JAKARTA – Pemerintah tengah mengkaji kembali berbagai kebijakan pendidikan, termasuk kemungkinan diterapkannya kembali ujian nasional (UN) sebagai standar kelulusan bagi siswa.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyampaikan bahwa saat ini tim Kemendikdasmen masih melakukan pengkajian menyeluruh terkait rencana tersebut.
Diketahui, sistem UN sempat dihapus pada era Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim.
Penghapusan tersebut dilakukan dengan alasan untuk mengurangi tekanan pada siswa dan memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam evaluasi pendidikan. Namun, wacana untuk mengembalikan UN sebagai standar kelulusan kembali mengemuka.
“Semuanya masih dalam proses pengkajian,” ujar Abdul Mu’ti saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Jakarta, Selasa (5/11/2024).
Selain UN, Abdul Mu’ti menambahkan bahwa pihaknya juga sedang mengevaluasi kebijakan zonasi dan Kurikulum Merdeka, yang menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional. Untuk itu, Kemendikdasmen akan mengundang dinas pendidikan dari seluruh provinsi guna berdiskusi dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan tersebut.
“Kami tidak mungkin melakukan perubahan kebijakan di tengah tahun ajaran. Jadi, keputusan mengenai perubahan atau tidaknya kebijakan akan disampaikan pada awal tahun ajaran baru,” jelasnya.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyambut positif kajian yang dilakukan Kemendikdasmen ini. Menurutnya, data nasional seperti hasil UN dapat dimanfaatkan untuk memetakan kualitas pendidikan di berbagai daerah.
Namun, ia juga mengingatkan agar pelaksanaan UN tidak menyebabkan stres berlebihan pada siswa, serta memastikan penerapan yang bersih dari praktik kecurangan, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
PENGAMAT: JANGAN JADI PENENTU KELULUSAN
Sementara itu, Pengamat pendidikan dari Universitas Mulawarman Samarinda Profesor Susilo menanggapi langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk mengkaji ulang penerapan kembali Ujian Nasional (UN), bahwa hal tersebut sebaiknya jangan lagi dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa.
“Ujian Nasional sebenarnya sudah bagus, terutama dalam konteks mengukur kemampuan literasi dan karakter siswa, namun standarisasi nasional seringkali tidak sejalan dengan kondisi dan kriteria kualitas pendidikan di masing-masing daerah,” ungkapnya di Samarinda, Rabu (6/11).
Menurutnya, UN dapat dihidupkan kembali, tetapi tidak boleh mengikat kelulusan siswa secara mutlak seperti sebelumnya.
Sistem kelulusan yang kaku dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif, seperti tekanan psikologis pada anak dan berkembangnya bimbingan belajar (bimbel) yang hanya berorientasi pada kemampuan menjawab soal.
“Belajar jangan sampai hanya menjadi mekanis, di mana anak hanya fokus pada menjawab soal ujian,” tegasnya.
Ia menambahkan, formulasi UN ke depan sebaiknya difokuskan untuk memetakan kualitas pendidikan secara umum di Indonesia, sehingga dapat diketahui daerah mana saja yang perlu diperbaiki.
Guru besar pendidikan Unmul itu mencontohkan, hasil pemetaan UN dapat dikaitkan dengan alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Daerah dengan kualitas pendidikan rendah, misalnya, dapat dikenakan pengurangan dana BOS sebagai bentuk dorongan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
“Sanksi semacam ini akan lebih efektif jika ditujukan kepada institusi, bukan perorangan. Dengan begitu, semangat untuk meningkatkan kualitas belajar tetap ada di sekolah,” papar Susilo.
Lebih lanjut, Susilo menyoroti pentingnya materi ujian yang tidak hanya berupa pilihan ganda (multiple choice). Ia mendorong agar penilaian UN juga mencakup portofolio peserta didik, sehingga dapat mengukur kemampuan secara lebih komprehensif.
“Tes memang diperlukan, terutama untuk jenjang pendidikan tinggi, tetapi harus diimbangi dengan bentuk penilaian lain. Jangan sampai anak hanya terbiasa dengan mekanisme berpikir untuk menjawab soal ujian,” jelasnya.
Susilo juga menekankan pentingnya keadilan dalam sistem penilaian. Ia mencontohkan kasus di mana siswa yang telah belajar selama tiga tahun, nasib kelulusannya ditentukan hanya dalam waktu beberapa hari pelaksanaan UN.
Menurut dia, harus ada pertimbangan yang matang dari pemerintah pusat terkait pelaksanaan UN. Kemendikdasmen perlu memberikan arahan yang jelas kepada pemerintah daerah, terutama Dinas Pendidikan, mengenai materi ujian.
Ia juga mengingatkan agar tidak terjadi pemaksaan terhadap sekolah untuk mencapai nilai tinggi. Hal ini dapat memicu kecurangan dalam pelaksanaan UN, karena takut nilai sekolahnya turun.
“Biarkan proses penilaian berjalan alami, tanpa tekanan untuk lulus,” tandasnya.
Susilo berharap, jika jadi diterapkan, UN secara positif dapat menjadi alat ukur yang adil dan efektif dalam memetakan kualitas pendidikan di Indonesia. (ant/MK)
Editor: Agus S