Seseorang dengan tubuh yang berisi segera tersenyum menerima kedatangan reporter kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com. Sesuai janji temu pada Ahad, 3 Oktober 2021, lelaki berumur kepala empat tersebut bersedia memberikan kesaksian. Syarat yang diajukannya hanya satu, sebagai seseorang yang pemain tambang batu bara ilegal, identitasnya wajib dirahasiakan. kaltimkece.id telah memeriksa latar belakangnya. Pria ini benar-benar pernah terlibat di praktik tak resmi tersebut. Media ini mengabulkan permintaannya.
Di sebuah rumah makan di Samarinda, bekas pemain tambang ilegal ini panjang lebar membeberkan detail kegiatannya. Ia menyertakan dokumentasi kegiatan berikut laporan keuangan di sela-sela pembicaraan. Penuturan narasumber ini kaltimkece.id tuliskan menurut sudut pandang orang pertama. Hanya sebagian kecil dari kata demi kata yang keluar darinya yang diperbaiki; semata untuk memudahkan pembaca mengikuti alur pengakuannya. Berikut hasil wawancaranya.
SAYA seorang pengusaha kecil-kecilan yang pada awalnya hanya tahu sedikit-sedikit tentang tambang batu bara. Sampai suatu hari, awal tahun ini, seorang teman datang menemui saya. Dia memang pengusaha tambang. Dia bilang, ada informasi lahan yang bisa ditambang. Tapi tidak ada izin. “Tambang koridoran,” begitu dia bilang.
Jadi kami ke lokasi tersebut. Kami berlima naik mobil dua jam ke luar Samarinda. Betul ternyata, batu bara telah menganga seperti mau keluar dari tanah di lokasi itu. Kami periksa singkapannya. Ternyata batu baranya tidak dalam. Digali 2 meter sudah ketemu. Kualitasnya bagus, enam up (tingkat kalori di atas 6.000 kkal/kg). Pembelinya sudah ada. Kami berlima memutuskan menambang.
Yang pertama kami lakukan adalah mencari rental alat berat. Kami menyewa dua ekskavator tipe PC 200. Harga sewa satu unit Rp 320 ribu per jam sudah termasuk operatornya. Biaya mobilisasi alat berat Rp 10 juta per unit. Lebih detailnya, nanti bisa dilihat di laporan keuangan.
Setelah alat berat siap, kami mulai menggali. Luas lahannya cuma 2 hektare. Teknik menggalinya, kami sebut sistem lipat. Maksudnya, kami menggali tanah lalu cepat-cepat ditutup kembali. Sistem lipat ini cocok untuk lahan tambang yang tidak luas dengan kedalaman batu bara tidak sampai 10 meter. Cara buka tutup tanah seperti ini hemat biaya dan waktu. Jadi, berbeda dengan penggalian skala besar seperti perusahaan batu bara resmi.
Pertambangan seperti ini juga cocok karena kami harus bekerja cepat. Kami kucing-kucingan juga. Makanya yang diambil hanya batu bara di lapisan atas. Yang dalam-dalam tidak. Masalahnya, kalau lubang galian terlalu dalam, pasti susah menutupnya.
Begitu batu bara sudah di atas tanah, kami hubungi koordinator truk di wilayah tersebut. Memang ada koordinatornya. Mereka bisa siapkan belasan truk buat mengangkut batu bara ke jetty (dermaga tongkang). Satu truk itu bisa mengangkut 7 ton. Jarak hauling sekitar 10 kilometer.
Setelah sebulan menambang, kami dapat 5.000 ton batu bara. Jadi kira-kira ada 700 rit. Ongkos truk untuk hauling ini Rp 150 ribu per ton atau kira-kira Rp 1 juta untuk satu rit (7 ton batu bara). Biaya hauling ini sangat besar. Sampai 700-an juta rupiah untuk mengangkut 5.000 ton produksi tadi. Jadi kalau ditotal-total, modal untuk menambang 2 hektare itu hampir Rp 1 miliar. Buat bayar sewa alat berat, hauling, katering, dan gaji pekerja.
Nah, seraya batu bara tadi diangkut, kami mengurus administrasinya. Kalau pemain tambang biasanya bilang biaya koordinasi. Di sini banyak yang bermain. Saya tidak berani beberkan detailnya karena terlalu riskan. Yang jelas, tidak mungkin batu bara bisa keluar kalau tidak ada dokumennya, kalau tidak ada bukti pajaknya. Biaya untuk mengurus yang satu ini tidak tentu. Makanya, unsur hoki-nya juga tinggi. Termasuk hoki dengan cuaca. Kalau sering hujan, waktu menambang jadi panjang. Padahal, sewa alat berat itu ada argonya. Jalan terus.
Batu bara ini kami jual sampai naik di kapal. Harganya Rp 780 ribu per metrik ton (sekitar USD 55). Tidak bisa tinggi-tinggi harganya karena ini ilegal. Tapi harga segitu sudah bagus. Soalnya, harga batu bara resmi lagi tinggi, ‘kan, jadi yang ilegal ikut naik (harga kontrak batu bara menurut ICE Newcastle per 1 Oktober sudah menembus USD 228 per ton, tertinggi dalam sejarah, red).
Jadi, kami dapat sekitar Rp 3,9 miliar dari produksi 5.000 ton batu bara. Waktu itu, kami menambang hanya sebulan. Cuacanya lagi bagus, jadi bisa cepat. Jika dipotong total biaya produksi sekitar Rp 3 miliar lebih, kami dapat Rp 700 jutaan. Untungnya sekitar Rp 170 ribu per ton. Detailnya bisa lihat di laporan keuangan, kok.
Setelah menambang itu, saya tidak lagi terlibat. Banyak sekali yang diurus dan risikonya juga tinggi. Menurut saya, tambang ilegal ini sekarang marak karena izinnya sulit diurus. Harus ke Jakarta. Beda dengan dulu ketika kewenangannya di daerah. Selain itu, harga batu bara yang meroket bikin bisnis ilegal makin menggiurkan. Kalau saya, cukup sampai di sini saja.
PENGAKUAN SUMBER KEDUA
Sehari setelah mewawancarai sumber pertama, reporter kaltimkece.id berjumpa dengan seorang pemain tambang ilegal yang lain. Sumber kedua ini menambahkan penjelasan yang belum disampaikan narasumber pertama. Menurutnya, ada dua jenis tambang ilegal di Kaltim menurut lokasinya. Tambang ilegal di dalam konsesi dan tambang ilegal di luar konsesi perusahaan resmi.
Titik koordinat tambang ilegal yang beroperasi di luar konsesi kebanyakan di antara dua izin perusahaan. Dari sinilah istilah tambang ‘koridor’ berasal. Jika ditengok melalui peta perizinan, para penambang ilegal menggali batu bara di sela-sela atau seperti lorong (koridor) di antara izin-izin resmi.
“Menambang di luar konsesi itu lebih riskan. Jika diproses hukum, tidak bisa mengelak karena lahan yang digarap memang di luar konsesi. Jelas tidak ada izinnya,” terang sumber tersebut. Berbeda dengan pertambangan ilegal di dalam konsesi. Sumber ini bilang, ada seribu satu dalih yang bisa dipakai untuk menghindari tudingan tambang ilegal karena lokasi galian masuk konsesi.
Ditilik dari operasinya, tambang ilegal juga terbagi dua. Pertama, operasi tambang yang hanya mengeluarkan batu bara dan membawanya ke tempat penumpukan atau ke pelabuhan. Dalam istilah tambang, disebut pit tunggul dengan operasi hanya menggali, mengeluarkan, dan mengangkut (hauling). Kedua, operasi tambang dari menggali hingga sampai tongkang (barging) seperti yang dilakukan sumber kaltimkece.id yang pertama.
“Biaya koordinasinya kalau sampai barging tentu lebih besar,” ucap sumber ini lagi.
Para penambang biasanya menghitung dengan satuan per ton. Sumber ini menuturkan, selain hauling, biaya koordinasi adalah yang paling besar. Di satu tempat bisa Rp 200 ribu per ton, di tempat yang lain di bawah Rp 100 ribu per ton. Adapun besar keuntungan dari tambang ilegal disebut berbeda-beda, bergantung dari operatornya.
“Keuntungan dari tambang ilegal, kebanyakan, lebih besar dari yang legal. Tapi kalau biaya koordinasi dan hauling-nya besar, keuntungan tambang ilegal justru lebih kecil dari yang resmi. Tapi, ya masih tetap gede juga,” sambungnya.
kaltimkece.id membandingkan biaya operasi tambang ilegal dari sumber pertama dengan operasi tambang resmi. Jika lahan yang sama digarap tambang resmi, biaya operasinya dapat dihitung melalui acuan biaya produksi penambangan batu bara terbuka (open pit) yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Berikut perhitungannya.
Dari perhitungan ini, biaya operasi tambang resmi hanya Rp 2,71 miliar. Adapun biaya tambang ilegal sebesar Rp 3,05 miliar dengan luas lahan, produksi, dan jarak hauling-nya sama. Sumber kaltimkece.id memaparkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan biaya tambang ilegal nampak lebih boros. Pertama, tentu saja biaya koordinasi dan hauling tambang ilegal yang tinggi. Waktu kerjanya juga tak seleluasa tambang resmi. Alat-alat produksi tambang ilegal tidak bisa seproduktif tambang legal.
Faktor kedua adalah penggalian dan hauling tambang ilegal lebih tinggi karena menggunakan kendaraan sewa. Tidak demikian dengan perusahaan resmi. Perusahaan pertambangan legal biasanya telah menginvestasikan alat berat yang efisien berikut unit angkutannya. Bisa pula dikerjakan oleh kontraktor dengan kontrak jangka panjang sehingga mengurangi biaya produksi.
Sumber ini juga menambahkan, biaya produksi perusahaan resmi nampak lebih kecil karena ada biaya-biaya yang belum dimasukkan. “Dalam perhitungan itu, tidak ada jaminan reklamasi yang harus disetor duluan. Kemudian, biaya eksplorasi sebelum produksi. Sebenarnya, kalau dihitung-hitung, biaya tambang ilegal itu pasti lebih rendah dari yang resmi,” jelas sumber ini.
Tiga Kali Dirugikan
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, punya pandangan yang lain. Terlepas dari besaran keuntungan, tambang ilegal tidak menyumbang sepeser rupiah pun kepada negara. Tidak pula menyediakan dana untuk pengelolaan lingkungan, reklamasi, maupun kegiatan pasca-tambang. Akibatnya, masyarakat di lingkar tambang tak mendapat manfaat apapun kecuali dampak dari kerusakan lingkungan.
“Negara juga tiga kali dirugikan. Aset hilang, tidak ada royalti dan pajak, serta mewariskan kerusakan lingkungan. Akhirnya pemulihan lingkungan ditanggung negara melalui pajak rakyat,” kritiknya.
Jatam Kaltim telah menganalisis dan terus memverifikasi di lapangan, bahwasanya ada 100 titik tambang ilegal di Kaltim. Selain di pinggiran kota Samarinda, titik-titik tersebut tersebar di Kutai Kartanegara seperti di Kecamatan Sebulu, Samboja, Loa Kulu, Muara Badak, hingga Marangkayu.
Apabila dari setiap 100 titik tambang ilegal itu diasumsikan punya luas rata-rata 2 hektare saja, artinya ada 200 hektare lahan yang dikeruk dengan ilegal. Masih menggunakan asumsi yang sama, rata-rata penghasilan penambang ilegal ini tidak jauh berbeda dari sumber pertama kaltimkece.id, Rp 700 juta sebulan. Total keuntungan dari bisnis ini bisa menembus Rp 70 miliar. Sebulan.
Rupang mengingatkan, praktik tambang ilegal telah menyebabkan Kaltim layak berstatus darurat lingkungan. Para mafia tambang tersebut harus ditertibkan dan diadili di meja hijau. Di samping itu, kerugian negara karena tidak adanya royalti dari tambang ilegal juga sangat besar.
Menurut asumsi di atas, produksi dari 100 titik tambang ilegal di Kaltim bisa menembus 500 ribu ton sebulan. Apabila tingkat kalori batu bara rata-rata 4.700-5.700 kkal/kg, iuran produksinya 5 persen dari harga jual. Pada Oktober 2021, harga batu bara acuan telah mencapai USD 163 per ton. Dengan demikian, potensi hilangnya pendapatan negara bukan pajak (royalti) dari aktivitas tambang ilegal di Kaltim sekitar Rp 57 miliar. Hanya dalam sebulan. (kk)