SAMARINDA – Disahkannya Undang-Undang 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) dianggap merugikan pemprov Kaltim. Pasalnya, porsi pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas untuk pemprov ikut berkurang.
Semula persentase tersebut mengacu UU 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dimana persentasenya 15,5 persen untuk daerah penghasil dan 84,5 persen untuk pemerintah pusat. Jatah 15,5 persen untuk Kaltim tersebut kemudian dibagi lagi.
Di mana 3 persen untuk provinsi yang bersangkutan, 6 persen kabupaten/kota penghasil, 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan, dan sisanya sebesar 0,5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
Tapi di UU HKPD pembagian itu berubah. Di mana provinsi mendapat dua persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 6,5 persen, kabupaten/kota yang berbatasan dengan daerah penghasil tiga persen, kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar tiga persen, dan kabupaten/kota pengolah sebesar satu persen.
Berkurangnya jatah untuk Pemprov Kaltim tersebut turut direspons Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK. Ia menyebut ketergantungan Kaltim terhadap DBH Migas memang masih besar. “Kita masih sama-sama harapkan DBH Migas untuk menopang, (keuangan,red),” kata Makmur.
Seharusnya porsi keuangan untuk pemprov tidak perlu berkurang. Karena kebutuhan pemprov untuk pembangunan juga besar. Oleh karena itu Makmur tetap berharap agar angka 2 persen tadi bisa naik. “Bisa saja nanti direvisi kalau ada tuntutan dari masyarakat,” imbuh Politisi Golkar ini.
Berkurangnya persentase DBH untuk pemprov pun diyakini akan berdampak pada pembangunan di daerah. Terlebih teritorial Kaltim cukup luas. “Kapan bisa membangun Kaltim yang cukup luas ini kalau tidak ada dukungan?” sebutnya.
Lantas apakah pemprov harus pasrah? Masih ada bidang lain yang bisa dimanfaatkan untuk menambah pendapatan, khususnya pada postur APBD Kaltim. Yaitu pengembangan bisnis melalui perusda. (adv)