Beranda SAMARINDA Terjaring OTT KPK, Gelar Akademik AGM-Muliadi Bisa Dicabut

Terjaring OTT KPK, Gelar Akademik AGM-Muliadi Bisa Dicabut

0
Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat, Unmul, Dr Bohari Yusuf.

SAMARINDA – Perguruan tinggi negeri terbesar di Kaltim, Universitas Mulawarman, berkomitmen melawan segala perilaku tindak pidana korupsi. Walaupun belum ada contoh kasus dan aturan yang rigid, kampus menilai, pencabutan gelar akademik bagi alumnus yang terbukti terlibat praktik rasuah adalah hal yang memungkinkan.

Sebagai informasi, wacana pencabutan gelar akademik bagi terpidana korupsi pertama kali muncul pada 2018. Majelis Dewan Guru Besar (MDGB) Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum yang mengusung wacana tersebut. Melansir sejumlah media nasional pada 2018, satu di antaranya suaramerdeka.com, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemristekdikti, Muhammad Dimyati, waktu itu bilang bahwa pencabutan gelar akademik bagi koruptor bukan hal yang mustahil. Pencabutan gelar akademik adalah wewenang institusi masing-masing.

“Silakan memberikan masukan dan kami sudah menerima hal itu. Tetapi biarkan nanti institusi yang mempunyai kewenangan memutuskannya. Toh, mereka nanti mempunyai screening untuk mempertimbangkan berbagai masukan,” katanya. Menurutnya, pencabutan gelar bagi koruptor memerlukan pertimbangan yang matang.

Dalam dugaan korupsi yang menyeret Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’ud (AGM), dua nama disebut-sebut memiliki gelar akademik. Pertama, Gafur Mas’ud yang dalam daftar riwayat hidupnya tertulis meraih gelar master (S-2) dari Unmul. Nama kedua adalah pelaksana tugas Sekretaris Kabupaten PPU, Muliadi, yang sebelumnya dosen di kampus tersebut. Dua gelar Muliadi yaitu master humaniora dan master sains diperoleh dari Unmul.

Kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Hubungan Masyarakat, Unmul, Dr Bohari Yusuf, menegaskan, Unmul sangat menolak dan melawan perilaku korupsi. Apabila ada alumni yang terjerat kasus korupsi seperti operasi tangkap tangan di PPU, tentu tidak menggambarkan keseluruhan alumni yang berjumlah puluhan ribu orang.

“Kami jelas menolak koruptor. Mengenai pencabutan (gelar akademik) ini, ada aturannya,” terang peraih S-3 dari Universite De Pau Et Des Pays De Ladour,  Prancis, tersebut. “Lagi pula, (Unmul) belum pernah, ya (mencabut gelar akademik). Gelar akademik itu diperoleh seseorang yang memenuhi syarat SKS (sistem kredit semester) dan syarat-syarat  lain,” urainya, Senin, 17 Januari 2022.

Sepengetahuan Bohari, belum ada kampus negeri yang mencabut gelar akademik alumnus. Pencabutan gelar akademik hanya pernah terjadi di universitas swasta di Indonesia. “Saya kira, ini bisa dituangkan dalam aturan ke depannya,” saran Bohari.

Meski demikian, Bohari menilai, pencabutan gelar akademik bukan hal yang mustahil dan mungkin dilakukan. Proses pencabutan diputuskan oleh senat. Sejauh ini, sambungnya, belum ada pembahasan mengenai pencabutan gelar akademik bagi alumnus yang terlibat korupsi.

“Belum dibahas. Belum sampai ke situ. Kami menganggap, kejadian ini (OTT KPK di PPU) di luar dan tidak ada kaitannya dengan kami. Alumni Unmul ada ratusan ribu. Mungkin, ini bukan yang pertama dan ada yang lain. Kalau dalam kasus ini (gelar akademik) dicabut, yang lain juga, ‘kan?”

Untuk tersangka lain dalam OTT Bupati PPU yang masih berstatus mahasiswi, Nur Afifah Balgis, Bohari menyatakan, kampus menerapkan asas praduga tak bersalah. Unmul masih melihat proses hukum dan menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap. Secara alamiah, mahasiswa yang menjalani masa hukuman dan melewati masa studi otomatis tidak bisa menyelesaikan pendidikan.

Adapun kewenangan terhadap mahasiswi yang terlibat korupsi, Bohari menambahkan, ada di akademik yaitu dekan. Keputusan didapatkan melalui diskusi dan pertimbangan jajaran rektorat serta senat. “Ada juga masalah etika. Itu nanti jadi pertimbangan. Tentu asas praduga tak bersalah harus dijunjung tinggi,” jelasnya.

Wacana pencabutan gelar akademik bagi terpidana koruptor mendapat dukungan dari organisasi masyarakat sipil. Kelompok Kerja 30, organisasi nirlaba di Kaltim yang bergerak di bidang antikorupsi, menilai bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Sudah seharusnya, efek jera yang luar biasa diberikan kepada koruptor.

“Dalam catatan kami, ada banyak terpidana kasus korupsi yang memiliki gelar akademik. Pencabutan gelar akademik adalah bentuk tindakan yang dapat memberikan efek jera,” tegas Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo. (kk)

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version