SAMARINDA – Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengingkari janji kampanyenya untuk tidak menaikkan pajak. Pada konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024), Airlangga Hartarto dan Sri Mulyani justru mengumumkan kenaikan pajak sebesar 12 persen.
“Jadi, Indonesia saat ini dengan (PPN) 11 persen, tax ratio kita masih di 10,4. Ini bisa memberikan gambaran pekerjaan rumah dan perbaikan yang harus kita lakukan,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani beralasan rasio pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara lain yang mencapai 15 persen. Rasio pajak sendiri merupakan indikator yang mengukur perbandingan antara penerimaan pajak suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode yang sama.
Sesaat setelah pengumuman kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan berlaku per 1 Januari 2025, gelombang penolakan dari masyarakat bermunculan. Tak terkecuali dari kalangan pecinta K-pop, Gen-Z, mahasiswa, hingga pengamat ekonomi.
Penolakan tersebut didasari kekhawatiran akan naiknya harga barang dan aktivitas belanja digital. Meski PPN 12 persen ditujukan untuk barang-barang mewah, nyatanya pembagian kategori barang mewah tidak disosialisasikan dengan cukup jelas oleh pemerintah.
“Yang pasti kita butuh kepastian. Menteri yang satu bilang kena, menteri yang satu lagi bilang nggak kena. Jadi nggak beres juga,” ujar Hairul Anwar, Pengamat Ekonomi sekaligus Akademisi Universitas Mulawarman.
Ia menekankan kepada pemerintah untuk memastikan kategori barang mewah secara rinci. Beras, misalnya. “Beras premium yang dimaksud seperti apa dan bagaimana? Sebab masyarakat tidak semua memakan beras Bulog. Tentunya ini akan menjadi polemik,” tambahnya.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), setidaknya ada delapan sektor yang terdampak kenaikan PPN 12 persen tahun depan. Di antaranya:
- Rumah sakit VIP atau layanan kesehatan premium lainnya
- Pendidikan internasional atau pendidikan premium lainnya
- Listrik rumah tangga 3.600–6.600 volt
- Beras premium
- Buah-buahan premium
- Ikan premium
- Seafood premium
- Daging premium
Belum lagi kabar bahwa transaksi digital (QRIS) akan dikenai pajak. Namun, Airlangga Hartarto menegaskan bahwa tidak ada kenaikan dalam transaksi elektronik.
“Yang pasti, tujuan PPN 12 persen jelas hanya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, dalam hal ini APBN. Kalau ditanya mengapa pemerintah tetap ngotot, tentunya pemerintah percaya diri dengan perhitungan yang mereka punya,” lanjut Hairul Anwar.
Hairul menambahkan, pemerintah tampaknya tidak mengkhawatirkan turunnya tingkat konsumsi masyarakat meski ada kenaikan pajak. Padahal, komponen terbesar dari perekonomian adalah konsumsi masyarakat.
“Kalau konsumsi masyarakat turun, dampaknya akan luar biasa. Dalam arti lain, negara pun akan kehilangan pendapatannya,” tegas Hairul.
Ia juga mengkhawatirkan perekonomian global di tahun 2025 yang kemungkinan tidak stabil. “Indonesia akan sulit mengejar pendapatan,” katanya.
Menurut Hairul, sebaiknya pemerintah mengejar wajib pajak baru agar PPN bisa diturunkan, bukan dinaikkan, demi meningkatkan konsumsi masyarakat.
“Kalau naikkan satu persen saja, harga bahan makanan di atas itu, dampaknya ke masyarakat minimal sampai tiga persen. Sedangkan kenaikan gaji hanya 1,5 persen,” sebut Hairul.
Penolakan juga datang dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Mulawarman.
“Hentikan kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang meningkatkan beban ekonomi kelas menengah-bawah, termasuk ketimpangan ekonomi,” bunyi siaran pers mereka.
BEM KM juga mengajak masyarakat untuk menolak kenaikan PPN 12 persen karena dampaknya akan langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di Kalimantan Timur. Pemerintah dinilai telah membohongi masyarakat.
Kenaikan PPN 12 persen diprediksi akan memicu inflasi ke depannya. Ketakutan mulai melanda masyarakat Indonesia. Tahun depan, ketika tahun baru dimulai, pekerjaan rumah pemerintah pusat akan semakin menumpuk dengan tantangan yang tidak mudah.
“Bagi kita, ada kepastian bahwa dampaknya itu akan menekan kelas menengah dan kelas bawah. Kalau ditanya apa yang harus dilakukan masyarakat, mau tidak mau kita harus belajar mengatur pola belanja,” himbau Hairul Anwar.
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Agus S