spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tiap Detik Sumbang Rp 1 Juta, Fakta Dibalik Provinsi “Tempat Jin Buang Anak”

SAMARINDA – Gerombolan batang pohon berdiameter setara drum mengapung di Sungai Mahakam. Kayu-kayu gelondongan itu sengaja dihanyutkan mengikuti aliran sungai. Para makelar di hilir, tepatnya di Samarinda dan sekitarnya, sudah menanti kedatangan komoditas ekspor tersebut. Pemandangan manakala sungai kebanjiran kayu ini disebut penduduk setempat sebagai banjir kap.

Sebermula dari Orde Baru yang mulai berkuasa pada 1966, hutan-hutan primer di Kaltim mulai ditebang secara besar-besaran. Pemerintahan Soeharto yang membuka keran penanaman modal asing di bidang pengusahaan hutan menjadi pelopor eksploitasi sumber daya hutan Kaltim. Konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) pertama di Kaltim diberikan kepada PT YMK pada 1967. Lokasinya di Kabupaten (Daerah Tingkat II) Bulungan. Setahun kemudian, pada 1968, PT PTI mendapat hak di wilayah Sangkulirang, waktu itu Daerah Tingkat II Kutai (Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya terhadap Masyarakat Adat, 1998, hlm 39).

Penerbitan izin HPH makin menggila. Setidaknya, hingga 1982, telah beroperasi 106 perusahaan pemegang HPH. Konsesinya mencakup 11,8 juta hektare lahan atau 55 persen dari daratan provinsi (masih dihitung dengan Kaltara). Pada 1993, konsesi HPH di Kaltim mencapai 12 juta hektare atau setara luas Pulau Jawa.

Eksploitasi hutan melahirkan angka ekspor yang luar biasa. Dari komoditas minyak bumi dan industri kayu pada 1990, ekspor Kaltim menembus 20 persen dari total ekspor nasional. Kaltim waktu itu hanya kalah dari Riau untuk urusan ekspor (Studi Perbandingan Ekonomi Regional Kalimantan Timur dan Riau, jurnal, 1991, hlm 65).

Data ini selaras dengan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kaltim. Sebesar 34,78 persen ekspor Kaltim pada 1990 berasal dari sektor kehutanan. Sementara produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim tanpa migas pada 1993 mencapai Rp 12,68 triliun (Kaltim Dalam Angka, 1996, hlm 432).

BACA JUGA :  Tolak Pembangunan Pasar Pagi, Pedagang Pemilik SHM: Ganti Rugi Tidak Adil!

Siapa yang menikmati? Menurut Dedi Triawan dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan (1995), hak pengelolaan 61,4 juta hektare hutan produksi di Indonesia diberikan kepada 579 perusahaan. Ke-579 HPH itu tergabung dalam berbagai kelompok usaha sehingga terbentuk 25 grup besar. Sebagian saham grup-grup itu dikuasai oleh 25 individu.

Putaran uang sedemikian besar dari industri kayu akhirnya dibayar mahal. Menurut penelitian World Bank pada 2000, tutupan hutan yang berubah di sepenjuru Kalimantan sejak 1985 hingga 1997 menembus 8,47 juta hektare. Deforestrasi atau pengawahutanan ini setara tiga per empat luas Pulau Jawa (olahan data 1985 hasil estimasi GFW dari data UNEP-WCMC dan estimasi GWF 1997 dari data Departemen Kehutanan dan Bank Dunia).

Industri kayu tidak sendirian. Di bawah lapisan tanah Kaltim, minyak dan gas bumi juga terus dikeruk pada era Orde Baru. Menurut catatan Badan Pusat Statistik Kaltim, ada empat perusahaan migas yang mengelola 26 sumur minyak dan 24 sumur gas pada 1990. Jumlah pekerjanya 5.336 orang. Total PDRB Kaltim dengan migas pada 1993 pun menembus 25,34 triliun (Kaltim Dalam Angka, 1996, hlm 432). Merujuk Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 329 triliun, Kaltim menyumbang 7 persen terhadap perekonomian nasional pada periode tersebut.

BACA JUGA :  DPD Demokrat Kaltim Beri Bantuan Anak Terdampak Kebakaran Belibis

Tiga puluh tahun setelah eksploitasi hutan dimulai, skema pengerukan sumber daya alam di Kaltim bergeser. Pertambangan batu bara pelan-pelan mendominasi struktur ekonomi provinsi mulai 2000 hingga sekarang. Menurut Bappeda Kaltim, andil sektor penggalian mencapai 42,94 persen dari PDRB Kaltim pada 2000. Angkanya hampir tidak berubah sampai 2019 yaitu 45,49 persen dari PDRB Kaltim.

ERA BATU BARA

Pada masa reformasi, kepala daerah yakni bupati dan wali kota di Kaltim menerbitkan 1.404 izin usaha pertambangan atau IUP. Kesemuanya itu melengkapi tiga generasi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) yang telah diterbitkan pusat. Ditambah 30 PKP2B, izin pertambangan mengambil 5,13 juta hektare lahan Kaltim pada 2015 atau setara 80 kali wilayah DKI Jakarta.

kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, menghitung besar aktivitas industri ekstraktif ini selama 14 tahun. Sejak 2004 hingga 2017, data produksi batu bara serta harga batu bara acuan terekam di Badan Pusat Statistik dan Kementerian ESDM. Pada 2004, produksi batu bara Kaltim 113 juta ton dan naik menjadi 244 juta ton pada 2017. Kaltim stabil menyuplai 40-an persen produksi batu bara nasional sepanjang 14 tahun itu.

Total produksi emas hitam Kaltim pada 2004-2017 menembus 2,68 miliar ton. Data produksi ini diolah dengan harga batu bara acuan (HBA) rata-rata setiap tahun yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Dari kombinasi keduanya, diperoleh produk bruto komoditas batu bara tahunan di Kaltim.

Nilai produk bruto tertinggi ditemukan pada 2011 yakni USD 24,6 miliar (produksi 208 juta ton, HBA rata-rata USD 118,4). Sementara nilai produk batu bara Kaltim sepanjang 2004 hingga 2017, dengan total produksi 2,68 miliar ton dikalikan HBA rata-rata setiap tahun, mencapai USD 191,4 miliar. Jika dirupiahkan sesuai kurs sekarang (1 USD = Rp 14.000), total produksi batu bara Kaltim selama 14 tahun itu menembus Rp 2.680 triliun. Sebuah angka yang setara dengan biaya pembangunan 6.320 Jembatan Mahakam IV di Samarinda. Jika ke-6.320 jembatan ini dibentangkan, cukup menyambungkan Samarinda dengan Jakarta sejauh 1.306 kilometer.

BACA JUGA :  BKD Kaltim Berikan Peluang Ribuan Honorer menjadi ASN 2024

Royalti batu bara yang diperoleh pemerintah pusat pun dapat dihitung. Sejak Orde Baru, royalti yang dikenakan kepada PKP2B tidak berubah yaitu 13,5 persen. Jika disamaratakan, Kaltim telah menyumbang Rp 332 triliun royalti dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama 14 tahun. Kaltim pun mengisi kas negara rata-rata Rp 23,7 triliun setiap tahun hanya dari pengerukan batu bara.

Angka yang lebih besar diperoleh ketika harga komoditas terbang tinggi seperti sepanjang 2021. Menurut Kementerian ESDM, total PNBP dari produksi batu bara Indonesia sepanjang 2021 menembus Rp 75,15 triliun. Sebesar Rp 32 triliun di antaranya disumbangkan Bumi Mulawarman berdasarkan keterangan Dinas ESDM Kaltim. Kaltim pun mengisi kas negara rata-rata Rp 2,6 triliun per bulan atau Rp 86 miliar per hari. Bisa pula dikatakan, setiap detik, tanah yang disebut tempat jin buang anak ini menyumbangkan Rp 1 juta kepada republik dari pengerukan emas hitam. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img