spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Hari Pers dan HUT Balikpapan

Catatan: Rizal Effendi

PUNCAK peringatan Hari Pers Nasional (HPN), Kamis besok, 9 Februari 2023 berlangsung di Medan. Presiden Jokowi secara khusus menghadiri. Besoknya, Jumat, 10 Februari, Balikpapan memperingati hari jadinya ke-126. Lalu ada yang bertanya kepada saya, apa hubungannya HPN dengan HUT Balikpapan?

Yang pertama, waktunya hampir bersamaan. Cuma selisih satu hari. Kedua, ini yang penting menjadi catatan sejarah pers di Kaltim karena boleh dibilang koran  atau surat kabar harian pertama di provinsi ini, lahirnya di Balikpapan. Ketiga, saya bersyukur menjadi orang pers pertama yang menjadi wali kota di kota ini.

Adalah ManuntunG koran pertama tersebut. Kebetulan saya ikut mendandani sejak awal. Belakangan namanya diganti seperti yang ada sekarang Kaltim Post. Orang paling berjasa yang memberi akses lahirnya koran harian ini adalah Kol CZI Syarifuddin Yoes, wali kota Balikpapan ke-6 masa bakti 1981-1989.

Waktu itu di Balikpapan ada koran Manuntung. G di belakangnya belum besar. Ini koran  yang diterbitkan oleh Yayasan Manuntung, di mana pengurusnya pejabat Pemkot, yaitu H Mas Sulaiman, Widodo, dan Istiah Achmad. Ketiganya sudah almarhum.

Ketika Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya mencari partner untuk menerbitkan koran harian di Kaltim, justru Wali Kota Syarifuddin Yoes berkenan mendorong Manuntung yang dijadikan harian. Bahkan wali kota sempat meminjamkan aset Pemkot di Jl Martadinata untuk gedung percetakan.

Menurut saya, pada HPN tahun 2024, sebaiknya PWI Kaltim atau jajaran pers di daerah ini mengusulkan Wali Kota Syarifuddin Yoes mendapat penghargaan pers nasional. Ketika saya masih menjabat wali kota, saya menetapkan pada HUT Kota, jalan depan rumah dinas wali kota sampai persimpangan tiga Jl MT Haryono menjadi Jalan Syarifuddin Yoes.

Harian pertama di Kaltim itu lahir tanggal 5 Januari 1988. Jadi baru sebulan lalu berulang tahun ke-35. Oleh Dahlan Iskan nama Manuntung awalnya tidak diubah. Hanya “G” di belakangnya saja dibuat huruf kapital. Jadi ada yang menyebut Manuntun-G. Padahal ucapannya tetap Manuntung. Kenapa “G” di belakangannya dibesarkan, cuma buat sensasi agar orang menggunjing. Anggaplah iklan terselubung. Belakangan ManuntunG berubah menjadi Kaltim Post.

Setelah Kaltim Post, juga lahir harian kedua Tribun Kaltim (Kompas Group), yang juga berkedudukan di Balikpapan. Hebatnya kedua harian ini sampai sekarang masih beredar, di tengah napas kematian media cetak akibat gempuran dari media online dan media lainnya. Saya sering ketemu sejumlah anak jualan koran Kaltim Post dan Tribun Kaltim di persimpangan Balikpapan Baru.

Edy M Yakub dari Antara menulis, survei Nielsen Media pada tahun 2020 mencatat penyimak media online sudah mengalahkan media cetak karena online sudah mencapai 6 juta orang, sedang media cetak  hanya 4,5 juta orang. Bahkan media cetak  sudah di posisi kelima karena acuan bacaan sudah “digeser” televisi, papan iklan jalanan, internet dan radio.

Tahun 2020-2021, banyak media cetak nasional yang tumbang. Di antaranya Republika, Suara Pembaruan dan Indo Pos.  Sebelumnya juga tutup sejumlah tabloid. Saat ini kalaupun ada yang masih naik cetak, ada kesan sekadar bertahan dengan oplah yang makin menipis. Ada juga beralih atau mengombinasikannya dengan media online.

Menurut Edy, itu juga dialami atau dilakukan oleh media besar dunia seperti  New York Times, Washington Post , The Guardian dan lainnya.

Bersama ketua dan pengurus PWI Kaltim.

TIDAK BAIK-BAIK

HPN 2023 bertema:  “Pers Bebas, Demokrasi Martabat.” Tema itu dikaitkan dengan  agenda Pemilu serentak 2024. Tentu maksudnya jika pers bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dan tanpa tekanan, maka pelaksanaan pesta demokrasi nanti berjalan sehat dan bermartabat.

Tugas pers sendiri dalam Pemilu 2024 tidak gampang. Jika tidak kuat godaan, bisa jadi dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu. Apalagi media sosial sejak sekarang saja sudah penuh dengan sumpah serapah, fitnah dan berita hoax. Tentu publik berharap media online bisa menyajikan berita yang benar dan jujur, bukan sebaliknya.

Seusai dari Istana Negara, Senin (6/2) lalu, Ketua Dewan Pers  Ninik Rahayu mengungkapkan bahwa  Presiden Jokowi mengingatkan betapa  pentingnya kebebasan pers yang bertanggung jawab  dengan berdasarkan prinsip-prinsip dan etika jurnalistik.

“Bapak Presiden memberikan pesan penting bahwa jangan hanya  bicara kebebasan pers saja, tetapi yang terpenting adalah pemberitaan yang bertanggung jawab. Pemberitaan yang bertanggung jawab adalah pemberitaan yang dikonfirmasi  kebenarannya menggunakan prinsip-prinsip etika jurnalistik  yang baik. Jadi kalau cuma sebebas-bebasnya tanpa tanggung jawab banyak nanti yang dirugikan  apalagi menjelang Pemilu,” kata Ninik  seperti diberitakan reaksimedia.com.

Beberapa wartawan mengaku pers bebas dan bertanggung jawab itu  hanya gampang diucapkan. Tapi pelaksanaannya tertatih-tatih. Dengan kondisi industri pers sangat berat seperti sekarang ini,  ada yang terpaksa menurunkan derajat idealismenya. Yang penting hidup dulu. Jangan mati sama sekali.

Pelanggaran etika jurnalistik kerap terjadi baik yang dilakukan oleh media atau wartawan terverifikasi maupun yang tidak. Angka kekerasan kepada wartawan juga cenderung meningkat. Bisa jadi karena masyarakat tidak paham tugas pers, bisa juga karena pers sendiri sudah kebablasan.

Pada tahun 2020 terjadi 258 kekerasan kepada wartawan di Indonesia.  Ada 92 kasus pengusiran dan pelarangan liputan, 77 kasus ancaman teror, 58 kasus perusakan alat dan data hasil liputan dan 41 kasus ancaman kekerasan.

Menurut Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), sepanjang tahun 2022 terjadi 61 kasus serangan terhadap jurnalis dengan 97 korban dari wartawan, pekerja media dan 14 organisasi media. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat 43 kasus.

Selain itu, wartawan dan media juga terjebak dalam arus jurnalisme clickbait atau umpan klik. Terutama di media online. Tapi mulai menular juga ke media lain. Pemberitaan dengan judul bombastis supaya banyak orang mengklik. Padahal isinya tidak seheboh judulnya. Bahkan ada kesan berbohong. Yang penting ramai diklik dan banyak viewer, sehingga berpeluang mendatangkan pendapatan lebih banyak.

”Pers harus terus memperbaiki kualitas pemberitaannya. Sedapat mungkin  menghindari trend pemberitaan yang bias, provokatif dan bombastis. Harus dihindarkan jurnalisme clickbait, khususnya pada jurnalisme online,” kata Ketua PWI Pusat Atal S Depari.

Masalah perlindungan wartawan dan media juga harus tetap menjadi perhatian. Apalagi dengan adanya KUHP baru. Tapi menurut Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo, Usman Kansong, UU Pers No 40 Tahun 1999 menjamin kebebasan pers. Wartawan dan media tidak akan diperkarakan dengan KUHP melainkan merujuk ke UU Pers. Syaratnya wartawan dan medianya harus terverifikasi. Kalau tidak, yang berlaku UU ITE dan KUHP.

Beberapa waktu lalu saya diundang teman-teman dari Ikatan Wartawan Balikpapan (IWB). Mereka mendiskusikan kondisi pers, wartawan dan Humas saat ini. Ada wartawan yang menyampaikan keluhannya tidak mendapat akses liputan di suatu instansi. Ada yang pilih kasih dalam memberikan akses peliputan. “Pers dikotak-kotak,” katanya.

Saya bilang pers atau media kita memang dalam kondisi sakit. Dari segi perusahaan sangat berat. Media cetak dan online tidak banyak mendapat iklan. Kalah dengan media lain. Sumber pendapatan sebagian dari kontrak pemberitaan dengan berbagai instansi. Akibatnya, sering terdistorsi kebebasannya. Karena diancam tidak dikontrak lagi, maka mau tidak mau pemberitaan harus “yang baik-baik saja.” Meski nasib pers sesungguhnya tidak baik-baik saja. Dirgahayu Pers Nasional. Selamat Hari Jadi ke-126 Kota Balikpapan. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img