spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jangan Jadikan IKN Nusantara Kolonialisme ala “Keraton Jakarta”

SAMARINDA – Nusantara yang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai nama ibu kota negara baru masih terus dibahas. Kata dari bahasa Sanskerta ini memiliki makna yang berbeda-beda sesuai konteks zaman ke zaman. Masalahnya, Undang-Undang IKN yang terkesan buru-buru disahkan dan minim partisipasi publik dapat menimbulkan bias makna Nusantara.

Rabu, 26 Januari 2022, dua sejarawan membahas tema tersebut dalam diskusi Nusantara, Ibu Kota Baru Indonesia. Diskusi diadakan Ikatan Pelajar Mahasiswa Kutai Kartanegara di Jogjakarta. Narasumber pertama adalah sejarawan dari Kaltim, Muhammad Sarip, yang juga pendiri Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB). JJ Rizal adalah narasumber kedua. Sejarawan tersohor dari Jakarta ini adalah pendiri dan pemimpin Komunitas Bambu.

Kesempatan pertama diberikan moderator kepada Muhammad Sarip. Ia mempresentasikan narasi berjudul Nusantara dan Kutai di Timur Kalimantan. Sarip, mengatakan, menurut tradisi lisan setempat, sebelum Kutai menjadi nama kerajaan, wilayah itu menyandang nama Noesentara. Kata ini ditemukan dari riset Solco Walle Tromp, seorang ilmuwan Belanda yang pernah menjabat Asisten Residen Oost Borneo. Tromp juga orang yang meneliti manuskrip Salasilah Kutai.

Kehadiran nama tersebut juga diungkap ilmuwan yang lain bernama SC Knappert pada 1905. Dalam makalahnya berjudul Beschrijving Van De Onerafdeeling Koetei, Knappert menulis  bahwa menurut cerita penduduk asli, maharaja dari Kerajaan Kutai Kartanegara, Aji Batara Agung Dewa Sakti, telah memberikan nama Noesantara di wilayah itu.

Kata Nusantara juga muncul di dua manuskrip klasik. Pertama Hayan al-Asma karya Syekh Abdullah bin Muhammad Bakri yang terlampir dalam kitab Undang-Undang Beraja Nanti. Undang-undang ini semacam KUHP pada masa Kesultanan Kutai Kertanegara. Naskah berikutnya adalah skripsi Mohammad Asli Amin berjudul Pertumbuhan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura yang diterbitkan dalam Swapraja ke Kabupaten Kutai. Istilah Nusantara dipakai di Kalimantan karena kerajaan-kerajaan masih bercorak Hindu waktu itu.

“Bisa ditarik hipotesis bahwa nama Nusantara pernah dipakai di Kaltim. Perdagangan lintas kawasan menjadi medium penyebaran nama itu. Bisa kita duga juga, Gajah Mada memperoleh inspirasi dari situ,” terang Sarip.

Dalam konteks khazanah kearifan lokal, Sarip menilai, pemilihan nama Nusantara sebenarnya cukup representatif bagi komunitas lokal Kaltim. Nusantara tidak terkesan Jawasentris maupun Kalimantansentris. Nama ini berbeda dari DKI Jakarta yang seolah-olah ibu kota negara Pulau Jawa.

Sejarawan JJ Rizal menjadi narasumber kedua. Ia menilai, etimologi atau asal-usul kata Nusantara tidak perlu dipermasalahkan. Kata tersebut sudah hidup di berbagai zaman dan direproduksi berbagai kebudayaan. Selain di Indonesia, kata tersebut bahkan tercantum di kosakata Melayu. Dalam Kamus Dewan Melayu Malaysia, Nusantara bermakna Kepulauan Melayu.

Yang lebih penting, sambung alumnus Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Indonesia, tersebut, adalah memahami nama Nusantara sebagai jembatan mempertanyakan seperti apa IKN nantinya.

JJ Rizal menjelaskan makna Nusantara ditilik secara periodik. Ketika imperium Majapahit mencapai puncak kejayaan pada abad ke-14, kata nusa dan antara digabung menjadi Nusantara. Nusa berarti pulau, sedangkan antara berarti luar atau seberang. Nusantara dipakai Majapahit untuk memisahkan antara Negara Gung (kota Majapahit) dengan mancanegara (wilayah di luar Majapahit). Hubungan antara ibu kota kerajaan dan luar wilayah kerajaan ini berbentuk sub-ordinasi.

Dalam perkembangannya, makna Nusantara terkesan Jawasentris dan diskriminatif. Nusantara disebut sebagai wilayah di luar Pulau Jawa yang merupakan sub-ordinasi (stratanya di bawah) Majapahit.

“Makanya, pada awal republik, para pendiri bangsa hanya sebentar menggunakan istilah Nusantara. Kata ini dianggap tidak sesuai cita-cita bangsa. Lagi pula, konsep (Mohamad) Hatta adalah Daulat Rakyat, bukan Daulat Tuanku peninggalan feodal dan kolonial,” jelas JJ Rizal. Pada periode ini, makna Nusantara masih kental dengan ketidaksetaraan antara pusat (Pulau Jawa) dan daerah (luar Pulau Jawa).

Makna Nusantara kemudian direproduksi sewindu setelah Konferensi Meja Bundar. Pada 13 Desember 1957, terang JJ Rizal, Deklarasi Djuanda yang dibacakan Perdana Menteri RI Djuanda Kartawidjaja, memberi makna baru. Deklarasi Djuanda menegaskan kepada negara lain bahwa wilayah laut di sekitar kepulauan Nusantara merupakan laut yang menjadi wilayah kesatuan dan kedaulatan Indonesia. Laut yang luas bukanlah pemisah (antara) seperti dimaknai pada zaman Majapahit. Laut adalah pemersatu bangsa.

“Di sini yang harus diperjelas. Nusantara yang diambil sebagai nama IKN ini memakai makna yang mana? Nama itu mencerminkan konsep Nusantara yang mana? Majapahit atau Djuanda? Nusantara Daulat Tuanku atau Daulat Rakyat? Pemerintah perlu memperjelasnya,” tegasnya.

Cenderung ke Konsep Majapahit

JJ Rizal melanjutkan pandangannya dalam proses pemindahan IKN. Sejak masih wacana, pemilihan nama, pembahasan, sampai RUU ditetapkan, pemindahan IKN terkesan tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Naskah akademik UU IKN, sambung JJ Rizal, bahkan tidak mengutip satu pun karya tulis akademisi Indonesia.

“Pola-pola (pemindahan IKN) yang begini lebih mirip Daulat Tuanku, bukan Daulat Rakyat dalam perkataan Hatta. Kita harus awas. Kita harus khawatir kalau kembali ke gaya kolonial. (Proses pemindahan IKN) ini kesannya proyek elite ‘keraton’ di Jakarta, bukan proyek untuk rakyat Indonesia,” sindirnya.

Berkaca dari situ, JJ Rizal menilai bahwa nama Nusantara di IKN cenderung seperti Nusantara-nya Majapahit. Ada perbedaan strata antara kedudukan pusat dan daerah. “Harusnya ada garansi dari proyek senilai Rp 500 triliun ini, bahwa pemindahan IKN sesuai dengan cita-cita bangsa,” pesan JJ Rizal.

Muhammad Sarip satu kata dengan pendapat JJ Rizal mengenai makna Nusantara. Pemerintah disarankan lebih gencar menyosialisasikan makna Nusantara. Mengutip Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Prof Purnawan Basundoro, nama tersebut harus diperjelas agar tidak bias di buku-buku sekolah. Partisipasi publik harus dilibatkan.

Lagi pula, dalam perjalanan RUU IKN, Sarip mengatakan, publik Kaltim hanya satu jam lebih dilibatkan dalam uji publik di Universitas Mulawarman. Itu pun menghasilkan catatan kritis dari Fakultas Hukum Unmul. Satu di antaranya, seperti telah dimuat kaltimkece.id (jaringan mediakaltim.com), IKN berpeluang mencaplok wilayah Kaltim karena kewenangan Otorita IKN yang hanya diatur Peraturan Presiden. FH Unmul menilai, ketiadaan aturan yang rigid mengenai hubungan Otorita IKN dengan pemda-pemda di Kaltim berpotensi merugikan warga Kaltim.

“Terlepas dari polemik definisi dan toponimi, menurut saya, Nusantara yang dimaksud UU IKN adalah moderasi bagi keragaman entitas, etnis, suku, religi di seluruh Indonesia. Pemerintah harus menyusun narasi yang tepat. Orientasinya memperkuat ikatan NKRI, kalau tidak mau menyimpan api dalam sekam,” pesan Sarip. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img