spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ancaman Kota Mati Mengintai, Batu Bara Kaltim Habis 18 Tahun Lagi

SAMARINDA – Gegap gempita industri batu bara dimulai dua dekade silam ketika bupati dan wali kota di Kaltim mengeluarkan izin usaha maupun kuasa pertambangan (IUP/KP) batu bara. Tahun demi tahun sedari keran reformasi dibuka, terbit 1.404 konsesi tambang. Seluruh konsesi tersebut diberikan di atas 4,13 juta hektare lahan di Bumi Etam.

Padahal, Kaltim bukannya tanah tak berizin. Sebelum pemerintah daerah mengeluarkan izin, pemerintah pusat lebih dulu menerbitkan 30 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Perjanjian yang terdiri dari beberapa generasi tersebut berukuran jumbo. Total luasnya, meskipun hanya 30 PKP2B, mencapai 1 juta hektare.

Daratan Kaltim akhirnya sesak akan konsesi tambang. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim mencatat pada 2018, luas izin pertambangan dari pusat maupun daerah menembus 5,13 juta hektare. Hampir setengah daratan provinsi ini adalah izin penggalian emas hitam. Ribuan izin tersebut akhirnya bersalin menjadi produksi batu bara besar-besaran.

Publikasi Badan Pusat Statistik Kaltim menggambarkannya dengan jelas. Dua dekade lalu, pada 2002, produksi batu bara  Bumi Mulawarman ‘hanya’ 55,11 juta ton. Dua puluh tahun kemudian, angkanya naik hampir empat kali lipat menjadi 294 juta ton pada 2021. Produksi batu bara di provinsi ini memang cenderung naik setiap tahun, kecuali pada krisis 2015 dan 2016 (data produksi tahunan, lihat infografik berikut).

Keseluruhan batu bara yang telah dikeruk selama 20 tahun itu mencapai 3,66 miliar ton. Untuk mendeskripsikan jumlah yang amat besar itu, diperlukan 500 ribu tongkang berukuran 300 feet untuk mengangkutnya.

Nilainya juga tak kalah ‘wah’. Data produksi yang dicocokkan dengan harga batu bara acuan (HBA) rata-rata setiap tahun akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor batu bara. Produksi 3,66 miliar ton Kaltim setara USD 267 miliar atau sekitar Rp 3.747 triliun (kurs Rp 14.000/USD). Nilai itu cukup untuk membangun 3.700 Jembatan Mahkota IV atau jembatan kembar. Jika ke-3.700 bentang tengah jembatan itu disusun di atas Laut Jawa, Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa bisa tersambung.

BACA JUGA :  Dari 90 Perusahaan Penyalur Alkes di Kaltim, hanya 13 Yang miliki Sertifikasi CDAKB

Pengerukan batu bara selama dua dekade diperkirakan telah menghabiskan seperempat cadangan Kaltim. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, deposit batu bara Kaltim yang tercatat sebanyak 16 miliar ton pada 2021. Yang jadi perhatian adalah cadangan itu bisa habis lebih cepat. Masalahnya, tren produksi batu bara Kaltim selama dua dekade ini naik menurut deret ukur, bukan deret hitung.

Apabila pola deret ukur yang dipakai, deposit 16 miliar ton diprediksi habis 18 tahun mendatang atau pada 2040. Pada saat itu, produksi batu bara Kaltim sudah di atas 800 juta ton per tahun berdasarkan perhitungan deret ukur.

Dahsyatnya pengerukan batu bara di Kaltim tentu saja menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Laporan Jaringan Advokasi Tambang Kaltim menunjukkan, eksploitasi sepanjang dua dasawarsa ini saja sudah meninggalkan 1.735 lubang tambang dengan luas 1,32 juta hektare. Sebanyak 40 nyawa manusia telah hilang dalam 12 tahun di bekas galian tersebut. Apabila 16 miliar ton deposit batu bara digali semua, diperkirakan ada 5.205 lubang tambang seluas 3,96 juta hektare lewat asumsi yang sama.

BACA JUGA :  Habis Terjual, Terminal Sungai Kunjang Tak Layani Pembelian Tiket Bus Tujuan Banjarmasin

Bagaimana miliaran ton batu bara keluar dari perut Bumi Mulawarman? Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda, Eko Prayitno menjelaskan alurnya. Setelah dikeruk dan dikumpulkan di pelabuhan atau jetty di tepi sungai, batu bara biasanya dimuat ke tongkang. Di Sungai Mahakam, contohnya, batu bara dari Samarinda, Kutai Kartanegara, dan Kutai Barat, diangkut dengan tongkang berukuran 300 feet berkapasitas 7.500 ton.

Ponton yang ditarik tugboat kemudian menuju laut lepas di muara sungai. Di sana, telah menanti kapal pengangkut berukuran besar. Jika dikirim ke luar negeri, kapal jenis vessel berukuran 60 ribu feet yang tersedia. Jika untuk dalam negeri, tongkang langsung menuju instalasi PLTU.

Pemindahan batu bara dari tongkang kecil ke vessel bisa ditemukan di Muara Jawa dan Muara Berau di pesisir Kukar; maupun Balikpapan Coal Terminal di Balikpapan. “Pada umumnya, distribusi batu bara di Kaltim memakai sistem transitmen,” jelas Eko. “Sebenarnya ada juga tongkang kecil dari Sungai Mahakam yang langsung ke Filipina karena sungai di sana kecil-kecil,” sambungnya.

Peningkatan produksi batu bara, terang Eko, memang disebabkan dua hal yaitu harga dan cadangan. Selama keduanya masih bagus, produksi tetap menarik. Hal ini tercermin dari krisis 2015-2016 ketika harga komoditas anjlok sangat dalam, di bawah USD 30 per ton. Produksi ikut turun yang diiringi pemutusan hubungan kerja besar-besaran. Pertumbuhan ekonomi Kaltim pun surut. Situasi sekarang sebaliknya. Harga batu bara terus membumbung. HBA pada April 2022 saja sudah USD 288 per ton.

Apa yang terjadi ketika batu bara di perut Kaltim benar-benar habis? Semasa memimpin Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuh SH Cahyono pernah mengulas hal ini bersama kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com. Menurutnya, Kaltim begitu bergantung kepada sektor pertambangan. PDRB Kaltim selama dua dasawarsa ini saja, sekitar 40 persen, disumbang dari sektor pertambangan dan galian. Inilah ancamannya. Ketika komoditas tak terbarukan itu habis, penopang ekonomi utama provinsi pun lenyap. Kaltim bisa menjadi kota mati dalam arti roda ekonomi tiba-tiba berhenti.

BACA JUGA :  Produk Kriya Wastra Kaltim Pikat Pasar Nasional

Untuk keluar dari jerat kota mati, Tutuk mengatakan, Kaltim mesti meningkatkan daya saing terutama dari sektor produktif. Memang tidak mudah tetapi bukan berarti mustahil. “Prosesnya berhubungan dengan infrastruktur, kenyamanan investasi, investasi yang berkualitas, dan sumber daya manusia,” kata Tutuk dalam wawancara pada Februari 2021.

Akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, setuju bahwa Kaltim mengalami kebergantungan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi lokal baik dari dana pemerintah maupun swasta masih ditentukan produksi batu bara.

Manakala deposit batu bara benar-benar habis, Kaltim akan kehilangan penopang ekonomi utamanya. Untuk melepaskan kebergantungan seperti itu, sambungnya, harus didukung stimulus pemerintah. Infrastruktur antarwilayah harus dimantapkan sehingga memicu terbukanya lapangan kerja di luar sektor pertambangan.

Kabar buruknya, Hairul menilai Kaltim terlambat melepaskan diri dari kebergantungan tersebut lewat strategi hilirisasi. Walaupun sudah ada upaya, Hairul mengatakan, belum maksimal. “Saya melihat lebih bersifat sporadis. Sektor tertentu, tahap tertentu, kemudian tidak terintegrasi upaya-upaya itu,” jelasnya.

Padahal, batu bara sebagai penopang ekonomi utama provinsi diprediksi menemui ajalnya 18 tahun lagi. Kaltim sudah sepatutnya bergegas. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Html code here! Replace this with any non empty raw html code and that's it.