Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, membawa dampak signifikan terhadap kehidupan perempuan di pesisir dan laut. Sebagai kelompok yang sangat bergantung pada sumber daya alam, perempuan pesisir di wilayah ini menghadapi ancaman terhadap mata pencarian mereka, seperti perikanan dan pengolahan hasil laut.
Perubahan ekosistem yang disebabkan oleh proyek pembangunan, seperti pencemaran dan gangguan pada habitat laut, dapat mengurangi hasil tangkapan laut yang menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak perempuan.
Seperti yang terjadi pada perempuan pesisir di Kelurahan Jenebora.
Hujan mengguyur perkampungan tua di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur, membasahi jalan-jalan kayu ulin sepanjang pesisir, satu-satunya akses masyarakat Kelurahan Jenebora. Sebuah kelurahan penghasil kayu triplek yang sangat terkenal pada masanya.
Aroma petrichor menyeruak, bercampur dengan amis laut, saat kami datang dan disambut oleh anak-anak yang berlarian serta bersepeda sepulang sekolah hari Rabu (15/1/2025) sore.
Baju mereka basah akibat rintik hujan, namun teriakan tawa mereka terdengar hingga jarak kurang lebih 100 meter dari gerbang kedatangan Kelurahan Jenebora.
Kelurahan Jenebora, dihuni oleh Suku Bajau yang menggantungkan penghidupan mereka dari laut.
Suku Bajau merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut. Suku ini banyak tersebar dan membangun kampung-kampung di sepanjang pesisir laut.
Suku yang beragama Islam ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan.
Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan di Indonesia terutama bagian timur.
Kampung pesisir ini dihuni oleh kurang lebih 1.056 kepala keluarga dengan total 3.298 jiwa dan sangat dekat dengan Bandara Very-Very Important Person (VVIP) yang digembar-gemborkan menjadi akses menuju Ibu Kota Nusantara.
Jalan menuju desa ini telah beberapa kali berpindah, seiring dengan pembangunan bandara serta jalan tol Segmen 5A dan 5B yang menembus langsung ke Kota Balikpapan melewati Jembatan Pulau Balang.
Tak hanya daratannya, tetapi laut tempat warga mencari ikan pun turut dipakai sebagai akses pelabuhan logistik IKN.
Padahal Pulau Balang, bagi warga, bukan hanya sekadar jalur akses, tetapi juga sumber kehidupan.
Seorang perempuan berdiri di depan kompor dengan sepiring udang hasil tangkapannya dari belat di sampingnya.
Belat merupakan jebakan tradisional menggunakan bilah bambu panjang dan disusun memanjang. Nantinya, belat akan ditaruh di pesisir tempat pasang surutnya air laut. Tak hanya udang, tetapi ikan-ikan kecil pun tersangkut di celah-celah bilah bambu tersebut.
Perempuan itu adalah M (28) yang menggunakan jilbab bermotif polkadotnya. M mengajak kami bertemu kakaknya, S (41), yang rumahnya berada di paling ujung di kampung pesisir tersebut.
Jalannya cukup reyot, sehingga kami diminta berhati-hati saat melewati setiap bagian dari jalan kayu tersebut. S dan M adalah perempuan pesisir yang mengolah hasil laut.
S menunjukkan tiga tumpuk terasi berbentuk persegi panjang yang belum kering. Ia mengatakan terasi ini terbuat dari udang papai, atau yang lebih sering disebut udang rebon.
“Saya sudah mengolah ini selama 24 tahun, hasil sendiri, tangkapan sendiri,” ungkap S.
Udang papai (Acetes) ini ditangkap oleh suaminya menggunakan metode sodo’ di sekitar Teluk Balikpapan hingga di bawah Jembatan Pulau Balang. Metode sodo’ adalah menangkap udang menggunakan jaring besar berwarna hitam.
“Kalau dua tahun yang lalu, sebelum ada pembangunan bandara dan lain-lain ini, kami bisa dapat empat karung sekali sodo’. Apalagi jika musim utara (angin) dan air konda (pasang surut perlahan atau tenang), dalam sebulan kira-kira bisa empat kali air konda itu,” tambahnya.
Bahan baku ini semakin sulit dicari. Menurut S, hal ini disebabkan oleh limbah semen dan lumpur yang kerap turun akibat aktivitas di daratan.
Dahulu, saat konda, suami S bisa mendapatkan empat karung udang papai seberat 25 kilogram.
“Ada sih, tapi nggak banyak. Iya, itu tercemar karena semen, kayaknya,” kata dia.
“Selama dua tahun ini, nggak ada di Pulau Balang. Ada sih, tapi nggak banyak. Biasanya, Pulau Balang itu berani dapat empat sampai lima karung. Sekarang, nggak ada, paling satu kilo,” ungkapnya.
“Biasanya Pulau Balang itu ‘agen’-nya sudah, sama… apa itu namanya… Pulau Baru (tidak jauh dari Pulau Balang). Mau sekencang apa pun hujan, pasti ada. Sekarang nggak ada lagi,” tambahnya lagi.
Tanda udang papai berkumpul, kata S, berbentuk lingkaran besar berwarna merah. Bahkan, dari ukurannya saja, S sudah bisa mengetahui berapa berat udang papai yang akan diangkutnya.
“Kalau dia sudah merah, lingkarannya sekitar dua meter, berarti setengah karung,” tambahnya.
Dari hasil pembuatan terasinya, S mampu menyekolahkan anaknya di pesantren. Sekarang, anaknya menjadi imam di salah satu masjid di Kota Balikpapan.
Sebelum masifnya pembangunan, S mengaku bahwa sekali menangguk udang papai dan mengolahnya—baik menjadi terasi maupun dikeringkan—ia mampu memperoleh Rp 4 juta seminggu.
Saat ini, paling banyak dirinya dan keluarga hanya mendapatkan Rp 800 ribu.
“Satu bulan itu ada empat kali musim. Kita bisa dapat Rp 4 juta dari jual udang papay kering dan terasi. Sekarang, Rp 800 ribu saja sudah paling banyak,” tegasnya.
Belum lagi, isu penggusuran untuk kepentingan IKN yang kerap kali didengarnya. S khawatir jika hal tersebut benar terjadi. Ia dan keluarganya, yang terbiasa melaut, harus menyesuaikan diri.
Ditambah lagi, nasib kapalnya yang tidak dapat difungsikan jika harus berpindah.
“Kami mungkin akan tetap buat terasi dan jual di pasar di Balikpapan. Kami ikut anak kami saja, walau bahan bakunya juga susah. Belum lagi, kapalnya gimana,” ungkapnya.
Di sisi lain, adik S, yang mengolah udang hasil jebakan ‘belat’, M (28), juga merasakan kekhawatiran yang sama.
Setiap pagi, M mengumpulkan udang hasil belat, jebakan tradisional dari bambu yang dipasang sepanjang keluar dan masuk air.
M mengolah udang jenis windu atau udang tenang untuk dijadikan siomay udang. Biasanya, ia akan membekukan olahannya agar lebih tahan lama dan dapat dijual ke daerah lain. Seperti sang kakak, ia juga merasakan hal yang sama—bahan bakunya mulai langka.
“Dua tahun lalu kami bisa mendapatkan 10 kilogram setiap hari, sekarang paling banyak 3 kilogram,” ungkapnya.
Menurutnya, merosotnya produksi udang, yang juga dikenal sebagai Penaeus monodon, disebabkan oleh pembangunan masif di area Bandara VVIP dan sekitarnya.
“Limbah itu kan ada terus selama ada bandara ini, turun terus lumpurnya. Karena Pulau Balang itu kan airnya tenang, tapi sejak ada jembatan ini, jadi keruh,” terangnya.
Selain penurunan bahan baku, hal ini juga dirasakan oleh Y (42), seorang penjual kerupuk udang. Hasil olahannya bergantung pada ketersediaan bahan dasar udang putih hasil tangkapan nelayan yang menggunakan belat.
“Saya satu kali produksi bisa 2 sampai 4 kilo sehari. Untuk satu kilo kerupuk, ya perlu 1 kilogram udang. Sejak bahan bakunya semakin sedikit, saya harus menumpuk udang sedikit-sedikit di kulkas itu. Jadi, saya beli dari nelayan-nelayan, tapi gak sebanyak dua tahun lalu,” ungkapnya.
Y telah memulai usahanya sejak tahun 2012 dan mulai menjual produknya ketika tetangga-tetangganya memesan. Ia mengatakan hanya membuat pesanan by request dan tak ingin memproduksi dalam jumlah banyak.’
Terkait bahan baku kerupuknya, Y mengakalinya dengan mengganti udang windu dengan jenis lain, yaitu udang brownies atau Farfantepenaeus aztecus. Namun, hasilnya tidak memuaskan.
“Aku sudah pernah ganti ke udang balikpapan, udang brownies itu, tapi ah, nggak enak, nggak jadi. Rasanya nggak enak, kalau orang bilang kayak rasa batu,” terangnya.
Pilkada dan Jenebora
Saat ditanya terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang digelar pada 27 November 2024, ketiga perempuan pesisir itu mengaku mengetahui bahwa terdapat tiga dari empat pasangan calon yang berkampanye di kelurahannya.
“Ada kok, tapi hanya tiga—Pak Mudyat-WIN, Pak Hamdam-Basir, dan Pak Andi Raha’-Dayang Donna,” ungkap M.
Namun, M mengaku tidak menghadiri kampanye tersebut. Begitu pula dengan Y.
Keduanya hanya mendapatkan informasi soal kampanye ketiga pasangan calon tersebut dari spanduk-spanduk yang tersebar di seluruh kampungnya.
“Ya, saya hanya dapat dari spanduk. Kan yang menang Pak Mudyat Noor, katanya janji akan ada air bersih,” ungkap Y.
“Ya, tinggal tunggu aja. Jangan mengecewakan lagi, lah,” sahut M.
M mengaku masih khawatir jika pemimpin selanjutnya akan sama seperti mantan bupati sebelumnya, Abdul Ghafur Mas’ud, yang tertangkap dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2022.
“Ya, seperti kemarin. Ada jalanan yang pembangunannya belum selesai, hanya dibuat dinding-dinding pembatas saja. Akhirnya, warga RT 003 yang urunan untuk menyelesaikannya,” jelasnya.
Akhirnya, kata M, warga yang pergi ke masjid harus melewati banjir akibat jalan tersebut tak kunjung selesai. Saat itu, M mengatakan bahwa warga harus melewati jalanan lain.
“Tapi sekarang sudah bagus, warga urunan. Bahkan sempat gantian untuk kasih makan. Misalnya, malam ini di rumah saya, lalu malam selanjutnya di rumah siapa lagi,” terangnya.
Walaupun tak terlibat dalam kampanye, M dan Y mengaku tetap memberikan hak pilihnya.
Bahkan, M bercerita bahwa saat tengah malam sebelum pemilihan pun, ia masih dihubungi oleh kerabat salah satu calon untuk memilih pasangan calon tersebut.
“Saya tengah malam aja masih dihubungi supaya milih paslon itu. Saya jawab aja, ‘Insya Allah,’” ungkap M.
Menurut Y, terkait janji ketersediaan air bersih, hal itu sebenarnya telah terpenuhi sejak awal.
Y berharap salah satu janji pasangan calon Mudyat-WIN terkait UMKM bukan hanya sekadar janji, terutama dalam hal distribusi dan juga pasar untuk menjual hasil olahan UMKM di Jenebora.
“Di sini (pesisir) airnya bersih kok, bisa juga untuk air minum,” kata Y.
Dampak Pembangunan Pada Perempuan Pesisir
Sementara itu Dosen Sosiologi Universitas Mulawarman, Sri Murlianti menanggapi dampak akibat pembangunan IKN dan juga Bandara VVIP pada perempuan pesisir.
Menurutnya, pembangunan yang hanya memandang kemegahan infrastruktur modern ini sangat maskulin. Sehingga selalu abai terhadap bidang-bidang pekerjaan perempuan.
“Karena lautnya semakin tercemar, lalu lalang kapal pengangkut logistik dan bahan bangunan, plus tronton batu bara. Keadilan ruang hidup, lingkungan, dan ruang gerak perempuan tidak pernah menjadi bagian penting yang dipertimbangkan dalam pembangunan yang maskulin seperti ini,” tegasnya.
Terkait isu penggusuran yang meresahkan warga, menurut Sri, harus mengedepankan prinsip-prinsip Free, Prior, Inform Consent (FPIC). Ia menegaskan persetujuan harus bersifat bebas tanpa tekanan dari siapa pun.
“Harus ada kajian sosial yang mendalam sebelumnya, bahkan jika dalam kajian awal terdapat indikasi yang menabrak wilayah kelola masyarakat adat, harus segera di-enklave dan dilakukan mitigasi sosial masyarakat adat secara khusus,” tegasnya.
“Melakukan konsultasi mendalam ‘tanpa tekanan’ pada masyarakat yang bersangkutan. Keputusan menggusur atau tidak menggusur juga harus melewati proses transparan,” tambahnya.
Sri menegaskan masyarakat yang terdampak perlu mendapatkan informasi yang akurat dan transparan terkait dengan ganti rugi atau ganti untungnya. Termasuk lokasi relokasi dan kondisi tempat barunya.
“Bagaimana keadaan tempat baru, apakah memerlukan biaya-biaya tambahan, bagaimana kalau timbul kerugian-kerugian atau lokasi baru tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan sebagainya. Semuanya harus clear di awal, untuk memastikan masyarakat tidak dirugikan,” tegasnya.
“Yang harus dicatat, hitung-hitungannya tidak melulu ekonomi, sosial, dan ekologis saja. Psikologis juga harus diperhitungkan dan diinformasikan di depan. Prinsip-prinsip FPIC ini sudah sangat dilanggar dalam kasus penggusuran-penggusuran di Sepaku,” tambahnya.
Dalam kasus-kasus penggusuran yang melanggar FPIC, Sri menjelaskan posisi perempuan pasti menjadi salah satu kelompok rentan yang paling dirugikan.
Suara perempuan menurutnya sangat jarang diperhitungkan dalam pertemuan-pertemuan yang diklaim sebagai dialog antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan.
“Seringkali perempuan hanya undangan pelengkap, bahkan banyak kasus perempuan tidak diundang atau tidak terwakili. Akhirnya, bahkan di situasi dialog yang hanya menggugurkan formalitas, suara perempuan tetap tak terdengar,” tegasnya.
“Jika penggusuran terjadi dengan modus-modus yang sama seperti di Sepaku dan sekitarnya, perempuan pasti akan terpinggirkan dari ruang hidup sebagai pekerja yang bergantung pada kemurahan alam. Kemandirian perempuan atau keluarga akan tergadaikan demi ibukota, sehingga mereka akan semakin rentan dan bergantung pada bantuan pemerintah, yang membuat posisi mereka semakin tidak memiliki nilai tawar di hadapan pemerintah dan korporasi,” paparnya.
Tidak boleh ada yang terpinggirkan dari pembangunan
Sementara itu, di tempat yang berbeda, Pj Bupati PPU, Muhammad Zainal Arifin, menanggapi hal tersebut. Ia tak menampik bahwa penurunan tangkapan bahan baku udang papai yang dialami warga cukup signifikan, dari 4 karung menjadi setengah karung saja.
Zainal juga memahami bahwa setiap pembangunan pasti memiliki imbasnya secara ekonomi. Ia mencontohkan misalnya dalam hal pembangunan Bandara VVIP untuk IKN kali ini.
“Ya, yang jelas begini, memang bagian dari pembangunan itu pasti ada trade-off-nya. Misalnya, dari lokasi yang kemudian menjadi lahan pembangunan Bandara VVIP ini,” ungkapnya.
“Nah, di samping itu juga mesti sarana-sarana pendukungnya, seperti pembangunan jalan dan sebagainya, pasti akan memberikan efek terhadap produktivitas. Samalah seperti pengembangan pelabuhan di mangrove dan lain sebagainya, itu kan pasti memberikan efek. Ini perlu kita pelajari ke depan ya,” tambahnya.
Sehingga, Zainal belum bisa memberikan pernyataan terkait apa yang akan dilakukan ke depannya. Pihaknya perlu mempelajari lebih lanjut terkait dengan penurunan hasil tangkapan Udang Papai tersebut.
“Saya belum bisa memberikan pernyataan apa yang akan kita lakukan terhadap mereka Tapi yang jelas perlu kita pelajari ya, artinya tidak boleh ada yang terpinggirkan dari pembangunan,” tegasnya.
Apalagi, menurut Zainal, penghasil terasi tersebut merupakan salah satu olahan yang dibanggakan di PPU. Ia memastikan terasi tidak akan tersingkirkan akibat pembangunan infrastruktur besar tersebut.
“Saya sudah dapat contohnya kemarin, kalau terasinya. Terasi balok yang merah. Dapat contohnya, dan memang itu katanya andalan di sini. Juga sudah diekspor ke luar daerah. Itu mungkin bisa jadi salah satu keunggulan lokal,” tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Sekretaris Daerah Pemkab PPU, Tohar yang menyebut perubahan Teluk Balikpapan terjadi cukup signifikan. Wujudnya sekarang kurang lebih mirip seperti Sungai Mahakam, warnanya menggelap.
“Gelap itu bukan karena awan ya, berapa puluh tongkang batu bara itu rapat melintas di Teluk Balikpapan. Ini juga sudah banyak dikeluhkan warga, ditambah pembangunan infrastruktur tengah berlangsung, baik jembatan, pelabuhan, dan tol. Tapi itu juga mekanisme dan proses perkembangan ekonomi regional Kalimantan Timur,” jelasnya.
“Ya, kawan-kawan atau masyarakat kita harus tampil. Unjuk gigi lah. Kaitannya dengan kekuatan potensialnya di sana. Kami juga sudah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat atau Bank Tanah terkait dampak-dampak ini,” paparnya.
Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten PPU, Safwana, mengatakan beberapa perusahaan kontraktor di Bandara VVIP telah memberikan retribusinya, seperti PT AK yang memberikan retribusi atas penggunaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Buluming untuk pembuangan sampah konstruksinya.
“Ya, itu saya tidak berani berkomentar. Kami kan berkaitan dengan lingkungan hidupnya. Itu mungkin aja yang terjadi, ya, tapi saya tidak berani memastikan itu apakah karena perkara itu (pembangunan Bandara VVIP) atau karena hal lain, gitu ya,” ungkapnya.
Safwana mengatakan pihaknya hanya berfokus pada permasalahan sampahnya saja. Sedangkan perihal limbah akibat pembangunan yang mencemari area Teluk Balikpapan, pihaknya perlu melakukan pengecekan kembali.
“Kita harus pastikan apakah misalnya, apa namanya, itu kan ada izin-izin amdalnya, segala macam, kan, gitu. Kami belum pernah mengecek ke sana. Kami akan lakukan monitoring ke perusahaan, kita ingatkan apakah memang melanggar izin lingkungannya. Kalau melanggar, kan, kita panggil,” tutupnya.
Tanggung jawab legislatif?
Sujiati (52), satu-satunya perempuan yang menjadi anggota legislatif dari total 25 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten PPU, turut prihatin terhadap keadaan perempuan di Kelurahan Jenebora.
Bagi Sujiati, dengan adanya IKN, masyarakat di sekitar pembangunan mengalami berbagai tantangan berat sekaligus berkah. Terutama untuk perempuan pesisir yang hidup dari mengolah hasil tangkapan suaminya.
Menurutnya, perempuan pesisir harus terus melakukan inovasi dari hasil olahannya. Tak hanya menjual ikan asin, mengeringkan udang papai atau bahkan terasi lalu dijual tanpa kemasan yang menarik.
Perempuan pesisir harus mampu memperbaharui produknya agar dapat dinikmati oleh semua orang. “Baik melalui pembaruan kemasan maupun melalui proses produksinya yang diperbarui dengan lebih bersih. Saya pikir itu justru bisa menghasilkan keuntungan,” paparnya saat ditemui di gedung DPRD PPU.
Bahkan, menurutnya, untuk udang papai, jika proses penjemurannya baik dan dikemas dengan rapi, produk tersebut akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Terlebih lagi, kelurahan tersebut sangat dekat dengan IKN, sehingga dapat mendukung kebutuhan pangan masyarakat di IKN.
Saat disinggung mengenai penggusuran, Sujiati, yang merupakan politisi dari Partai Gerindra, meyakini bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak akan bertindak sekejam itu.
“Tapi saya pikir, ya mudah-mudahan lah, Pak Presiden kita ini mendengarkan hati nurani rakyatnya. Saya rasa pemerintah tidak akan menggusur begitu saja tanpa solusi. Jika terjadi penggusuran, pasti ada solusi mengenai penempatan warga dan bagaimana kelangsungan hidup mereka. Insya Allah, pemerintah akan mempertimbangkan hal itu, dan kami, sebagai wakil rakyat, juga akan memperjuangkannya,” paparnya.
“Nanti pun saya akan menyampaikan aspirasi masyarakat. Tidak mungkin kami membiarkan warga dalam kondisi seperti itu, iya kan? Kita tetap akan bersuara. Bagaimana caranya agar masyarakat kita tidak tergusur begitu saja? Saya pikir pemerintah juga tidak akan bertindak sekejam itu,” paparnya.
Selain itu Sujiati juga menekankan bahwa wakil rakyat yang berasal dari daerah pemilihan Kecamatan Sepaku harus bertanggung jawab atas nasib perempuan pesisir di Kelurahan Jenebora.
Para wakil rakyat dari wilayah tersebut, menurut dia, seharusnya dapat mengadakan berbagai program pembinaan dan pelatihan serta membentuk kelompok-kelompok potensial untuk membantu meningkatkan perekonomian masyarakat.
“Intinya, kita harus membekali mereka dengan ilmu. Setelah itu, kita berikan modal. Kita bisa, kok, memberikan modal kepada mereka, baik melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dinas sosial, maupun Dinas Pertanian dan Dinas Perikanan yang memiliki program pengelolaan. Kita bisa mencari solusi untuk menyediakan modal itu,” terangnya.
Ia menyontohkan bagaimana dirinya membentuk kelompok pengolah dan pemasar hasil perikanan (Poklahsar) perempuan pesisir di dapilnya, yaitu Kecamatan Waru dan Babulu. Salah satunya terkait dengan peningkatan produk olahan laut.
“Contohnya, saya sudah membina satu poklahsar perempuan pesisir. Alhamdulillah, kemarin sudah saya support. Mereka untuk pembuatan amplang, mulai dari kompornya, spinnya, hingga pressnya. Kan sudah punya modal tuh,” paparnya.
Terkait kondisi demokrasi di Indonesia yang menempatkan tanggung jawab wakil rakyat tergantung pada daerah pemilihannya, Dosen Sosiologi Universitas Mulawarman, Sri Murlianti menjelaskan bahwa hal ini mencerminkan sempitnya demokrasi yang ada.
Seharusnya, demokrasi yang dibangun harus lebih egaliter, namun kenyataannya malah semakin bersifat primordial.
Sri menjelaskan bahwa wakil rakyat yang telah terpilih dari daerah pemilihan manapun seharusnya menjadi wakil seluruh bangsa.
Oleh karena itu, setiap wakil rakyat perlu merumuskan persoalan-persoalan bangsa yang krusial, bukan hanya fokus pada daerah pemilihannya saja.
“Kemajuan suatu daerah adalah tanggung jawab bersama, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Semuanya harus memastikan peran serta dalam memajukan daerahnya. Karena selama ini, pembangunan kita selalu bersifat top down dan sangat kurang memperhitungkan partisipasi aktif masyarakat. Hal ini menyebabkan pandangan seperti ini dominan di kalangan masyarakat akar rumput,” tegasnya.
Begitu pula dengan kepemimpinan baru Presiden RI, Prabowo Subianto, dan kontestasi pilkada serentak 2024 yang baru saja digelar. Sri memandang belum ada perubahan signifikan, meskipun terdapat perbedaan prioritas dan paradigma kepemimpinan yang diusung Prabowo Subianto.
Namun, tidak terlihat adanya perbedaan yang berarti dan hanya meneruskan kesalahan yang telah terjadi. Tidak ada indikasi koreksi terhadap pembangunan IKN.
“Nasib perempuan pesisir dan warga sekitar akan tetap terpinggirkan jika tidak ada inisiatif perlawanan yang kuat dan terorganisir,” tandasnya.
Liputan ini merupakan bagian dari kegiatan fellowship yang diselenggarakan oleh Konde.co
Penulis: Nelly Agustina
Editor : Nicha R