BALIKPAPAN – Syaiful Hasan tengah mengisi air ke sebuah drum berkapasitas 200 liter saat media ini bertandang ke “rumah hijau” miliknya, dua pekan lalu. Bangunan ini berdiri dengan dinding kaca seluas 12×5 meter. Didirikan di pekarangan rumahnya di Jalan Inpres II, Nomor 2, RT 18, Kelurahan Muara Rapak, Balikpapan Utara.
Dari balik kaca tersebut, tampak tanaman hidroponik yang hijau dan segar. Tumbuh dari paralon ukuran seragam yang tampak di sana-sini. Syaiful yang berusia 50 tahun, tampak dengan tekun mengurus tanamannya itu.
Selesai mengisi air di drum, ia menuangkan lagi dua jenis air nutrisi, A dan B, atau biasa disebut Nutrisi AB Mix, ke drum yang sama. Masing-masing air nutrisi tersebut berkapasitas 1,5 liter. Kemudian airnya diaduk menggunakan paralon.
Setelah air berubah kehitaman, Syaiful menghitung lagi part per million (ppm) air tersebut menggunakan pengukur TDS meter. “Saya selalu menggunakan ppm 1.200 agar tanaman bisa tumbuh dengan baik,” sebutnya.
Lantas setelahnya Syaiful menghidupkan kelistrikan mesin pompa yang ditaruh di dasar drum. Seketika itu air nutrisi, melalui selang-selang kecil yang sudah dirakit baik-baik oleh Syaiful, mengalir ke wadah-wadah yang terdapat selada berusia lima minggu. Di ujung wadah, air mengalir kembali ke drum melalui paralon.
Sebelumnya, pada akhir Desember 2020, Syaiful lebih dulu melakukan penyemaian bibit selada. Proses semai ini menggunakan media rockwool. Saat bayi selada berusia 10 hari barulah bibit dipindahkan ke wadah hidroponik.
Ada berbagai macam wadah hidroponik yang digunakan Syaiful. Awalnya, ia menggunakan paralon 2,5 inci sebanyak 12 batang. Masing-masing paralon ini memiliki panjang 8 meter. Di pipa-pipa plastik tersebut terdapat 480 lubang tanam.
Namun karena permintaan seladanya belakangan meningkat, Syaiful menambah lagi lubang tanam. Talang hujan disulapnya menjadi wadah hidroponik. Ia juga memanfaatkan nampan plastik. Total, Syaiful kini memiliki 674 lubang tanam yang semuanya sudah terisi selada. “Jadi, semenjak adanya virus corona pemesan selada saya malah makin banyak,” tuturnya.
Dijelaskan Syaiful, sayuran hidroponiknya ini akan panen ketika memiliki berat kira-kira 200 gram atau sudah mencapai tinggi 30 sentimeter. Saat ini tinggi seladanya sudah mencapai 20 sentimeter. Maka, dengan estimasi sepekan lagi, Syaiful sudah bisa memetik buah kerja ringannya itu.
Setelah panen, masuk lagi proses pengepakan menggunakan plastik dan selotip khusus hidroponik. Masing-masing plastik berisikan selada seberat 250 gram. Dari 674 lubang tanam, Syaiful bisa mendapatkan 400 sampai 450 pak selada. Untuk satu paknya Syaiful menjual Rp 10 ribu. Itu artinya Syaiful bisa meraup Rp 4 juta lebih dari komoditas hidroponiknya tersebut.
“Sudah ada pedagang di Pasar Baru yang selalu ambil selada saya. Terus saya juga pasarkan di Facebook, kalau ada yang pesan tinggal kirim pakai ojek online,” urainya.
Diakuinya, harga sayuran hidroponiknya memang lebih mahal ketimbang sayuran yang ditanam di tanah. Tapi, mahalnya harga sebanding dengan kualitas. Jika biasanya sayuran konvensional disemprot pestisida untuk mengusir hama, Syaiful tidak pernah menggunakan cara demikian. Ia hanya menutupi dinding green house-nya dengan kain wastage. Berguna untuk menghalau hama masuk. Sedangkan atapnya menggunakan plastik ultraviolet.
“Coba lihat, enggak bolong-bolong kan seladaku,” ucap Syaiful. “Jadi sayuran hidroponik jelas lebih sehat karena enggak pakai zat kimia.”
Syaiful juga menggunakan bibit unggulan dari Belanda. Untuk seribu biji bibit selada, ia membeli Rp 300 ribu melalui importir di Samarinda. Ia menggunakan bibit tersebut agar konsumennya bisa terpuaskan.
“Saya pakai bibit impor ini karena tingkat keberhasilannya hampir 100 persen, enggak ada yang gagal. Terus seladanya juga besar-besar dan segar,” katanya.
Meski tampak sederhana, menekuni hidroponik nyatanya bukan tanpa kendala. Salah satu masalah kerap dihadapi Syaiful ketika listrik padam saat cuaca sedang panas-panasnya. Jika kondisi itu terjadi, ia harus menyiram sayuran hidroponiknya secara manual tiap tiga jam agar tidak layu dan mati.
“Kendala lainnya itu pasar di sini (Balikpapan) masih kurang, ya. Belum ada koperasi penampung sayuran hidroponik. Ada juga tengkulak, tapi murah banget harganya kalau jual ke situ,” ucapnya.
Meski telah mendapat keuntungan dari usahanya ini, sesungguhnya bagi Syaiful, menekuni hidroponik merupakan aktivitas mengusir kejenuhan. Sehari-hari, ia juga menjalankan profesi sebagai ojek daring.
“Kan berhidroponik itu enggak susah. Paling setiap harinya cuma nyalakan pompa jam 6 pagi, dimatikan jam 7 malam. Terus ganti air tiga hari sekali. Selebihnya kan kosong,” pungkasnya. (kk)
Artikel dari kaltimkece.id, jaringan mediakaltim.com