PADA tahun 2021 ini praktis tidak ada penyelenggaraan tahapan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah (pemilihan, Red.) di seluruh wilayah Indonesia. Telah diketahui bersama, penyelenggaraan pemilu dan pemilihan akan diselenggarakan secara serentak pada tahun 2024 dan tahapan akan dimulai pada medio tahun 2022.
Dalam situasi ini, kerap lahir pertanyaan menyentil di tengah masyarakat, apa masih relevan pendidikan politik dilakukan ketika tidak ada tahapan pemilu seperti saat ini? Lalu siapa yang menyelenggarakan pendidikan politik tersebut? Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, sebaiknya disimak dulu gagasan pokok pendidikan politik.
Urgensi Pendidikan Politik
Secara normatif negara memaknai pendidikan politik melalui Permendagri Nomor 36 Tahun 2010 sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun umumnya sarjana politik memaknainya sebagai upaya membentuk dan menumbuhkan kesadaran politik warga negara menjadi perilaku politik yang bermoral dan bertanggungjawab dalam mencapai tujuan politik masyarakat, bangsa dan negara. Gagasan dan semangat ini juga kerap dimaknai sebagai gerakan politik etis, upaya mengembalikan hakikat kekuasaan adalah jalan mencapai kesejahteraan bersama.
Menjadi salah satu instrumen vital dalam sistem demokrasi adalah partisipasi politik, karena dapat menjadi terjemahan sekaligus perwujudan dari kedaulatan rakyat. Maka sejatinya arah pengelolaan pemerintahan dan kekuasaan harus sejalan dengan kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sangat tegas mandat UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, sehingga dapat dimaknai sederhana bahwa rakyat adalah pemilik dan penentu masa depan negara, maka wajib semua hal yang berhubungan dengan penguatan itu difasilitasi dan diupayakan bersama. Pendidikan politik adalah satu upaya strategis dalam penguatan partisipasi politik. Penguatan nilai-nilai politik di masyarakat akan berkontribusi dalam budaya politik hari ini, keduanya saling mempengaruhi.
Kesadaran Kolektif
Desain fungsinya bermuara pada upaya menguatkan nilai-nilai kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada kapasitas institusi, partai politik memiliki fungsi dan kewajiban dalam melaksanakan pendidikan politik baik untuk anggota maupun masyarakat luas (UU No. 2 Tahun 2008).
Begitu pun organisasi masyarakat secara tidak langsung memiliki andil fungsi untuk memelihara norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (UU No. 17 Tahun 2013), ini menyiratkan ruh dan semangat pendidikan politik. Ini sebagian peran elemen bangsa atas penyelenggaraan serta fasilitasi pendidikan politik, termasuk jenjang pemerintah, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan seterusnya.
Ada yang memaknai pendidikan politik sama dengan sosialisasi politik, silahkan saja jika itu menjadi lebih mudah diaplikasikan. Namun jika ada yang memaknai bahwa pendidikan politik sudah pasti bentuk agenda politik praktis, maka ini perlu didiskusikan.
Kesan ini bisa jadi lahir karena pada masa-tahapan pemilu/ pemilihan lebih mudah dijumpai aktivitas iklan politik, asumsi masyarakat pendidikan politik seperti itu wujudnya. Seperti ulasan sebelumnya, isu strategis pendidikan politik jauh lebih besar daripada tentang eforia dukung mendukung, apalagi dijadikan kedok politik transaksional.
Dimensinya bernilai etika dan bersifat progresif. Dalam contoh praktiknya, gerakan penyadaran politik masyarakat bukan hanya tentang menjaga ketertiban dalam mengikuti kampanye, melainkan agar tercipta ruang ujian bagi visi misi para kandidat. Hal lain, tidak hanya tentang bagaimana menghadirkan pemilih ke TPS untuk gunakan hak pilih, melainkan agar pemilih mengenal akrab terhadap kiprah dan konsekuensi pilihannya. Dan konstruksi pemikiran ini masih mungkin terus dikembangkan.
Kita perlu berharap bahwa masyarakat tidak lagi melihat perilaku politik dalam dua sisi koin: menjadi apatis atau memilih oportunis. Problem ini perlu dientaskan dengan pendidikan politik, senapas dengan perjuangan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Maka dengan atau tanpa pemilu, pendidikan politik tidak boleh berlalu. (**)
Oleh: Aldy Artrian, S.Sos., MPA
Ketua Bawaslu Kota Bontang