spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kerisologi: Pengetahuan Perkerisan secara Ilmiah (1)

I. Pemahaman Awal tentang Keris

Kisah Mpu Gandring yang membuat keris pesanan Ken Arok, yang kemudian tewas oleh keris buatan sendiri, lalu melontarkan kutukan bahwa kelak 7 keturunan Ken Arok akan mati oleh keris itu. Dalam perjalanannya, keris tersebut dipergunakan untuk kudeta berdarah dengan terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Kebo Ijo. Drama yang kala itu menceritakan tentang peristiwa tragedy berdarah di Bumi Tumapel dan berdirinya Singasari baik melalui cerita silat maupun film di TV semakin membuat pemahaman tentang keris menjadi mengerikan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman awal rata-rata masyarakat Indonesia terhadap keris adalah senjata tajam yang penuh dengan klenik. Persepsi tersebut semakin tebal, setelah beberapa film menayangkan keris sebagai senjata yang dapat membunuh musuh dengan ritual tertentu. Ada pula sosok dukun dengan dandanan serba hitam, berjambang lebat, rambut gimbal disertai ikat kepala mirip udeng yang memantrai keris diatas kebulan asap kemenyan membumbung tinggi memenuhi isi ruangan sempit. Juga keris terbang yang dapat dikirim oleh seseorang dari lokasi tertentu dengan tujuan mencelakakan orang, semakin membuat keris dihindari oleh pemilik budaya aslinya

Seseorang yang memiliki keris kala itu dianggap sebagai pemuja setan, penyuka klenik dan jauh dari Tuhannya. Cerita-cerita horror selalu menjadi bumbu penyedap tatkala seseorang melewati rumah pemilik keris. Ada yang bilang pernah bertemu kakek berjanggut lebat berdiri di depan pintu, ada putri keraton duduk di halaman rumah, ada harimau putih mondar-mandir di halaman rumah, ada singa dengan mata merah siap menerkam siapapun yang ingin masuk rumah, ada pangeran tampan berdiri di sudut rumah, dan cerita-cerita lainnya yang lebih banyak bersifat karangan lalu ditambah-tambahi agar semakin seru.

Persepsi keris sebagai senjata yang sakti mandraguna karena dapat dipergunakan untuk hal-hal tertentu misalnya menghentikan hujan, memadamkan api kebakaran, mengirim hujan pasir ke musuh, membuat angin rebut di daerah tertentu, sebagai aji sirep yang membuat seluruh isi rumah tertidur pulas, mengirim banjir bandang ke daerah tertentu, mengirimkan wabah penyakit ke lokasi tertentu, mengirimkan bala tantara gaib ke daerah tertentu, dan cerita-cerita yang sulit diterima akal sehat lainnya.

Disisi lain pemahaman leluhur kita terhadap keris yang sinengker juga ikut punya andil, bahwa keris adalah senjata tajam yang tidak boleh dilihat maupun dipegang oleh anak dan cucunya. Seringkali kakek dan nenek zaman dahulu menyimpan keris di lemari yang dikunci rapat dan berpesan agar seluruh isi rumah tidak boleh menyentuh lemari tersebut. Hanya Sang kakek dan nenek yang boleh melihat dan memegang dengan mantra-mantra tertentu, agar isi rumah tidak mengalami petaka.

Dampaknya pengetahuan tentang keris yang tidak ter-edukasi dengan baik kemudian ditambah dengan dongeng-dongeng yang serba menakutkan, dapat menenggelamkan keris sebagai karya budaya Nusantara yang penuh dengan takhayul, dongeng, klenik dan harus ditinggalkan. Ditambah lagi ada propaganda dari pihak tertentu untuk meninggalkan keris. Bila hal ini dibiarkan akan membawa dampak buruk untuk Karya Budaya Nusantara yang seharusnya mendapat perlindungan. Mendudukkan Keris sebagai karya monumental dari leluhur Nusantara adalah menjadi tugas kita bersama tanpa terkecuali.

Bila kita kembali ke kisah Mpu Gandring diatas, keris tersebut sama sekali tidak mengakibatkan terbunuhnya 7 keturunan Ken Arok. Karena yang terbunuh oleh keris buatan Mpu Gandring hanya Ken Arok sendiri. Sedangkan Mpu Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Anusapati, Ki Pengalasan bukan merupakan keturunan Ken Arok. Sedangkan Toh Jaya ternyata tewas bukan karena keris tersebut. Dongeng dan mitos yang dibesar-besarkan tanpa disertai logika berpikir yang jernih, akan menjadi cerita yang dipercaya terus menerus.

Buku-buku dan literatur tentang keris kala itu masih sulit ditemukan. Kalaupun ada, adalah fotocopyan karya S. Lumintu yang diterbitkan Pemetri Wiji. Hingga akhirnya penulis hijrah dari Bontang ke Denpasar-Bali, dan menemukan buku Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsinuksmo yang diterbitkan tahun 2003 oleh Gramedia. Disusul Majalah Pamor yang diterbitkan Triwulanan sejak tahun 2006 oleh Komunitas Panji Nusantara, dan yang paling fenomenal adalah hadirnya buku Keris Jawa karya Kanjeng Haryono Haryoguritno yang diterbitkan tahun 2006 oleh Indonesia Kebanggaanku. Semaraknya buku keris semakin menguatkan Keris sebagai cabang Ilmu Pengetahuan yang bernama Kerisologi.

Keris selain memiliki penampilan fisik (Eksoteri) yang indah dan mengagumkan juga memiliki aspek non fisik/non bendawi (Isoteri). Keris juga memiliki fungsi yang melekat baik itu fungsi sejarah, fungsi budaya tradisi, fungsi social, fungsi falsafah dan tentu saja fungsi mistik yang berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan YME. Semua hal tentang keris yang selama ini gelap (sinengker), menjadi cerah setelah beberapa pemerhati perkerisan berbagi informasi secara terbuka sehingga dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Buku-buku tentang Keris dan hadirnya Majalah Pamor mengembalikan posisi keris yang sebelumnya terpinggirkan dan tersisih karena:

  1. Sudut pandang masyarakat masih terikat dogma-dogma yang ditekankan pada hal klenik.
  2. Penulisan dan tayangan visual yang berkonotasi negative terhadap fungsi dan makna perkerisan yang tidak pada tempatnya
  3. Kesalahan kakek dan nenek moyang yang selalu menganggap keris itu keramat dan tidak boleh diketahui oleh anak cucunya.

Upaya Pelestarian Budaya tanpa didukung masyarakat luas, maka akan berjalan ditempat, sehingga harus pelan-pelan dilakukan edukasi via media. (Bersambung)

Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara
(Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img