spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Putusan MK Tak Digubris Baleg DPR, Pakar: Ini Pelanggaran Serius Konstitusi

JAKARTA – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (21/8/2024, sepakat membawa draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Rapat Paripurna yang rencananya digelar, Kamis (21/8/2024) hari ini.

Baleg DPR RI tidak mengakomodasi semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, seperti soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di Pasal 7.

Baleg memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan MK. Dengan demikian, batas usia calon gubernur ditentukan saat pelantikan calon terpilih.

Kemudian Baleg DPR juga menyepakati perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada dari jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD. Partai yang punya kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya.

M. Syaiful Aris, Dosen Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, turut buka suara soal ini. Menurutnya, DPR tidak boleh menafsirkan apa yang sudah cukup jelas diatur oleh putusan MK.

“Nah, kalau kemudian DPR mengatur yang berbeda, itu jelas sebagai sebuah pelanggaran konstitusi, karena kewenangan dari MK adalah untuk memutuskan penafsiran terhadap sebuah Undang-Undang,” kata Aris kepada Radio Suara Surabaya, Rabu petang.

Selanjutnya, soal batas minimal usia calon kepala daerah yang dibahas Baleg tadi, dia mengatakan apa yang diuji dalam putusan Mahkamah Agung (MA) dengan yang diuji di MK itu berbeda.

“Kita harus lihat, apa yang diuji antara yang di dalam putusan MA dan yang diuji di MK itu beda, objek yang diuji beda. Putusan MA itu menguji peraturan KPU yang memang mengatur tentang kapan penghitungan usia kepala daerah, itu yang diuji peraturan KPU. Yang berwenang mengubah ya KPU,” ujarnya.

“Sementara kalau di MK, yang diuji adalah Undang-Undang. Nah, pertentangan itu kemudian, Baleg memilih mendasarkan pada putusan MA. Padahal, seharusnya DPR itu kan fungsinya adalah membuat Undang-Undang. Nah, ketika membuat Undang-Undang, maka seharusnya yang jadi rujukan adalah putusan pengujian Undang-Undang, yaitu putusan MK,” tambahnya.

Terkait perbedaan putusan MA dan MK, Aris menjelaskan kalau ada perbedaan di penghitungan usia. Kalau di MA, umur dilihat saat pelantikan, sementara MK melihat usia dilihat saat pendaftaran.

“Yang namanya syarat, pada lazimnya itu kan harus dipenuhi sebelum melakukan sesuatu, contohnya syarat calon kepala daerah, jadi yang daftar harus memenuhi syarat itu, bukan dihitung saat prosesnya nanti berjalan,” ujarnya.

Karena itu, menurut pakar Hukum Tata Negara Unair itu, apa yang dilakukan Baleg DPR RI dipastikan melanggar konstitusi.

“Ini pelanggaran serius terhadap konstitusi dan UUD. Karena di Pasal 24 C UUD kita sebagai dasar kehidupan bernegara, Ayat 1 itu jelas menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD,” tegasnya.

Menurutnya, cukup jelas sekali adanya tendensi dalam pembahasan Baleg sore ini. “Banyak putusan MK yang meminta untuk ditindaklanjuti oleh DPR, tetapi sampai bertahun-tahun tidak diapa-apakan, nah ini baru kemarin diputus, hari ini sudah jadi,” tegasnya.

Tendensi yang dimaksud, tambahnya, antara lain kepentingan dalam proses pendaftaran Pilkada yang harus dipenuhi, salah satunya berkaitan dengan umur. “Namanya bisa disimpulkan sendiri ya. Nanti kita lihat,” ucapnya.

Selain batasan umur, diketahui Baleg DPR juga membahas soal dua ketentuan Parpol bisa mengusung pasangannya di Pilkada Daerah. Pertama, partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD tetap terikat dengan ketentuan minimal 20 persen kursi DPRD, atau 25 persen suara pemilu sebelumnya.

Kedua, Baleg menambahkan partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD dapat mendaftarkan calon kepala daerahnya sesuai dengan syarat yang diatur untuk calon perseorangan, yakni 6,5 sampai 10 persen.

Padahal, lanjutnya, putusan MK tidak mengatur demikian. Berdasarkan putusan MK, seharusnya parpol tidak terikat dengan ketentuan minimal 20 persen kursi atau 25 persen suara pemilu sebelumnya.

“Nah, tetapi, Baleg tadi menafsirkan dengan dua ayat yang berbeda. Dia memisahkan antara yang memiliki kursi di DPR dengan partai politik yang tidak memiliki kursi, sementara putusan Mahkamah Konstitusi tidak memutuskan demikian, hanya mensyaratkan persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dengan calon perseorangan,” ucapnya.

Saat ini, menurut Aris, segalanya tergantung pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU). “Kalau saya berpandangan, ya sebaiknya sih KPU tetap berpegang pada Putusan MK,” tutupnya. (MK)

Editor: Agus S

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti