spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lima Bulan Dipenjara karena Menentang Omnibus Law, Inilah Kisah Mahasiswa Unmul Hari-hari di Balik Jeruji

SAMARINDA – Tubuh kecil Wisnu Juliansyah berkelit di antara ribuan demonstran yang bergerak ke segala arah. Di depan gerbang utama DPRD Kaltim, kedua mata mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, tersebut, mulai disergap perih. Gas air mata sudah memenuhi udara. Beberapa pendemo di dekatnya tersungkur karena siraman water cannon.

Kamis, 5 November 2020, pukul 17.00 Wita, Wisnu terperangkap dalam aksi penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang berujung ricuh. Ia dan beberapa kawannya berusaha melawan. Benda apapun di sekitar seperti batu dan botol minuman, mereka lempar. Wisnu menggenggam sebuah batu dan mengarahkan ke truk water cannon di balik gerbang yang tertutup. Ia lantas berlari ke sebuah kios minuman.

Dari kedai itulah, ujian berat yang dilewati Wisnu bermula. Ia kemudian ditangkap dan ditahan. Hari-harinya yang akrab dengan mata kuliah dan aktivitas kampus berubah. Tubuhnya terkungkung di sel bersama banyak tahanan. Wisnu divonis penjara lima bulan setengah dan bebas pada Selasa, 20 April 2021.

Kepada reporter kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com, Wisnu yang baru menghirup udara kebebasan menceritakan seluruh pengalamannya. Kisahnya kami tulis berdasarkan penuturan orang pertama dengan perbaikan minor di beberapa bagian demi kenyamanan pembaca belaka. Berikut penuturannya.

***

Nama saya Wisnu Juliansyah. Seorang mahasiswa yang besar dan tinggal di Kelurahan Karang Anyar, Sungai Kunjang, Samarinda. Saya mahasiswa semester sepuluh di FISIP, Unmul. Sebagaimana mahasiswa semester “sepuh” yang lain, saya disibukkan oleh tugas akhir. Skripsi saya baru sampai bab III dan menuju seminar proposal. Judulnya “Implementasi Perda Nomor 7 Tahun 2017 tentang Larangan Pemberian Uang kepada Anak Miskin.”

Saya tergolong mahasiswa yang biasa-biasa saja. Pagi sampai siang di kampus, setelah itu ikut beberapa kegiatan ekstra-kampus. Saya memang aktif di Kelompok Belajar Anak Muda, sebuah kegiatan mahasiswa lintas kampus di Samarinda yang mengadakan kajian kritis. Selebihnya, saya dipercaya sebagai koordinator lapangan Aksi Kamisan Kaltim. Aksi rutin setiap Kamis ini diadakan di depan kantor gubernur.

Dalam demonstrasi menolak omnibus law yang kesekian kali di depan DPRD Kaltim, saya turut serta. Unjuk rasa itu berakhir ricuh. Setelah hujan gas air mata dan water cannon, saya menuju warung minuman. Seorang laki-laki yang bertopi tiba-tiba datang dan memiting leher dan meninju perut saya. Walaupun sempat melawan, saya tidak bisa apa-apa. Mungkin ada sekitar 20 orang, semua berpakaian sipil, mengepung saya. Kepala saya ditendang. Telinga terasa berdengung. Saya masih ingat sakitnya waktu itu.

Saya sudah lemas ketika seorang dari mereka menyeret saya ke sebuah minibus di depan Gedung A DPRD Kaltim. Sudah ada dua orang di situ. Firman adalah satu di antaranya. Firman adalah mahasiswa yang dituduh membawa senjata tajam. Seorang lagi sepertinya mengalami gangguan jiwa. Saya tidak kenal.

Langit di Karang Paci mulai gelap. Kami bertiga dibawa ke taman di depan Gedung Paripurna, dekat tenda hijau. Sudah ada 12 mahasiswa di situ. Sepuluh di antaranya, diplontos dan disuruh push up. Dua yang lain tidak disentuh karena anggota pers kampus.

Kami bersembilan dibawa ke kantor polisi di dekat Jembatan Mahakam setelah azan magrib. Di sana, kami dites urine dan rapid test. Saya dimintai identitas. Barang pribadi saya mau diambil untuk, katanya, dijadikan barang bukti. Padahal, saya tidak bawa apa-apa kecuali pakaian dan jam tangan. Akhirnya, arloji itu yang dijadikan barang bukti.

Kami bersembilan selesai diperiksa ketika diminta membersihkan diri di toilet. Kami disuruh berbaris dan masuk satu per satu. Ada dua petugas berseragam yang berjaga. Di situ, kepala bagian belakang saya kembali dipukul. Kepala saya terbentur kaca.

Sekembali dari toilet, hasil rapid test keluar. Saya dinyatakan reaktif sehingga harus memisahkan diri dari barisan. Saya dibawa ke ujung ruangan sendirian. Beberapa orang berpakaian sipil mulai mendekat. Dari telepon pintar, seorang dari mereka menunjukkan rekaman video saya sedang melempar batu ketika demonstrasi. Ada yang terpancing emosi dan hendak memukul. Akan tetapi, rekannya menghalangi dengan mengatakan rapid test saya reaktif. Saya baru tahu, hasil rapid test ternyata bisa melindungi saya dari pukulan atau tendangan.

Saya dibawa lagi ke lantai dua untuk rapid test berikutnya. Rupanya hasilnya non-reaktif. Setelah itu, barulah di-BAP (berita acara pemeriksaan). Saya baru mau diperiksa ketika seseorang, mungkin penyidik, menendang kursi yang saya duduki. Dia bilang, “Selesai kamu! Nakal-nakal kamu!”

Di depan penyidik, saya tidak memberikan keterangan. Saya bilang, tunggu Lembaga Bantuan Hukum. Saya akhirnya tidak diperiksa. Akan tetapi, ketika LBH datang, gambaran kasar BAP ternyata sudah selesai. Kedua orang di depan saya ternyata mengetik berkas pemeriksaan ketika saya ditanyai. Beberapa bagian saya revisi sebelum saya tanda tangani setelah didampingi pengacara.

Malam itu, saya dinyatakan berstatus saksi. Saya disuruh menginap untuk menunggu proses lanjutan. Saya tidak bisa tidur sama sekali. Seluruh badan terasa sakit dan dingin. Rahang saya nyut-nyutan.

DINGINNYA SEL TAHANAN
Jumat, 6 November 2020, saya dan Firman, teman yang tadi dituduh membawa senjata tajam, ditetapkan sebagai tersangka. Saya ditahan di sebuah sel berukuran 1 meter x 1,5 meter selama tiga hari. Saya hanya membawa pakaian. Saya diberi makanan dua kali sehari, siang dan sore. Seingat saya, malam terakhir saya tidak beri makan. Orang yang biasa mengantar makanan menyuruh saya meminta bekal milik tetangga. Entah kenapa.

Hidup di bui benar-benar saya rasakan pada Rabu, 10 November 2020. Saya dipindah ke sel di lantai satu. Ada banyak tahanan di situ. Pertama kali masuk, saya diminta memperkenalkan diri. Saya sebutkan nama, kasus, dan alamat. Saya juga disuruh push up 10 kali. Semua sesuai perintah “Pak RT”. Yang dipanggil “Pak RT” adalah tahanan yang dipilih berdasarkan musyawarah. Tubuh Pak RT tinggi besar, kasusnya pembunuhan. Akan tetapi, ia orang baik. Pak RT meminta maaf sehabis menyuruh saya push up. Katanya, disuruh “orang depan.”

Semuanya ada 150 tahanan dari tiga blok terpisah. Saya masuk di Blok I, blok terbesar karena cukup buat 80 orang. Dua blok yang lain diisi 21 dan 29 tahanan. Tahanan di Blok I berasal dari kasus kriminal umum. Blok sisanya tahanan kasus narkotika.

Saya baru tahu bahwa di dalam tahanan ada seperti sebuah kebiasaan. Tahanan kasus pencabulan adalah yang paling dibenci tahanan lain. Tersangka cabul bisa dipastikan ditindas di dalam penjara. Alasannya sederhana. Pencabulan adalah perbuatan menyakiti orang yang lemah. Istilah mereka itu perkens.

Kasus saya rupanya dianggap langka dan istimewa. Saya tidak dibenci di dalam. Malahan, sebagian besar tahanan bersimpati. Saya justru dilihat sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. Para tahanan memberi julukan “settingan” untuk kasus saya. Ada lagi istilah lain, “loadingan”, yaitu membeli makanan dan kebutuhan dasar dari dunia luar. Seingat saya, sekotak rokok merek apapun, harganya Rp 50 ribu.

Sebelas hari lamanya saya di Blok I. Saya lalu meminta kepada Pak RT untuk dipindah ke Blok II karena ingin bersama Firman. Setelah satu sel, saya dan Firman saling menguatkan. Bagaimanapun, kami amat tertekan. Di dalam sel, tak ada yang bisa dilihat. Tak ada sinar matahari. Tak pernah saya rasakan rintik hujan. Saya merasa betapa mahal tetes air hujan yang jatuh mengenai kulit.

Seringkali mental saya dan Firman runtuh. Setiap kali bersedih, kami selalu meyakinkan diri. Bahwa ada kawan-kawan di luar yang mendukung kami. Saya juga bilang kepada Firman, kalau memang benar, tidak perlu takut. Alhamdulillah, teman-teman di luar terus menguatkan kami. Keluarga saya pun tidak pernah menyalahkan. Saya cuma diminta tetap kuat.

Saya dipindah ke Rumah Tahanan Kelas IIA di Sempaja pertengahan Februari 2021. Sedikit bebas rasanya. Setidaknya, saya bisa menikmati air hujan.

VONIS UNTUK WISNU
Rabu, 4 April 2021, majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara 5 bulan 15 hari kepada Wisnu. Mahasiswa itu dianggap terbukti menyerang seorang polisi sehingga melanggar pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang penganiayaan. Batu yang dilemparnya disebut mengenai pelipis kanan seorang petugas. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni tujuh bulan. Pertimbangannya adalah Wisnu sedang menyelesaikan skripsi.

Indra, kuasa hukum Wisnu dari LBH Persatuan, bersikukuh bahwa kliennya tidak bersalah. Dia mengatakan, bukan hanya Wisnu yang melempar. “Itu spontanitas massa, kenapa cuma dia yang ditangkap?”

Indra menyebutkan adanya ketidaksesuaian keterangan dari saksi korban yang notabene adalah anggota kepolisian. Dari empat saksi, dua keterangan bertentangan. Saksi korban mengatakan bukan cuma Wisnu yang melempar. Sementara itu, dua saksi yang lain mengatakan hanya Wisnu. Satu-satunya petunjuk adalah video saat Wisnu saat melempar batu.

“Sehingga tidak bisa dibuktikan apakah batu tersebut betul mengenai korban. Diuji sidik jarinya dan sebagainya, itu juga tidak pernah. Jangan-jangan, batu itu dilempar orang lain,” sambungnya.

Wisnu sudah menjalani hampir seluruh masa tahanan. Indra mengatakan, kliennya bebas lima hari setelah putusan. Selasa, 20 April 2021, ia akhirnya keluar dari gerbang rutan di Sempaja. Di depan pintu itu ia bersujud. Wisnu sadar masih punya tugas yang harus diselesaikan; tugas akhirnya. Dia terpaksa cuti kuliah selama ini. Selain itu, Wisnu juga ingin tetap menjadi aktivis. Menurutnya, hidup di penjara justru makin membakar semangat perjuangan. Hampir setengah berbisik ketika Wisnu berkata, “Barangsiapa yang ingin merdeka, harus siap dipenjara.” (kk)

 

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img