spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Begini Curhat Rektor ITK Setelah Opininya Viral dan Dipolisikan

Opini yang sempat dibuat Rektor Institut Teknologi Kalimantan, Balikpapan, Prof Budi Santosa Purwakartiko, berbuntut panjang. Sebuah kelompok mahasiswa membawa perkara ini ke ranah hukum. Sang rektor dituding melakukan rasisme.

Kelompok yang memperkarakan opini Prof Budi yakni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Kammi) Kaltimtara. Sebagaimana diketahui, opini tersebut dibuat pada Rabu, 27 April 2022. Prof Budi menulis sebuah uraian panjang di Facebook. Di antara uraian, ada beberapa frasa yang dipermasalahkan. Satu di antaranya, yaitu, “Tidak satu pun saya yang mendapatkan mereka ini hobi demo”.

Menurut Ketua Kammi Kaltimtara, Imam Syamsuddin, dalam sebuah keterangan tertulis, frasa tersebut menunjukkan kearogansian Prof Budi yang tidak mau dikritik mahasiswa. Frasa juga dianggap dapat mengerdilkan perjuangan-perjuangan mahasiswa yang kerap menyuarakan suara rayat.

Frasa lainnya yang dinilai bermasalah adalah “Tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun” dan “Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb”. Imam menilai, kedua frasa tersebut identik membeda-bedakan orang berdasarkan kepercayaanya. Kammi menyatakan keberatan dengan pendapat tersebut.

“Pernyataan tersebut melanggar hukum di negeri yang damai ini,” kata Imam.

Mereka lantas melaporkan Prof Budi ke Kepolisian Daerah Kaltim pada Jumat, 6 Mei 2022, atas tuduhan melakukan rasisme melalui opini. Prof Budi diduga melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dikonfirmasi pada kesempatan yang berbeda, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Kepolisian Daerah Kaltim, Komisaris Besar Polisi Yusuf Sutejo, membenarkan adanya laporan dari Kammi. Laporan disebut tengah diteliti kepolisian. “Sudah diteruskan ke Krimsus (Direktorat Reserse Kriminal Khusus),” sebutnya kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Sabtu (7/5/2022).

Di lokasi terpisah, Prof Budi menyatakan keberatan dirinya dipolisikan. Pasalnya, ia merasa opini yang dibuat tidak ada masalah. Lagi pula, ia sudah meminta maaf kepada publik dan memberikan klarifikasi.

“Saya minta maaf bukan berarti mengaku salah, ya. Saya minta maaf jika istilah ‘manusia gurun’ itu menyinggung atau menyakiti,” kata Prof Budi kepada kaltimkece.id melalui sambungan telepon. Ia mengatakan akan melawan orang-orang yang memperkarakan opininya.

“Melawan melalui hukum maupun sosial lewat jaringan kami,” sebutnya. Ia juga meminta agar polisi bertindak adil menangangi kasus ini. “Harapannya, polisi menimbang baik buruknya untuk kepentingan masyarakat,” imbuhnya.

Di sisi lain, Prof Budi menyatakan tertekan dari perkara yang membelitnya. Setelah opininya viral di media sosial, ia mengaku kerap mendapatkan serangan siber. Serangan itu seperti umpatan hingga teror dengan kata-kata kotor melalui telepon. ITK pun tidak luput dari serangan.

“Yang diserang server ITK dan medsos. Kalau serangan fisik, enggak ada,” bebernya.

Mengetahui lembaga yang dikelolanya juga diserang, Rektor ITK Prof Budi Santosa Purwakartiko merasa sedih, marah, dan bersalah. Ia pun mencurahkan isi hati di akun Facebook-nya beberapa waktu lalu. Kutipan lengkapnya sebagai berikut.

Saya awalnya berusaha mengekang diri untuk tidak muncul. Tapi kalau lembaga saya dirusak, saya harus bersuara. Tadi malam, saya mendapat info, server ITK diserang hacker.

Saya sungguh sangat sedih, marah, merasa sangat bersalah. Mengapa ITK, lembaga milik pemerintah, milik masyarakat ikut diserang? Apakah pihak yang menyerang tidak bisa membedakan saya pribadi dan lembaga ITK milik masyarakat, milik pemerintah? Katanya nasionalis, tapi, kok, merusak fasilitas negara?

Serangan ke saya apakah masih kurang? Dituduh rasis, intoleran, diskriminatif, dicopot dari reviewer IISMA, reviewer LPDP, minta dicopot sebagai rektor ITK. Apa masih kurang?

Saya, sebelum orang-orang makin ribut menuntut ini itu, sudah meminta pimpinan IISMA (Indonesia International Student Mobility Awards) untuk memproses saya. Silakan obyektif, saya akan menerima keputusan tanpa dendam ataupun sakit hati. Saya kenal baik pimpinan IISMA. Banyak orang lain yang lebih mampu dan lebih baik dari saya. Tidak masalah sama sekali, selama untuk kepentingan bangsa, saya legawa. Lagian, saya ini siapa.

Saya tidak pernah menggunakan atribut berkerudung atau agama untuk menilai kandidat, semua kriteria sudah ada disediakan oleh panitia. Dan, tidak ada pertanyaan soal agama atau berkaitan dengan SARA. Tidak ada sama sekali.

Berapa puluh orang berkerudung, saya loloskan mendapat beasiswa LPDP. Berapa dosen berkerudung, saya beri surat rekomendasi untuk kuliah lanjut. Berapa puluh mahasiswi berkerudung, saya bimbing tugas akhir/tesis/disertasi. Berapa banyak duafa/janda berkerudung, saya bantu tiap bulan. Apa mereka mau melihat fakta ini?

Sebelum orang ribut menuntut saya dicopot dari rektor, saya sudah meminta teman-teman di ITK, kalau gegara saya ITK terbebani, saya siap mundur. Tapi teman-teman yang tidak mau. Eh, tahu enggak, sih, apa keuntungan jadi rektor di PTN, kecil? Tunjangan bulanan Rp 5,5 juta, harus meninggalkan keluarga. Saya akan dapat lebih banyak kalau saya ngajar ful di ITS, dapat remunerasi, bisa ngajar banyak SKS untuk menambah remun. Bahkan di ITK, kadang harus keluar duit untuk membantu staf tendik atau mahasiswa dengan uang pribadi. Tawaran dari kontraktor untuk memperbaiki rumah, mengirim parsel, saya tolak semua. Tidak jarang, tamu institusi, saya ajak makan dengan uang sendiri agar ITK tidak direpotkan. Ada yang mau ganti? Silakan.

Saya berterima kasih banyak teman dan pihak-pihak yang secara terang-terangan dan diam-diam memberi dukungan. Walaupun tidak terhitung yang memaki dan meneror. Banyak teman-teman yang mengidentikan diri sebagai orang kecil, tidak berhenti berdoa untuk saya. Ini kebahagiaan terbesar saya. Kalau ada yang kurang setuju atau tersinggung dengan tulisan saya, saya mohon maaf. Tetapi jangan libatkan lembaga saya, jangan habisi kemanusiaan saya. Saya akhirnya hanya bisa mengingat dan meyakini ajaran dahsyat leluhur “Gusti ora sare” (Tuhan tidak tidur). (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti