spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tujuh Tahun Buntung Kini Untung, Cerita Petani Pemasok Cabai Kaltim, Stok Dipastikan Tersedia Sampai Lebaran

Matahari persis di atas kepala ketika Kuswantoro memetik cabai yang ditanamnya dua minggu silam. Kebun cabainya ini adalah salah satu penghasil cabai yang sehari-hari dinikmati warga Kaltim. Dalam sebulan, ia memanen 1 ton cabai dari lahanya seluas 3.000 meter persegi itu.

Kuswantoro menerima kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com pada Kamis (1/4/2021), yang tergabung dalam rombongan Disperindagkop dan UKM Kaltim, di kebunnya yang terletak di Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasi terletak di 715 meter dari atas permukaan laut.

Dari kebunnya itu, macam-macam varietas cabai dihasilkan. Mulai rawit sampai imperial atau cabai merah besar. Cabai biasanya dipanen 50 hari sejak proses menyemai. “Kalau lagi menanam bisa 5 jam di ladang. Kalau sudah panen, bisa seharian. Sampai sore,” ucap Kuswantoro.

Dalam satu kali masa panen, Kuswantoro bisa untung puluhan juta rupiah. Satu plastik polybag berisi 1500 bibit jenis imperial dibanderol Rp 120 ribu. Satu bibit menghasilkan sekitar 2 kilogram cabai dengan harga jual Rp 40 ribu per kilogram.

“Nah kalo satu ton bisa dihitung saja kami bisa produksi berapa. Setahun alhamdulillah 12 kali panen,” ucapnya.

Bertahun-tahun jadi petani cabai, Kuswantoro mengaku baru-baru ini bisa mengambil untung. Selama 2012—2019, cabainya disebut selalu gagal panen. Disebabkan serangan hama dan rendahnya kadar zat hara di ladang miliknya. Kuswantoro menyiasati dengan menanam tanaman lain.

Cabai memang bahan makanan favorit rakyat Indonesia. Namun untuk menghasilkannya kadang disertai persoalan yang tak kalah pedas. Selain ancaman gagal panen karena hama dan faktor alam, para petani cabai kerap dihadapkan persoalan harga yang tak pasti.

Seperti disebutkan Ketua Kelompok Tani Tri Rejeki Desa Bocek, Supriyono, harga cabai sempat menyentuh titik rendah pada 2018. Yakni sekitar Rp 4 ribu per kilogram.

“Bilangnya itu (akibat) semua gudang di Surabaya terpenuhi cabai pasta dan cabai kering,” sebut pria 60 tahun yang mengetuai 40 petani cabai tersebut.

Harga cabai yang fluktuatif bisa sangat dirasakan di pasaran. Tak terkecuali di Pasar Sayur Karangploso, Malang. Pasar ini adalah pemasok utama cabai ke beragam provinsi. Termasuk ke daerah-daerah pertanian sentral Jatim seperti Kediri, Blitar, Probolinggo, dan Surabaya.

Salah satu pedagang cabai, Pujiari, 47 tahun, mengamini harga cabai yang tak pernah stabil. Penyebabnya ditengarai minimnya ketersediaan akibat cuaca. Belum lagi dampak hama dan penyakit tanaman penyerta.

“Seperti Tubang dan Bojonegoro, itu banjir dan gagal panen. Ada juga wabah penyakit cacar tanaman di daerah Tuban,” ungkapnya.

Per 1 April 2021, harga cabai menyentuh angka Rp 45 ribu per kilogram untuk jenis cabai rawit. Sedangkan cabai imperial Rp 40 ribu per kilogram.

Pujiari yang juga distributor cabai untuk Pasar Segiri di Samarinda, juga menambahkan jika harga dasar cabai di tingkat petani sedang tinggi. Akibatnya, terjadi efek domino harga di daerah lain. Minimnya suplai tidak mampu mengimbangi banyaknya permintaan.

“Ke Kaltim per kilogram sekitar Rp 100 ribu untuk jenis cabai rawit. Jumlahnya sekitar satu ton tiap kali ada pesanan,” sambung pria yang merupakan distributor cabai ke 30 kabupaten/kota di Indonesia.

Jika petani daerah Karangploso tidak mampu memenuhi kebutuhan cabai, Pujiari biasanya mengambil cabai dari Mataram dan Sumbawa. Pedagang mengambil untung rata-rata Rp 2 ribu per kilogram.

Nilai tersebut dinilai Pujiari tidak besar. Pedagang selama disebut selalu mengikuti ketersediaan barang. Tidak pernah sengaja mengintervensi harga di pasar. “Itu murni di luar kendali. Menaikkan (harga) seenaknya, ya, tidak bisa toh,” sambungnya.

Menurut Pujiari, pedasnya harga cabai juga disebabkan jumlah petani yang kian minim. Saat ini yang lebih banyak di Karangploso adalah petani jeruk. Cabai bukan lagi menjadi komoditas utama. “Dulu sehari 50 ton bisa di sini. Sekarang sudah tidak bisa,” sambungnya.

Menurut Supriyono, banyaknya petani cabai beralih menanam jeruk disebabkan trauma karena harga cabai yang sempat hancur. “Tahun ini barangnya tidak begitu berlimpah, petaninya berkurang,” ungkapnya.

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Kaltim, M Yadi Robyan Noor, menyebutkan bahwa Jatim sebagai salah satu pemasok utama cabai Kaltim, mengalami penurunan produksi sekitar 25 persen. Namun demikian, Yadi menilai penurunan tersebut turut dipicu cuaca yang kurang bersahabat. Sehingga membuat biaya transportasi ikut meroket.

Dengan harga cabai yang tembus Rp 100 ribu per kilogram di Kaltim, Yadi meminta masyarakat tidak perlu khawatir. Stok cabai masih cukup untuk memenuhi kebutuhan pada bulan puasa dan Lebaran. Mayoritas petani dalam waktu dekat siap panen.

“Aman stoknya, masih tahan untuk satu bulan lebih, mudah-mudahan tenang aja, tidak terobsesi untuk memborong,” pungkasnya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img