Pernyataan idiologis dan faktul yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara demokratis adalah hal yang tidak dapat ditolak. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jelas mengatur mengenai kebebasan warga negaranya untuk dipilih dan memilih. Sistem Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang dilaksanakan lima tahun sekali melalui pemilihan langsung oleh masyarakat yang mempunyai hak pilih adalah merupakan keniscayaan bagi Indonesia sebagai negara demokratis.
Lebih lanjut, Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai ke tingkat pusat, Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat merupakan legitimasi yang semakin mempertegas bahwa Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hak demokrasi setiap warga negaranya. Bagi Indonesia demokrasi tidak hanya sebagai tatanan kenegaraan saja, tetapi juga soal pemenuhan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi rakyatnya sebagai manusia yang terhormat dan bermartabat.
Meski pun Indonesia telah melaksanakan sistem demokrasi, namun dalam prakteknya masih sering kita jumpai adanya kekecewaan dari masyarakat yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilihan dan pemilihan umum. Misalkan saja kasus yang paling faktual saat ini adalah kisruh banyaknya warga negara yang kehilangan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, sebenarnya masih bisa menggunakan hak pilihnya dengan cara didaftar dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang kemudian dapat menggunakan hak pilihnya pada pukul 12.00 waktu setempat sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat.
Semangat pemenuhan hak pilih warga negara yang mempunyai hak pilih inilah yang kemudian melatari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan meskipun di luar tahapan pemilihan atau pemilihan umum saat ini. Selain itu, penambahan dan pengurangan penduduk (meninggal) dan perubahan status kependudukan (alih status dari sipil menjadi TNI/Polri dan sebaliknya) yang begitu dinamis. Juga perlunya data yang akurat dan akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan KPU dalam melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Sehingga diharapkan kisruh hilangnya hak pilih warga negara tidak terjadi lagi kedepannya.
Merespon hal tersebut, KPU telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 132/PL.02.1-SD/01/KPU/II/2021 pada tanggal 4 Februari 2021 yang kemudian diubah dengan Surat Edaran Nomor: 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021 tertanggal 21 April 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021. Kedua Surat Edaran inilah yang dijadikan sebagai dasar legitimasi bagi KPU dalam melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan tahun 2021. Namun mengenai surat edaran ini dapat dijadikan dasar dalam kegiatan pemutakhiran data pemilih oleh KPU ini sudah sesuai dengan asas dan ketentuan peraturan perundang-undangan, tentu diperlukan telaah dan kajian hukum yang mendalam serta komprehensif.
Surat Edaran Tidak Termasuk Hirarki Peraturan Perundang-Undangan
Dengan dijadikannya Surat Edaran Nomor 132/PL.02.1-SD/01/KPU/II/2021 pada tanggal 4 Februari 2021 yang kemudian diubah dengan Surat Edaran Nomor: 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021 tertanggal 21 April 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 sebagai dasar dilakukannya pemutakhiran data pemilih berkelanjutan oleh KPU, maka secara tidak langsung kebijakan ini tidak hanya mengikat kepada KPU sebagai lembaga yang mengeluarkannya. Namun juga mengikat kepada lembaga lain.
Seperti halnya Bawaslu dalam pengawasannya. Kementrian dalam negeri atau Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil di Provinsi dan Kabupaten/ Kota sebagai penyedia data kependudukan. Serta dinas, instasi, dan lembaga lain yang terkait. Selain itu dampak dari kebijakan ini juga tentu akan mengikat publik. Namun, harus dipahami betul dampak terhadap kebijakan yang tidak sesuai dengan asas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa yang termasuk dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang mempunyai kekuatan hukum adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Lebi lanjut pada pasal 8 dalam Undang-Undang yang sama dijelaskan mengenai Peraturan Perundang-Undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Jenis peraturan dimaksudkan adalah peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I Januari 2004 dan Peraturan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 22 Tahun 2008 menjelaskan bahwa Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Selanjutnya pada pasal 1 butir 43 Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 55 Tahun 2010 dijelaskan bahwa Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Jika kita lihat dari pengertian dan ketentuan Undang-Undang tersebut di atas, maka Surat Edaran bukan merupakan peraturan perundang-undangan, melainkan hanyalah peraturan kebijakan yang merupakan instrumen administratif yang bersifat internal.
Surat edaran hanya mengikat ke dalam lembaga yang membuatnya karena merupakan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Sehingga, surat edaran tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Karena Peraturan kebijakan yang secara tidak langsung mengikat publik akan menimbulkan masalah jika pembentukannya tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik formil maupun materil
Sehingga, KPU menjadikan Surat Edaran Nomor 132/PL.02.1-SD/01/KPU/II/2021 tertanggal 4 Februari 2021 yang kemudian diubah dengan Surat Edaran Nomor: 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021 tertanggal 21 April 2021 sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan adalah hal yang kurang tepat karena tidak berdasarkan atas asas dan ketentuan hukum yang berlaku atau dengan kata lain tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Sah Berdasarkan Undang-Undang
Meskipun kebijakan KPU degan menjadikan surat edaran sebagai dasar pelasanaan pemutakhiran data berkelanjutan tahun 2021 kurang tepat, namun terkait kewenangannya dalam melakukan kegiatan tersebut tidak bisa serta merta dapat dikatakan tidak berdasar dan harus dihentikan. Harus kajian yang mendalam terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemutakhiran data pemilih.
Pada pasal 14 huruf l, pasal 17 huruf l, pasal 20 huruf l dan huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebanarnya telah dijelaskan mengenai kewajiban KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, pada pasal 27 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota juga sudah menjelaskan bahwa setelah pemungutan suara, KPU/KIP Kabupaten/Kota memasukkan data DPTb pada Sistem Informasi Data Pemilih guna Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan untuk Pemilihan atau Pemilu berikutnya.
Ini berarti bahwa KPU Kabupaten/Kota tidak hanya berhenti pada pemutakhiran data pemilih pada saat tahapan pemilihan saja. Setelah selesainya tahapan pemilihan KPU Kabupaten/Kota harus memasukkan daftar pemilih tambahan ke dalam system informasi data KPU untuk selanjutnya dilakukan pemutakhiran data pemilih secara berkelanjutan yang nantinya data tersebut akan digunakan pada saat pemilihan atau pemilu.
Selanjutnya, pada pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum juga menjelaskan bahwa KPU menggunakan hasil kegiatan penyusunan Daftar Pemilih sebagai bahan dalam kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Artinya bahwa data yang telah disusun dan ditetapkan pada saat tahapan pemilihan umum dijadikan sebagai bahan untuk dilakukan pemutakhiran data berkelanjutan. Sebab data yang ada saat tahapan tidak akan mungkin sama dengan data saat ini. Sebab data kependudukan akan selalu bergerak dinamis.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, maka pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU sebenarnya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga hasil dari kegiatan tersebut dapat digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
KPU Harus Segera Mengeluarkan Peraturan KPU
Meski pun kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang dilakukan oleh KPU susuai dengan perintah Undang- Undang, namun belum ada regulasi yang mengatur terkait teknis pelaksanaannya. Pada undang-undang pemilihan umum hanya mengatur mengenai kewajiban KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melakukan pemutakhiran data berkelanjutan. Begitu pula pada peraturan KPU yang sudah ada. Baik peraturan KPU terkait pemilihan, mau pun pemilihan umum. Tanpa adanya adanya regulasi yang mengatur mengenai teknis pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan tersebut.
Sebenarnya pada pasal 27 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota juga sudah menjelaskan bahwa Petunjuk teknis Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan ditetapkan oleh KPU. Begitu pula pasal pada pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Didalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum juga menjelaskan teknis pelaksanaan pemutakhiran data berkelanjutan ditetapkan dengan keputusan KPU. Keputusan KPU yang dimaksud di sini adalah Peraturan KPU Tentang Pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Bukan surat edaran yang di dalamnya mengatur terkait teknis pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan.
Dengan dikeluarkannya peraturan KPU nantinya, diharapkan dapat memberikan petunjuk teknis pelaksanaannya dan dapat mengikat dinas, instasi, mau pun lembaga yang terkait baik secara langsung mapun secara langsung. Selain itu, dapat pula menjawab pertanyaan mengenai tepatkah KPU menjadikan surat edaran sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan? Yang terpenting adalah memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaannya karena sudah sesuai dengan asas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (**)
Oleh: Muhammad Idris
Anggota Bawaslu Kutai Timur