SAMARINDA – Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (DPKD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) baru-baru ini menerima kedatangan dua penulis Kaltim.
Kedatangan para penulis ini diterima dengan baik oleh Pustakawan Ahli Muda Fatimah Irny di Ruang Seksi Deposit dan Alih Media yang terletak di Lantai 3.
Fatimah menjelaskan tujuan kedatangan mereka adalah menyumbangkan buku hasil penelitian mereka terkait sejarah di Kaltim, khususnya mengenai tugu batu yupa yang pernah ditemukan di bantaran Sungai Mahakam di Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara.
“Buku tersebut berjudul ‘NUMERASI BATU BERTULIS YUPA,’ yang membahas tentang kerajaan Martapura di Kutai, Kalimantan Timur,” ungkapnya.
Fatimah mengaku sangat bangga dengan para penulis asal Kaltim ini, yang semuanya merupakan dosen di lembaga universitas yang ada di Kaltim. Ini karena sangat sedikit penulis yang memberikan perhatian terhadap peninggalan bersejarah seperti tugu batu yupa yang banyak ditemukan di Kaltim, terutama di Kutai Kartanegara.
“Tentu saja, buku ini akan lebih memperkaya koleksi konten lokal dan khasanah kearifan lokal Kalimantan Timur. Penelitian tiga akademisi ini berfokus pada prasasti Yupa, membawa pengetahuan baru dalam bidang matematika dan unsur-unsur etnomatematika,” ujarnya.
Penulis buku “NUMERASI BATU BERTULIS YUPA” tentang kerajaan Martapura di Kutai, Kaltim, adalah tiga orang akademisi dari Samarinda, yaitu Fitria Nurul Hidayah, Kurniawan, dan Yulian Widya Saputra.
Fitria Nurul Hidayah adalah seorang dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, sementara Kurniawan dan Yulian Widya Saputra keduanya adalah dosen di Program Studi Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) serta Program Studi Matematika Universitas Mulawarman (Unmul).
Para penulis menemukan penomoran bilangan matematika yang dulunya ditulis dalam bentuk kata-kata, tetapi dalam huruf Pallawa berbahasa Sanskerta di atas Yupa, sebuah tongkat batuan beku monolit, yang merupakan peninggalan kerajaan Martapura di Kutai.
Tim penulis menghadapi kendala dalam menggarap tulisan ini, terutama dalam proses pencarian alih aksara Kuno, karena tidak semua orang memahami aksara tersebut. Selain itu, mereka juga melakukan wawancara dengan ahli sejarah, yang memakan waktu satu tahun untuk berproses dengan ahli aksara Kuno yang ada di Museum Nasional.
“Mereka harus menyesuaikan jadwal pertemuan dengan beliau karena memang orang yang menguasai aksara Kuno tersebut sangat langka, bahkan ada yang berada di Kaltim. Beliau membantu kami dalam penulisan huruf Pallawa, karena saat ini hampir tidak ada yang memahami Bahasa Sanskerta,” kata salah seorang penulis, Kurniawan.
Buku yang mengkaji numerasi ini dikaji melalui pendekatan ilmu sejarah dan dipadukan dengan multidisiplin ilmu, seperti geografi dan matematika (etnomatematika).
Diharapkan keterpaduan ketiga disiplin ilmu ini dapat mengungkap kegiatan numerasi masyarakat nusantara yang terwakili oleh kerajaan Martapura (Kutai kuno) di Kalimantan Timur.
“Prasasti Yupa menggunakan Bahasa Sanskerta dengan Aksara Pallawa. Numerasi yang ditemukan berhubungan dengan kuantitas dan bilangan,” ujar Kurniawan.
Numerasi Kerajaan Kutai pada masa Hindu-Buddha abad ke-5 Masehi dalam teks Sanskerta diartikan sebagai “Aika,” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Satu.” Kata “Dasa” berarti sepuluh. “Aikadasa” berarti sebelas. Kosakata “aika,” “dwi,” “tri,” dan seterusnya memiliki arti urutan atau penomoran anak dalam sebuah keluarga, selain itu, juga memiliki makna sebagai tanggal lahir seseorang.
Dulu, “Aika” menandakan angka satu, namun pada zaman sekarang ada perubahan fonem menjadi “Eka,” yang menandakan anak pertama atau angka satu. Pagi ini, bersama dua penulis dan pengunjung, mereka dengan penuh semangat berharap bahwa buku yang mereka sumbangkan dapat dibaca oleh masyarakat luas, terutama masyarakat Kaltim.
“Masyarakat perlu mengetahui bahwa di Kaltim ini ada aksara Kuno yang tertulis di batu Yupa,” pungkas Kurniawan. (ADV/Han/DPKD)
Pewarta: Hanafi
Editor: Agus Susanto