Oleh: Muhammad Riyan Adi Saputra
Ketua Bidang Pembangunan Demokrasi, Politik dan Pemerintahan HMI Cabang Samarinda
PEMERINTAH memiliki fungsi yang vital dalam penyelenggaraan negara, yakni untuk menjaga stabilitas bermasyarakat, membuat kebijakan yang menyejahterakan rakyat serta mengakomodir masyarakat agar semuanya dapat berjalan tertib. Oleh karena itu, adanya pemerintahan yang berdaulat merupakan salah satu syarat mutlak dalam mendirikan sebuah negara.
Hal ini ditandai pula dengan adanya pemerintahan daerah yakni provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk melaksanakan tujuan negara yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan di dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah merupakan bentuk implementasi dalam mewujudkan kesejahteraan dan pencerdasan kepada masyarakat.
Periode dari pemerintahan Presiden Jokowi akan berakhir pada bulan Oktober nanti, sehingga masyarakat Indonesia sedang berada di masa transisi antara pemerintahan Presiden Jokowi dengan Presiden Prabowo Subianto yang merupakan Presiden baru yang terpilih.
Namun, masa transisi ini nampaknya menjadi satu hal kelam yang dihadapi oleh masyarakat, di masa injury time ini pemerintah membuat beberapa kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat, di antaranya adalah kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan kenaikan UKT yang merupakan suatu kebijakan komersialisasi dan kapitalisme di dunia pendidikan.
Meskipun realisasinya ditunda di tahun depan tetapi ketika kebijakan ini dioperasikan maka akan berdampak pelik terhadap masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Belum lagi kebebasan berdemokrasi yang terus dibatasi dengan makin maraknya kasus-kasus kriminalisasi terhadap aktivis yang mencoba untuk mengaspirasikan kepentingan masyarakat.
Jelas ini telah bertentangan dengan tujuan negara yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
TAPERA
Mengacu kepada rencana pemerintah melaksanakan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat, di mana mewajibkan seluruh pegawai, baik PNS maupun swasta serta pekerja mandiri untuk menjadi peserta Tapera.
Hal tersebut ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024. Melalui kebijakan ini pemerintah membentuk “kolam pendanaan” yang berasal dari iuran pekerja, seluruh pekerja wajib menyetor 2,5 persen pendapatan mereka yang katanya akan dipakai untuk membiayai penyediaan rumah bagi masyarakat dengan pendapatan perkapita rendah.
Melihat skema tersebut, Tapera tak ada bedanya dengan sistem tabung paksa bertopeng asuransi sosial. Skema ini merupakan penindasan gaya baru yang tidak sesuai dengan kaidah keadilan sosial. Sebab, anggaran negara yang mengucur lewat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bisa dihentikan ketika Tapera telah direalisasikan secara penuh.
Artinya melalui kebijakan ini, Jokowi berupaya menghapus anggaran penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah dari daftar belanja pemerintah secara bertahap, sehingga muncul kekhawatiran lain bahwa anggaran FLPP akan dialihkan ke pos belanja lain.
Padahal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menyatakan bahwa negara bertanggung jawab menyediakan rumah yang layak bagi masyarakat. Sehingga kebijakan Tapera ini sama saja dengan melemparkan kewajiban pemerintah dalam memenuhi penyediaan rumah kepada rakyat.
Kebijakan ini memberikan celah baru bagi oknum pemerintah untuk melakukan korupsi dengan modus rekayasa keuangan hingga main-main dengan penempatan dana investasi yang sangat berpotensi dana ini akan ditilap, jika hal ini terjadi maka harapan masyarakat untuk memiliki rumahpun telah buyar sebab pendapatan yang selama ini dikucurkan malah masuk ke kantong-kantong haram.
Komersialisasi Pendidikan berupa Kenaikan UKT
Pendidikan merupakan sektor yang sangat vital bagi kemajuan peradaban di suatu bangsa, oleh sebab itu pemerintah yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagai pemegang kontrol kebijakan pendidikan di Indonesia perlu mencari solusi terbaik dalam memajukan sektor pendidikan Indonesia yang semakin tertinggal.
Namun, sektor pendidikan di Indonesia sering bermasalah dengan ditandai mulai diterapkannya kebijakan pendidikan yang berorientasi komersial.
Praktek komersialisasi pendidikan yang semakin terlihat kental ini akan membawa masa depan pendidikan di negara ini semakin dikuasai oleh kepentingan pasar dan kapitalisme.
Wacana kenaikan UKT di perguruan tinggi menjadi permasalahan yang sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Dengan kata lain ketika kebijakan ini direalisasi maka akan menghalangi masyarakat untuk memperoleh akses pendidikan, status quo menunjukkan bahwa persentase masyarakat yang mengenyam bangku perguruan tinggi sangatlah rendah yakni hanya sebesar 10 persen.
Bayangkan ketika biaya tersebut dinaikkan, bagaimana nasib intelektual bangsa ini.
Sebagai bentuk studi komparasi negara dalam tata kelola pendidikan, mari kita lihat negara seperti Kuba, China, Finlandia, Singapura dan beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan pendidikan gratis untuk mengakomodir hak masyarakatnya dalam memperoleh pendidikan yang layak sebagai bentuk pemerataan bagi rakyatnya dalam mengenyam pendidikan.
Seharusnya Indonesia perlu meniru hal tersebut bukan malah membuat kebijakan komersialisasi yang mengenyangkan para elit serta membuat rakyat semakin bodoh dan tertinggal.
Kemunduran Demokrasi melalui Kriminalisasi Aktivis Mahasiswa
Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem demokrasi, seharusnya menjamin hak warga negaranya dalam kebebasan berpendapat.
Hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam konstitusi negara kita yakni pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Sehingga pemerintah seharusnya menjadi tameng pelindung hak kebebasan berpendapat warga negara, sebab berjalannya roda pemerintahan berada dalam kontrol yang nyata dari masyarakat khususnya mahasiswa sebagai lidah penyambung masyarakat.
Akan tetapi belakangan ini kasus menganai tindakan kriminalisasi dan represifitas aparat terhadap mahasiswa aktivis semakin marak terjadi. Padahal para aktivis ini berjuang untuk isu-isu penting seperti HAM, lingkungan, keadilan dan kesejahteraan sosial malah mendapatkan perilaku intervensi bahkan penganiayaan, dan lebih parahnya dicap sebagai kriminal yang berujung terhadap pengurungan di jeruji besi.
Salah satu aktivis yang mendapatkan pil pahit ini adalah Akbar Idris yang merupakan salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dinyatakan sebagai terpidana atas tuduhan pencemaran nama baik Bupati Bulukumba, Andi Muchtar Ali Yusuf. Padahal yang bersangkutan hanya berupaya untuk menyuarakan aspirasi dari masyarakat malah berujung pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Jika tindakan kriminalisasi ini terus dibenarkan dengan dalih ketertiban justru yang terjadi adalah penurunan kualitas demokrasi.
Sangat ironi ketika para pejabat yang selalu berkoar-koar mengenai status Indonesia sebagai negara demokrasi justru kesucian demokrasi tersebut dilecehkan oleh para pejabat itu sendiri, sehingga seluruh lapisan masyarakat perlu mengecam segala bentuk pelecehan demokrasi dan pembatasan terhadap penyampaian aspirasi di muka umum demi mewujudkan demokrasi yang sehat di Indonesia. (*)