spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Beritanya Viral Tanpa Media Sosial, Monster Sangatta Tragedi Paling Menggemparkan di Tahun 1996

Aliran Sungai Kenyamukan di Sangatta begitu tenang ketika Hairani datang membawa seember pakaian kotor. Perempuan 35 tahun itu menuju pelataran kayu yang didirikan di tepi kali. Di atas alas kayu tersebut, ia mulai menyikat baju. Putrinya yang masih berusia sembilan tahun turut membantu.

Pada pembuka Maret 1996, selembar pakaian yang sedang Hairani cuci tiba-tiba terlepas ke sungai. Dia pun turun ke air untuk mengambilnya. Ketenangan Sungai Kenyamukan berubah dalam sekejap mata ketika sesosok buaya besar menerkam Hairani. Tubuh perempuan itu ditarik ke dasar sungai tepat di depan mata putrinya.

Kabar Hairani diterkam buaya segera menyeruak di telinga masyarakat Sangatta. Setengah abad silam, ibu kota Kutai Timur ini hanyalah kecamatan di bawah Kabupaten Tingkat II Kutai. Berita tentang Hairani semakin menyebar di luar Sangatta setelah Manuntung (kini Surat Kabar Harian Kaltim Post), koran yang paling banyak dibaca di Kaltim saat itu, mewartakannya.

“Sejumlah petugas dari Kabupaten Kutai segera memulai pencarian. Melibatkan kepolisian, militer, pawang, serta warga setempat, pencarian berjalan kurang lebih sepekan,” terang Sumurung Basa Silaban, yang pada saat kejadian bekerja sebagai redaktur Manuntung.

Wartawan senior di Samarinda itu bertugas mengedit berita yang dikirim Robert (almarhum), reporter Manuntung di Sangatta. Kepada kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com, Silaban menuturkan ulang tragedi buaya penerkam manusia yang masyhur dengan sebutan Monster Sangatta.

Pencarian berjalan di bawah upaya puluhan petugas bersama sejumlah pawang. Mereka menyusuri Sungai Kenyamukan yang mengalir di utara Sangatta. Sungai Kenyamukan terdiri dari dua anak sungai yakni Kenyamukan Kiri dan Kenyamukan Kanan. Sejumlah permukiman berdiri dekat badan sungai yang bermuara di Selat Makassar tersebut.

Sebagian besar muara Sungai Kenyamukan berupa hutan bakau dan nipah. Airnya tidak begitu bening dan payau, antara asin dan tawar. Permukaannya tenang. Lingkungan demikian amat cocok dengan tempat tinggal alami buaya muara (Crocodylus porosus), spesies dari golongan reptil yang terbesar di bumi.

“Di dekat muara itulah, selama beberapa hari, petugas dan pawang mencari buaya yang memangsa Nyonya Hairani,” kembali Silaban menguraikan kisah Monster Sangatta. Menurut pemberitaan, pawang yang turut dalam perburuan sering mengucapkan mantra.

Ahli penjinak buaya itu juga menggunakan telur ayam untuk memanggil buaya. Hewan pemangsa itu diundang menampakkan diri dengan cara mengetuk telur di dinding perahu. Ketukannya pelan-pelan saja. “Menurut pawang tersebut, buaya yang menerkam manusia akan merasa bersalah. Itulah yang bikin buaya itu ‘bisa dipanggil’ untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,” terang Silaban.

KLIK INI, CATERING TERBAIK DI BONTANG

Perburuan Monster Sangatta terus ditunggu sebagian besar masyarakat Kaltim. Kegemparan juga terjadi di Sungai Kenyamukan yang selalu dipenuhi masyarakat. Ratusan orang ingin melihat upaya pencarian secara langsung. Sampai kira-kira pada hari ketiga tim bekerja, buaya muncul. Warga yang melihat kehadiran binatang itu heboh dan riuh. Buaya tersebut kabur ke dalam air.

Kejadian itu membuat petugas meminta warga menjauhi lokasi pencarian. Pembatasan tersebut sangat ketat. Selain pawang, hanya anggota polisi yang boleh mendekat. Petugas kepolisian memang disiapkan untuk menembak buaya jika sewaktu-waktu muncul.

Pencarian sudah berjalan sepekan ketika buaya muncul untuk kedua kalinya di Sungai Kenyamukan. Kesempatan ini tidak disia-siakan. Anggota polisi yang telah siaga lalu menembak binatang tersebut hingga mati. Monster Sangatta tumbang oleh timah panas pada 8 Maret 1996, hari ini tepat 25 tahun silam. Tubuh binatang itu lantas diangkat ke darat.

Buaya jantan yang telah dilumpuhkan ini punya ukuran luar biasa. Panjangnya 6,8 meter dengan bobot 850 kilogram, setara berat selusin orang dewasa. Lingkar perutnya mencapai 1,8 meter. Usia buaya itu diperkirakan 70 tahun, sebagaimana dicatat dalam arsip Museum Kayu Tuah Himba di Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Oleh dokter puskesmas setempat, perut buaya itu dibelah. Untuk pertama kalinya di Kaltim, potongan tubuh manusia dikeluarkan dari perut predator pemuncak rantai makanan tersebut.

VIRAL TANPA MEDIA SOSIAL

“Hampir sebulan, Manuntung memberitakan tragedi ini. Dalam ingatan saya, Monster Sangatta adalah berita yang paling dicari sepanjang sejarah media cetak di Kaltim. Ini kasus pertama buaya menerkam manusia yang diberitakan secara besar-besaran,” jelas Silaban.

Media sosial yang belum lahir pada 1996 menyebabkan Manuntung benar-benar diburu masyarakat. Saking tingginya rasa ingin tahu itu, Silaban mengatakan, banyak yang sampai memfotokopi koran agar bisa dibaca oleh lebih banyak orang. Kegemparan ini terjadi secara lokal walaupun Monster Sangatta sempat beberapa kali masuk pewartaan televisi nasional.

Pemberitaan Monster Sangatta masih hangat ketika peristiwa berikutnya terjadi di Kecamatan Muara Badak, juga di bawah Kabupaten Kutai. Baddu, 40 tahun, yang tinggal di Tanjung Limau, diterkam buaya.

Buaya betina yang berhasil dilumpuhkan pada 10 April 1996 itu lebih kecil dari Monster Sangatta. Panjangnya 5,25 meter dengan berat 450 kilogram. Usianya juga lebih muda, “baru” 60 tahun. Untuk peristiwa kedua ini, kegemparan masyarakat tidaklah sebesar Monster Sangatta.

Tragedi Monster Sangatta pada 1996, ditambah buaya dari Muara Badak, menyebabkan berbagai pihak memberi masukan kepada Bupati Kutai Ahmad Maulana Sulaiman. Buaya itu diusulkan untuk diawetkan dan ditaruh di museum. Bupati AM Sulaiman setuju.

Setengah abad telah berlalu tetapi sepasang buaya itu masih bisa dilihat di Museum Kayu Tuah Himba. Dari balik kurungan kaca, tubuh awet mereka menjadi bukti betapa mengerikannya sang Monster Sangatta. (*)

Artikel kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com

ALL NEW PCX HARGA MULAI RP 32 JUTA, KLIK DI SINI

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti