spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tak Cukup Hanya Cantik, Tapi Segudang Sabar dan Syukur

Oleh Muthi’ Masfu’ah
Cerita Bersambung Ke-4

“Cukup dua cerpen saya ya Novian.”

“Ihh Mba, kalau yang lain saja, Mba mau mengeditkan bahkan sampai lebih dari tiga cerpen, satu buku sekalipun, giliran aku saja…” pinta Novian, sohibku sejak kuliah dulu, beberapa tingkat di bawahku.

Hmmm, aku menghela nafas. Candanya kadang berlebihan, aku tak merasa nyaman, bathinku. Tapi entah bagaimana mau menyampaikannya. Lagi-lagi aku selalu gak enak menolak hati atau menyampaikan yang sebenarnya. Paling aku diam, merespon seperlunya. Aku tak suka memberi angin pada siapapun, jika hatiku memang belum terbuka untuk itu. Entahah…

Aku mulai membaca cerpennya… Menjadi editor atau trainer, seperti inilah resikonya ya. Ambil hikmahnya sajalah dan aku mulai mengeja setiap kata dalam cerpennya…

Angin membawa hawa panas masih terasa menari-nari di sekitarku. Yap, musim panas akan segera berakhir tergantikan oleh musim hujan, begitu cepatnya pergantian musim berlalu, sama halnya waktu yang menggilas hari begitu cepatnya. Tapi entah dengan hatiku… Masih saja tertuju pada satu wanita yang sudah lama memutuskan untuk pergi, meninggalkan beribu serpihan rindu yang tak akan pernah sirna dalam bening hatiku.

Sudah hampir 1  tahun berlalu sejak perpisahanku dengan Putri, tapi tak ada yang berbeda dengan hari-hari yang kulalui. Hatiku masih saja dipenuhi rindu untuk wanita yang sudah melambungkanku setinggi-tingginya menyentuh langit karena  mau mendengar rasaku… tapi juga mengempaskanku pada jurang tercuram, saat ia menghilang begitu saja dari pandanganku.

Aku sudah berusaha untuk mengusir namanya, sekedar namanya… tapi itupun aku tak mampu, kelebatan cerita, diskusi dan cerita tawa kita tetap saja menari-nari dalam ingatan kepalaku… bahkan hatiku terlalu erat menggenggam namanya juga kelebatan cerita-cerita itu. Ia berbeda… Ia memang berbeda… Walau di luar sana ada puluhan bahkan ribuan bunga yang wangi membawa warna baru  yang berusaha menjadikanku kumbang untuk memilihnya. Yap, cantik itu relatif dan tak cukup. Nilai rasa yang tak bisa dibandingkan apapun. Walau cantik gemulai, tapi tidak nyambung untuk berdiskusi apapun, menjadi datar hidup rasanya. Cantik, putih dan fisik aduhai, tapi kalau seringnya mengeluh dan tak pandai menjaga lisan, untuk apa… Lagi-lagi kelebatan wajah….. suara renyah Putri membawaku… rindu yang membuncah…. Terlalu rindu… Bahkan kadang dengan mata berkaca… padahal aku laki-laki… Tak salah, aku rindu…

Beberapa bulan lalu, kami membuka usaha bersama kuliner bersama Putri. Mengasyikkan belajar dagang bersamanya… tapi begitu usaha kuliner itu mulai maju… Putri pergi begitu saja… Duh… Awalnya, aku sempat berpikiran negatif tentangnya, bergesernya waktu… Aku mulai merenung, mungkin ia tak nyaman denganku… Tak mampu menyampaikan, ia memilih pergi… mungkin, teka-teki itu belum terkuak hingga saat ini…

Perpisahanku dengan Putri bukan hanya membuatku kehilangan sahabat berdiskusi yang tepat… bahkan ia kekasih bagiku, walau ia tidak pernah menjawab langsung akan rasaku… tapi biarlah tak penting, asal ia selalu dekat dengan ku… tapi hidupku masih datar saat ini…  bak kehilangan sahabat sejati  yang hebat dan motivasiku untuk terus memacuku untuk maju. Tak semua orang bisa seperti Putri. Dan aku… sangat menyayanginya…

Andai Putri tahu, bahwa kini omsetku yang dulunya selalu mencapai target bahkan bisa melebihi, perlahan mulai menurun. Rekan kerja penganti Putri begitu berbeda dengannya, wanita ayu, berkulit putih itu terlalu menuntut banyak hal dan memusingkan kepalaku..  Membuatku tak nyaman…….

Hmmm… Kok ceritanya malah mengarah ke aku, sih… hatiku menolak untuk terus membaca cerpennya. Novian selalu begitu, rasa yang ia tuangkan dalam cerpennya terbaca olehku… Ia selalu menjebakku untuk mengedit karyanya, agar aku bisa membaca hatinya… Tapi aku tak nyaman… Aku pending dulu cerpennya, walau akupun sangat menghargai apa yang ia sampaikan dalam bait cerpennya.

Aku belum bisa mengangkat ponselku yang berbunyi…. Novian Sohib… Aku diamkan suara itu terus memanggil… Sampai ia berhenti, mungkin ponsel itu lelah memanggilku… Tak hanya seperti hari ini…

Maafkan Novian, cukup aku sebagai kakak yang hanya mengedit naskahmu… bukan yang lain. Tegasku dalam hati… Hatiku belum merasa satu freakwensi denganmu. Maafkan aku.

Aku menghela nafas lagi… Aku memandang siang yang makin menyengat… Aku jadi teringat… Tentang cinta yang belum aku temukan… cinta sejati itu… Walau Ayah kadang memaksaku untuk segera memilih…

Tentang kisah Adam dan Hawa, kita belajar bahwa ujian cinta adalah jarak dan rindu. Dari kisah Ibrahim dan Hajar, kita belajar bahwa keikhlasan hati akan mengantarkan kita pada cinta sejati.

Jadi kisah Ayub dan Ramlah, kita belajar bahwa model terbesar yang menyatukan adalah kesetiaan.

Dari kisah Yusuf dan Zulaiha, kita belajar bahwa mencintai sang pencipta akan menanggalkan nafsu terhadap rupa.

Dari kisah Muhammad dan Khadijah, kita belajar bahwa cinta adalah kesetiaaan dan kesediaan berkorban, kesediaan mempercayai di saat ada orang satupun yang sudah dipercaya.

Dari kisah Ali dan Fatimah, kita belajar bahwa tidak ada balasan yang lebih menyenangkan selain kabar baik dari letihnya menunggu.

Aku yakin suatu saat nanti, aku akan dipertemukan oleh-Nya.

Tiba-tiba pesan masuk…

Salam.. Semoga sehat selalu hari ini..

Ya, alhamdulillah… Doa yang sama untuk mas. Terima kasih sudah menyapa hari ini.

Maaf kesiangan baru kasih kabar ya. Baru nyampe kantor.

Gak apa Mas…

Kalau Mas yang menyapa, selalu ada yang gak wajar mengganggu bening hatiku… Mas yang sabar ini, bahasanya memang santun… beda dengan kebanyakan… aku berusaha mengalihkan hati… Selalu ada rasa bahagia, tenang saat Mas menyapa… Entah apa namanya.

Sudah aku email lagi lagi ya, naskah featurenya. Minta waktunya membaca ya.

Oh iya, Mas. Aku baca sekarang. Nanti aku email balik setelah selesai ya.

Iya terima kasih, jaga kesehatannya ya.

Eh, iya terima kasih juga sebaliknya untuk Mas ya. Sudah ya… Uty baca dulu…

Buru-buru aku tutup sapaan ini, aku khawatir…. khawatir berlanjut… Aku tak mampu menolak… Khawatirnya… Harusnya tidak usah berkutat dengan masalah rasa, karena pekerjaan dan PR yang lain juga masih banyak… tapi kita hanya manusia… Aku berusaha melawan rasa.

Aku membuka email Mas… Mulai membaca dan mengedit langsung naskahnya…

MAKNA KEJUJURAN DARI ORANGTUAKU

Banyak kisah hidup yang dapat aku petik hikmahnya dari perjalanan orang tuaku dalam mengarungi kehidupan. Tentang kejujuran, salah satunya.

Aku memiliki seorang ibu yang sangat luar biasa pekerja keras yang memiliki kejujuran yang sangat luar biasa. Ibuku berjualan di pasar sejak pukul 03.00 subuh sudah berjalan kaki menuju pasar yang memakan waktu 10-15 menit sampai ke pasar tersebut, hingga sore hari baru pulang dari pasar. Pekerjaan berjualan di pasar adalah pekerjaan yang rutin ibu lakukan sejak kami masih kecil hingga sampai sekarang kurang lebih belasan tahun lamanya ia lakukan.

Sedangkan ayahku adalah seorang pedagang bakso keliling di kampung. Ayah juga menekankan tentang kejujuran dalam berbagai hal dalam mengarungi kehidupan ini. Ayah berjualan setelah shalat ashar hingga malam sekitar pukul 23.00 atau 24.00. Berdagang seperti ini keliling kampung ayah  lakukan dengan sangat gigih tanpa mengeluh.

Tidak terbayang olehku, saat ia tak terlalu sehat tetap berjualan keliling demi kami anak-anaknya. Tak dapat aku bayangkan pula, bagaimana hujan tiba di malam hari, saat ayah masih berjualan bakso keliling. Tentu dingin dan kebasahan… Mataku berkaca, bagaimana ayah berjuang sungguh-sungguh untuk kami semua. Hampir tak pernah mendengar keluhannya, sepanjang usiaku.

Pantang mengeluh dan satu hal penting ditanamkan tentang kejujuran ketika berdagang dan menjalani kehidupan. Karena memang dengan modal pantang mengeluh kita akan menjadi pribadi yang tak mudah putus asa dan selalu yakin bisa meraih apapun. Dan modal kejujuran pun maka kita akan mudah dipercaya oleh konsumen atau pelanggan.

Bila aku merenungi lagi dari pelajaran hidup orang tua bahwa banyak hal yang bisa kita petik lagi ketika orangtuaku mengajarkan pantang mengeluh dan kejujuran tersebut. Menanamkan sifat jujur seperti yang selalu ibu dan bapak ajarkan, dalam kehidupan sehari-hari, kita akan mendapat kepercayaan dan simpati dari orang lain, hidupnya akan tenang, disenangi orang lain.

Selain itu kita mendapatkan cinta kasih dan keridhoan Allah SWT, mendapatkan bimbingan Allah SWT dalam amal perbuatannya, tak hanya itu juga diampuni dosa-dosanya serta dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah SWT juga mendapat tempat mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Kalimat-kalimat kebaikan itu yang selalu orangtuaku sampaikan, yang selalu kita ingat.

Yap memang kita fahami di era globalisasi yang semakin berkembang juga meluas, tentu apa pun bisa berubah dengan cepat karena tidak adanya batasan ruang dan waktu. Nilai-nilai kehidupan juga ikut berubah. Perilaku budi pekerti, akhlak, serta  moral tidak menjadi perhatian setiap manusia karena nilai yang dianggap sebagai landasan perilaku juga mudah berubah, salah satunya adalah sikap jujur. Manfaat jujur tentu memiliki dampak yang baik untuk diri sendiri, salah satunya meningkatkan rasa percaya diri, seperti yang orangtuaku contohkan dan mereka katakan kepada kami anak-anaknya.

Tidak heran di tengah kehidupan yang tinggi tingkat persaingannya ini sikap jujur menjadi hal langka dari diri seseorang. Penipuan terjadi di mana-mana, orang-orang juga menganggap kebohongan adalah hal lumrah. Tentu sikap seperti ini sangat disayangkan, karena tidak semua orang memiliki karakter demikian. Manfaat jujur sangat penting dan perlu untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kejujuran perlu ditanamkan pada diri sendiri, juga menularkan perilaku tersebut kepada anak-anak kita atau orang-orang yang ada di sekeliling kita. Karena hal itu, kita bisa mendapatkan manfaat yang baik. Salah satu manfaat jujur selain rasa percaya diri, kamu dapat dipercaya oleh orang lain. Baik dalam lingkup keluarga, pekerjaan hingga lingkungan sosial, seperti yang telah dilakukan oleh kedua orangtuaku yang sangat membekas dalam kehidupanku.

Sudah lumayan baik naskahnya ditambah editanku… Masyaallah luar biasanya perjuangan orangtua Mas dalam mengarungi kehidupan yang tidak mudah ini. Tapi optimis dan yakin bisa membawa kita pada keberhasilan yang tanpa kita duga.

Aku mengirimkan naskah yang sudah diedit dan memberikan sedikit arahan untuk Mas. Sambil menunggu kiriman naskah lainnya darinya.

Dalam juga naskah dan cerita orangtua Mas. Memang kita harus tenang dan yakin dalam setiap apapun yang kita kerjakan.  Kita punya banyak harapan ,bukankah Allah telah menegakkan langit tanpa tiang, lantas kenapa terkadang kita menundukkan kepala, tidak yakin ? Dan mengapa bermuka masam seolah tidak ada lagi tempat untuk berharap untuk kemudahan hidup kita?

Mungkin kita kurang lama bersujud, dihadapanNya adalah pemilik segala kuasa. Bahkan sesuatu yang kata orang bakal mustahil, bagiNya adalah hal yang biasa cukup berkata, “Kun fayakun.”

Aku menghela nafas… tiba-tiba pesan berbunyi ponselku… dari ayah…

Aku membuka pesan ayah, aku tersenyum… Ayah mengingatkanku agar tidak telat makan, khawatir sakit maaqku kambuh lagi.

Ayah, betapa sabarnya, ia memilih hidup sendiri… tiba-tiba aku jadi ingat Bunda Inara dalam cerpen Bunda Tias… juga Tanti putri cantiknya…

Ingat pesan ayah, ketika aku memintanya menikah lagi, setelah ibu wafat dan bertahun-tahun memilih memelihara dan membesarkanku sejak kecil, seorang diri.

“Janganlah pernah kau tinggalkan perempuan yang sangat sayang kepadamu. Apalagi yang sudah banyak meluangkan waktu untukmu. Sebab jika kamu pergi, kamu tidak akan menemukan lagi perempuan yang sangat sayang, setia dan sangat perhatian padamu. Dan Ayah hanya menemukan sosok itu pada Ibu…” mata ayah berkaca… aku tak kuat menatap bola matanya yang mulai menua itu… Yang setia menemaniku, mengajariku dengan sabar tentang banyak hal…

Ayah, aku akan menikah dengan sosok yang serupa dengan ayah… dengan segudang sabar bdan selembut sayangnya padaku… Allah… aku merasakan buliran hangat jatuh di pipiku siang ini…

Pada akhirnya apa yang selama ini kita anggap beban kehidupan, justru akan menguatkan kita selama dalam perjalanan.

Di depan sana akan ada lebih banyak duri yang terinjak, ada yang lebih banyak tikungan, yang membuat kita harus berpikir lebih matang.

Hari ini atas semua yang terjadi kita telah menjadi lebih bijak dari sebelumnya, menjadi lebih toleran dari hari kemarin, menjadi lebih pengertian dari pada hal-hal kecil yang kadang masih sering menyakiti perasaan semua. Yang saat ini kita jadinya adalah alur cerita terbaik yang telah Allah tuliskan… Bersyukurlah karena hari ini kita telah menjadi lebih baik dari sebelumnya lebih segalanya dari sebelumnya… Ya, aku bersyukur bertemu dengan sosok yang sabar dan dikelilingi orang yang sabar… yang mengajarkan mengeja jenak hikmah kehidupan… siang ini meski dengan mata berkaca, hatiku dipenuhi rasa syukur dan segudang doa untuk orang-orang yang mengajarkan makna sabar yang lapang… tanpa mereka harus tahu… (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti