Suatu saat jika memang takdir kita, kita akan menemukan ujung jalan yang sama.” Lanjutku, mencoba menguatkannya.

“Aku minta maaf…” kataku akhirnya… Jalan ini aku pilih, agar dia tak semakin terpukul. Bahwa aku tak punya rasa apapun terhadapnya, kecuali hanya persahabatan… bahkan mungkin belas kasihan…

Sungguh, maafkan aku…

Lelaki berusia tigapuluhan itu, memakai tas ranselnya lalu pergi meninggalkanku yang masih terduduk di pinggir kafe ini. Kini aku hanya menikmati deburan ombak yang menghantam pinggiran kafe. Laut saat itu sedang cerah dengan sinar matahari penuh sempurna.

***

……..

You break my heart, break my hope

Make me so down in a loneliness

You left me when I deep

Thought you are my best scene

Being my prince, but I was wrong

Baby, you change a pink into the blue

Kau hancurkan hatiku, hancurkan harapanku

Membuatku begitu terpuruk dalam kesepian

Kau meninggalkan saya ketika saya dalam mencintai

Pikir kau adalah adegan terbaik saya

Menjadi pangeranku, tapi aku salah

Sayang, kamu mengubah warna pink menjadi biru

…….

Dalam sekali makna lagu Putri, Loneliness… sendiri, kesendirian… mungkin bukan sesuatu yang kita inginnya… berpisah dengan orang yang sangat kita cintai, atau bahkan saling mencintai, belum mungkin bersatu, berpisah dengan keadaan adalah sesuatu hal dalam hidup yang ternyata tidak sederhana mudah seperti yang kita pikirkan… Butuh kebesaran jiwa untuk bisa berdiri tegak dan berjalan dan bergerak… meski jatuh bangun untuk bisa menghadapi semua keadaan… Mungkin seperti seniman Marina dan Ulay, saling mencintai dan keadaan mungkin suatu hal untuk sulit bersatu… mungkin…

Aku pelan-pelan membaca pesan Mas… seorang yang dulu pernah konsul cerita hidupnya untuk dibukukan, diskusi tentang pengembangan literasi di sekolahnya… Selalu hingga kini getaran itu selalu ada… Hingga aku memutuskan tidak menerima seorangpun dalam hidupku, termasuk perjodohan yang ayah usahakan… Aku belum bisa, melupakan Mas begitu saja… Terkadang aku menatap langit biru, bahkan bintang di malam hari… ingin mencari jawab tentang apa yang aku rasakan…

“Semoga Uty sehat selalu… Jujur sampai saat ini hati Mas gak bisa pindah ke lain hati… Seperti janji Mas… Saat ini dan selamanya…”

“Uty menyimak Mas, sungguh-sungguh?”

“Ya Uty, sejak awal kenal kan begitu, Mas memang benar-benar ada kesungguhan. Mas gak akan kemana-mana, gak akan mencari yang lain kecuali Uty… Mas komitmen Uty… Itu janji Mas…”

Aku tak sanggup membaca pesannya… seorang yang saat ini dan selamanya hidup dalam pikiran dan hatiku… Mataku berkaca, saat hatiku bergetar…

Aku ingin mencintaimu seperti udara yang tak tampak tapi selalu menyertaimu. Aku ingin mencintaimu seperti angin, tak terlihat tapi menggerakkan hatimu untuk rindu.

Aku ingin mencintaimu seperti air, tak terasa sakit bermanfaat di hidupmu. Aku ingin mencintaimu seperti kayu, tak beraturan tapi bisa menguatkan di masa rapuhmu. Aku ingin mencintaimu seperti langit, tak terjangkau tapi bisa memberikan keindahan dihidupmu…

Angin pagi masih berhembus sejuk… menyelimuti sejuta rasa hatiku… sungguh cinta dan harmoni telah menyatu di relung bening hatiku… rasa itu begitu kuatnya… hidup dalam hati dan pikiranku…

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img