Dalam buku Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsinuksmo telah dijelaskan secara tuntas bagaimana Tata Etika Masyarakat Pelestari Keris, namun dalam tulisan ini ada sedikit perubahan yang tidak mengurangi esensinya tapi memperkaya isi dari tulisan tersebut. Sehingga pembahasannya semakin komprehensif dan lengkap serta bermanfaat bagi masyarakat baik yang sudah melestarikan keris maupun yang masih belum berminat melestarikan karya budaya adiluhung tersebut.
Pembahasan Kerisologi yang sudah ditayangkan secara bersambung oleh mediakaltim beberapa waktu yang lalu, telah disinggung bahwa budaya keris bermula dari Keraton yang merupakan Pusat Budaya, kemudian diikuti oleh masyarakat sekitar yang tidak bersentuhan langsung dengan Keraton. Dahulu hanya kerabat raja, pejabat istana dan pejabat diluar istana yang secara struktur berada dibawah istana serta abdi dalem yang memiliki keris. Sehingga saat ada Kegiatan Resmi di Keraton akan terlihat status seseorang dari tata busana serta keris dan atribut yang dimilikinya. Di luar acara resmi, biasanya pejabat yang lebih tinggi statusnya mempunyai keinginan melihat keris pejabat dibawahnya. Dari sinilah Tata Etika, Aturan, Norma, dan Kesopanan diperlihatkan yang kemudian berlaku umum hingga saat ini.
Paguyuban pelestari tosan aji harus menjadi wadah untuk melakukan edukasi baik Sejarah Keris, Esoteri dan Isoteri Keris, Perawatan Bilah Keris dan Tata Etika yang berlaku di Masyarakat Pelestari Keris. Sehingga apabila ada pertemuan antar Paguyuban, menerima undangan ke Keraton, atau bertemu dengan Pejabat Pemerintah yang paham Keris tidak menjadi sesuatu hal yang memalukan, karena tidak paham adab dan aturan yang berlaku di lingkungan Masyarakat Pelestari Keris.
Etika dalam perkerisan seringkali tidak sama penerapannya antara daerah yang satu dan daerah yang lain, namun pada garis besarnya pemberlakuan Tata Etika itu tetap berpegang pada niat dan usaha untuk tidak berbuat sesuatu yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman, salah pengertian, serta menghindari terjadinya dampak yang lebih besar misalnya ketidaksenangan, penghinaan maupun pelecehan.
Berikut adalah beberapa contoh Tata Etika pergaulan antar sesama pecinta tosan aji dan keris yang berlaku baik di Jawa, Madura, Bali, Lombok dan mungkin saja di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Mohon kepada sahabat yang dari Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera dapat saling berbagi, agar semakin lengkap materi dari tulisan ini.
- Etika Mengambil dan Mengembalikan Keris
Dalam suatu pertemuan atau sarasehan tosan aji yang melibatkan lebih dari dua orang penggemar keris, biasanya masing-masing orang meletakkan keris baik dimeja maupun di tikar/ambal/karpet apabila dilakukan secara lesehan. Keris yang diletakkan tersebut masih satu kesatuan dengan pemiliknya. Sehingga apabila ada seseorang yang ingin mengambil keris yang bukan miliknya, maka tata Etikanya harus minta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya. Setelah pemilik keris tersebut memberi isyarat memberi izin, maka seseorang dapat mengambil keris tersebut. Mengambil keris tanpa minta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya akan menyinggung perasaan pemilik keris tersebut, seolah-olah kita mengabaikan pemilik keris tersebut, karena keris dengan pemiliknya merupakan satu kesatuan.
Mungkin saat mengambil keris diatas, kita hanya sekedar mengamati keris dari warangkanya saja, tidak sampai melihat isinya. Karena apabila kita memiliki niat untuk melihat isi keris dari warangkanya juga ada aturannya, yang akan dibahas di point berikutnya. Lalu saat mengembalikan keris tersebut ketempat semula, usahakan untuk mengucapkan terima kasih kepada pemilik keris tersebut, sehingga pemilik keris tersebut merasa dihargai.
- Etika mengeluarkan Keris dari Warangka
Melanjutkan dari point 1 diatas, apabila kita punya keinginan untuk melihat isi, maka yang harus kita lakukan adalah minta izin untuk melihat isi keris tersebut kepada pemiliknya, setelah mendapat persetujuan dari pemiliknya maka kita dapat memulai mengeluarkan keris dari warangkanya. Tata cara mengeluarkan bila keris dari warangkanya, tangan kiri memegang gandar menghadap keatas, tangan kanan memegang hulu (ukiran) keris. Tekan jempol tangan kanan pada tampingan warangka, setelah keris keluar kira-kira 1-2 cm tariklah warangka keris tersebut keatas.
Yang perlu diingat, sesi mengeluarkan keris dari warangka adalah dengan menggerakan jempol tangan kanan lalu menggerakan warangka keatas, bukan menggerakan (menarik) bilah keris kebawah. Di masyarakat Pelestari Keris, dikenal ada dua istilah yang pertama Ngunus yaitu mencabut bilah keris dari warangkanya dan yang kedua adalah Ngololos yaitu menarik warangka keatas dan bilah kerisnya masih tetap diam tak bergerak.
Setelah warangka ditarik keatas, maka letakanlah warangka pada tempat yang aman misalnya diatas meja atau diatas karpet apabila lesehan. Lalu angkat bilah keris di dekat kening atau di dekat telinga kanan sekitar satu atau dua detik, untuk menghormati mpu yang telah membuat keris dan sekaligus menghargai pemilik keris yang ada ditempat itu.
Sesudah gerak penghormatan selesai dilakukan, kita dapat mengamati dan mengagumi bilah keris. Selama memegang keris, ujung bilah harus selalu menghadap keatas. Namun apabila ingin melihat detil pamornya, maka letakkanlah ujung bilah keris pada kuku jari jempol tangan kiri yang bergungsi sebagai landasan agar mudah dipertahankan posisinya.
Yang harus dihindari saat mengamati bilah keris adalah memegang bilah keris tersebut dengan jari tangan, karena bisa saja jari kita sebelumnya memegang benda lain dan juga terkena keringat. Kandungan zat garam pada jari yang keringat, apabila disentuhkan pada bilah akibatnya bilah keris tersebut mudah berkarat. Kegiatan meninting (menjentik) bilah dengan menggunakan kuku jari, guna mendengar suara denting bilah keris juga sebaiknya dihindari. (Bersambung)
Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara (Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)