spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jam Malam Diberlakukan Lagi di Samarinda, Pelaku UMKM yang Merasa Dianaktirikan

SAMARINDA – Dedi Priansyah tengah bersantai di rumah ketika tiba-tiba ponsel pintarnya berdering hebat. Baru beberapa saat ditinggal, ribuan notifikasi sudah muncul dari enam grup WhatsApp usaha mikro kecil menengah (UMKM) binaannya. Rangkaian pesan tersebut berisi kehebohan akan kebijakan terbaru yang dikeluarkan Pemkot Samarinda.

Rabu malam, 3 Februari 2021, Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 360/1629/300.07. Berisi tentang penegakan protokol kesehatan pada malam hari di Ibu Kota Kaltim ini.

Dalam surat tersebut, Jaang yang juga ketua Satgas Penanganan Covid-19 Samarinda meminta masyarakat untuk tidak berkerumun. Kegiatan pun dibatasi begitu matahari terbenam. Selambat-lambatnya, aktivitas diperkenankan maksimal pukul 20.00 Wita. Baik bagi masyarakat umum maupun pelaku usaha.

“Apabila masih ada kegiatan ditemukan melewati waktu yang ditentukan, pemerintah kota akan bertindak tegas sebagaimana peraturan berlaku,” ucap Jaang dalam surat edaran tersebut.

Melalui surat tersebut, pembatasan kegiatan malam ditetapkan berlaku sejak surat tersebut diedarkan hingga Rabu, 10 Februari 2021. Bukan tak mungkin kebijakan tersebut diperpanjang jika merasa diperlukan.

BACA JUGA :  Indeks Transformasi Digital Nasional Kaltim Peringkat 9

Langkah pembatasan Pemkot Samarinda sebenarnya cukup beralasan. Kota Tepian telah mencatatkan rekor kasus terkonfirmasi positif Covid-19 tertinggi sebanyak 66 kasus dalam sehari. Hingga 2 Februari 2021, akumulasi kasus positif di Ibu Kota Kaltim ini telah mencapai 8.792 orang.

Namun demikian, langkah pembatasan tersebut tak sepenuhnya bisa diterima. Terutama oleh para pelaku UMKM. Dedi Priansyah salah satunya. Ia bahkan telah mengambil langkah penolakan dengan menggalang 10 ribu dukungan via kolom komentar di laman Facebook Bubuhan Samarinda. Mengangkat narasi pengusaha UMKM Samarinda yang dianaktirikan.

Perlawanan Dedi Priansyah pun mendapat dukungan deras. Apalagi dengan latar belakangnya sebagai pembina Bubuhan UMKM Samarinda yang beranggotakan 1.200 orang. Dedi dan ribuan pelaku UMKM tersebut satu suara bahwa kebijakan Syaharie Jaang berat sebelah. Ia mengklaim mayoritas kerumunan tercipta bukan karena kegiatan usaha semata.

“Saat ini kan lebih banyak klaster perkantoran. Saya tidak pernah dengar klaster pasar malam,” ungkap Dedi, Kamis, 4 Februari 2021. “Surat edaran itu seolah memberikan dua opsi buat kami. Mati karena asam lambung (kelaparan) atau virus corona,” sambungnya.

BACA JUGA :  Dany Bunga dan Daini Rahmat Ditetapkan Bawaslu RI Jadi Komisioner Bawaslu Kaltim

Pembatasan waktu aktivitas dan berjualan dinilai Dedi tak relevan. Klaim Pemkot Samarinda bahwa kebijakan tersebut juga diambil mengacu hasil investigasi dan observasi juga disebut tak sesuai.

Menurut Dedi, mobilitas 80 persen warga Samarinda di luar rumah berlangsung selama 08.00—18.00 Wita. Sehingga pembatasan pada pukul 20.00 Wita menjadi sangat tidak tepat. Situasi yang malah membuat pelaku UMKM jadi pesakitan.

Pemkot dinilai lebih ideal memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM. Pola begini dirasa lebih adil dan efektif. Sehingga tak hanya pelaku UMKM yang berasa disudutkan.

Kontributor Media Kaltim berusaha menghubungi Sekretaris Satgas Penanganan Covid-19 Samarinda yang juga Sekretaris Kota Samarinda, Sugeng Chairuddin, untuk meminta tanggapan seputar keluhan Dedi. Namun tiga kali panggilan dan pesan yang dikirimkan, tak kunjung mendapat respons hingga berita ini diturunkan.

Pentingnya Disiplin Protokol Kesehatan
Akademikus dari Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman (Unmul), dr Moriko Pratiningrum, mengatakan bahwa metode paling tepat menurunkan penyebaran virus corona adalah dengan kembali menegakkan disiplin protokol kesehatan. Tanpa disiplin yang ketat, penerapan jam malam pun tidak akan jadi solusi.

BACA JUGA :  Rumah Aming Ludes Jelang Berbuka

Nahasnya, di masyarakat saat ini penerapan protokol kesehatan sudah sangat jebol. Dipicu kejenuhan akan kelangsungan pandemi yang berkepanjangan. Sementara di sisi lain, pemerintah dianggap gagal mengantisipasi.

Intensitas sosialisasi disiplin protokol kesehatan di Samarinda, dinilainya masih minim. “Diperburuk oknum pejabat publik kerap melanggar protokol kesehatan dan menjadi contoh buruk bagi masyarakat,” pungkasnya tanpa menyebut oknum pejabat dimaksud. (kk/red)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img