JAKARTA – Dalam proses pembacaan putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 hari ini, Senin (22/4/2024), Hakim Mahkamah Konstitusi RI Prof. Enny Nurbaningsih sempat membacakan beberapa dalil terkait dengan dugaan intervensi presiden dalam seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Bahwa sekalipun presiden menjadi salah satu lembaga yang terlibat dalam proses seleksi calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu, namun presiden tidak begitu saja melakukan atau menunjuk sendiri calon anggota KPU dan
calon anggota Bawaslu. Dalam hal ini, UU Pemilu membatasi wewenang presiden sebatas mengangkat anggota tim seleksi untuk menyeleksi calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu dimaksud,” terang Enny saat membacakan putusan.
Tidak hanya itu, lanjut Enny, dalam mengangkat anggota tim seleksi presiden pun dibatasi dengan pembatasan, misalnya dari 11 (sebelas) anggota tim seleksi hanya 3 (tiga) orang yang berasal dari unsur Pemerintah. Sementara itu, 4 (empat) orang berasal dari unsur akademisi dan 4 (empat) orang lainnya dari unsur masyarakat. Bahkan, nama-nama calon yang akan diajukan presiden ke DPR hanya sebatas nama-nama yang dihasilkan olen tim seleksi.
“Artinya, wewenang presiden dapat dikatakan terbatas dalam proses pengisian calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu,” jelasnya.
Selanjutnya, begitu pula dengan DPR, sekalipun merupakan salah satu lembaga yang terlibat dalam proses seleksi, Enny menyebutkan bahwa DPR hanya dapat menyeleksi dengan cara melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dari nama-nama calon yang diajukan oleh presiden yang berasal dari hasil tim seleksi. Dalam kaitan dengan proses fit and proper test tersebut, harus dilakukan secara profesional, transparan, dan dihindari kemungkinan adanya hal-hal yang bersifat “transaksional” yang dapat mengancam independensi penyelenggara pemilu.
Bahwa berkaitan dengan dalil Pemohon mengenai independensi atau kemandirian penyelenggara pemilu yang didalilkan oleh Pemohon tidak independen atau tidak mandiri dengan mendasarkan kepada argumentasi terdapat 4 (empat) orang anggota tim seleksi berasal dari unsur Pemerintah, bukan 3 (tiga) orang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a juncto Pasal 118 UU Pemilu.
“Berkenaan dengan hal tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama bukti-bukti yang diajukan dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, Keppres 120/P Tahun 2021 tidak mencantumkan unsur dari 11 (sebelas) anggota tim seleksi dimaksud. Setelah membaca nama-nama anggota tim seleksi yang tercantum dalam Keppres 120/P Tahun 2021, Mahkamah tidak dapat menilai bahwa jumlah yang berasal dari unsur Pemerintah lebih dari 3 (tiga) orang,” katanya.
“Terlebih, tidak terdapat bukti yang meyakinkan bagi Mahkamah bahwa nama-nama yang didallikan oleh Pemohon benar-benar merupakan unsur Pemerintah atau sebaliknya lebih pada pertimbangan nama-nama tersebut dipilih karena kapasitas yang mereka miliki untuk menjadi tim seleksi calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu, termasuk dalam hal ini Poengky Indarti yang menjabat sebagai salah seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas),” tambah Enny.
Apabila ditelusuri lebih jauh hasil proses seleksi calon anggota Kompolnas, Poengky Indarti dipilih menjadi anggota Kompolnas merupakan wakil dari unsur tokoh masyarakat. Terlepas dari hal tersebut, ketika pengumuman tim seleksi calon anggota KPU dan calon anggota Bawaslu, Mahkamah tidak menemukan fakta adanya keberatan dari DPR berkenaan dengan komposisi anggota tim seleksi dimaksud.
Padahal, sebagian dari fraksi DPR yang merupakan kepanjangan tangan parti politik pendukung Pemohon yang semestinya dapat mengajukan keberatan sejak awal.
“Andaipun benar terdapat unsur Pemerintah melebihi 3 (tiga) orang, quod non, sulit bagi Mahkamah menemukan korelasi antara jumlah tersebut dengan independensi anggota KPU atau anggota Bawaslu dalam menjalankan tugasnya menyelenggarakan pemilu,” jelas putusan tersebut.
Pewarta : Nicha R