SAMARINDA – Lembar demi lembar rupiah diterima Rizal Apriadi, 32 tahun, setelah mengantarkan enam pengunjung dengan perahunya. Sebelum menyiapkan perjalanan berikutnya, nelayan di Sungai Karang Mumus ini mengisi empat liter bensin ke mesin yang menempel di kapal. Ia kembali mengelilingi “danau” yang tercipta karena banjir di kawasan Betapus, Jalan Usaha Tani, Kelurahan Lempake, Samarinda Utara.
Pada Kamis (21/10/2021), Rizal membuka jasa menyusuri banjir di Betapus dengan tarif Rp 5 ribu per orang. Ia mengaku bisa memperoleh Rp 300 ribu sehari. Luapan Sungai Karang Mumus yang begitu luas beberapa hari belakangan memberinya rezeki. Meskipun Rizal juga sadar, banjir musiman ini telah menyusahkan banyak orang.
Banjir besar di Samarinda disebabkan luapan Sungai Karang Mumus. Ada dua masalah utama yang menyebabkannya. Pertama, Waduk Benanga di Lempake sebagai hulu sungai makin ringkih. Bendungan irigasi seluas 150 hektare itu dibangun pada 1978.
Pada 2001, sebagaimana catatan kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, waduk mampu menampung 1,5 juta meter kubik air. Sekarang hanya 460 ribu meter kubik yang bisa ditadah. Sedimentasi adalah pangkalnya. Endapan terbentuk karena pembukaan lahan di bagian hulu resapan air yaitu Sungai Pampang (dari Lempake hingga Sungai Siring), sebagian Muara Badak, Tenggarong Seberang, hingga Sebulu di Kutai Kartanegara.
Penyebab kedua luapan sungai adalah makin lemahnya Karang Mumus. Sungai ini telah terimpit permukiman. Pada akhirnya, banjir Samarinda meluas ketika hujan terus-menerus di hulu Benanga ditambah waktu pasang Sungai Mahakam.
Eko Wahyudi selaku Tim Konsultan Pengendalian Banjir Samarinda mengatakan, beberapa wacana pernah diuraikan untuk mengatasi masalah ini. Membangun “Karang Mumus” baru, contohnya. Pada 2001, Kementerian Pekerjaan Umum mengusulkan pembangunan terowongan air. Drainase bawah tanah ini terbentang dari Gunung Lingai dan Lempake ke arah Sungai Mahakam di Sambutan. Jarak terowongan kurang lebih 12 kilometer dari 16 kilometer panjang kanal.
Berdasarkan kajian, sayangnya, proyek ini dinilai tak layak dari segi ekonomi maupun teknis. Biayanya sangat besar sementara secara geologi, hidrolika, maupun pelaksanaan, amatlah sulit. Terowongan harus menembus perbukitan dengan kedalaman sampai 50 meter. Padahal, struktur tanah kebanyakan bukan batuan sehingga berisiko runtuh.
Dinas Pekerjaan Umum Kaltim juga punya ide serupa pada 2013. Pemprov mewacanakan pembangunan kanal yang disebut Karang Mumus II. Dari catatan kaltimkece.id, sungai buatan itu mengarah ke laut yang sama jauhnya dengan Sungai Mahakam. Jalur kanal ini potong kompas ke timur menuju pesisir Muara Badak, Kukar, sejauh 15 kilometer. Akan tetapi, ide ini hanya di tataran wacana.
Gagasan membangun sungai baru untuk mengalirkan air dari Waduk Benanga memang tidak lepas dari kondisi Sungai Karang Mumus. Sungai sepanjang 34,7 kilometer yang membelah Samarinda ini punya tangkapan air seluas 31.475 hektare atau setengah wilayah kota. Sungai bisa dibilang sudah mati karena tidak mampu lagi menjalankan fungsi alaminya. Karang Mumus tidak bisa mengalirkan air secara optimal maupun mengangkat sedimen hasil erosi di daerah alirannya (Parameter Kualitas Air, 2009).
Normalisasi Sungai Karang Mumus juga bukan hal mudah, makanya, terbesit berbagai ide membangun sungai baru. Sukarnya normalisasi Karang Mumus dengan memberikan ruang selebar 40 meter di kedua sisi sungai adalah pemerintah harus merelokasi 3.200 rumah. Padahal, berdasarkan kajian tim konsultan, normalisasi sungai secara menyeluruh akan menjamin Karang Mumus tidak meluap. Faktanya, belasan tahun relokasi, masih banyak badan sungai dikepung pemukiman.
Kembali ke Eko Wahyudi, ia mengatakan tim konsultan telah merevisi master plan penanggulangan banjir pada 2020. Menurutnya, debit air di Waduk Benanga dan Karang Mumus terus bertambah dari waktu ke waktu. Permasalahan ini harus ditangani di hulu maupun di hilir.
Di bagian hulu, Pemkot Samarinda berencana membangun kolam retensi di dekat kawasan wisata Pampang, Samarinda Utara. Bendali ini diharapkan membantu mengurangi air yang hendak masuk ke Waduk Benanga. Ada lahan kosong yang cocok untuk bendali karena belum dihuni manusia. Di samping itu, upaya mengeruk Waduk Benanga untuk memperbesar kapasitasnya juga berjalan.
Di sisi hilir Waduk Benanga, Tim Pengendali Banjir Samarinda menyarankan pembangunan tempat parkir air sementara. Lokasinya di bibir Sungai Karang Mumus dekat Perumahan Bengkuring, Samarinda Utara. Tempat parkir air ini adalah hamparan rawa yang dikelilingi tanggul tanah. Lebar bawah tanggul cukup 10 meter, lebar atas 4 meter, dikali panjang 2 kilometer. Kolam retensi yang dilengkapi pompa juga diusulkan dibangun di depan Pasar Bengkuring.
“Kalau terwujud, Bengkuring dijamin aman dari banjir. Biayanya juga tidak mahal,” terangnya. Eko menuturkan, di kawasan itu ada tanah pemkot seluas 18 hektare berupa rawa-rawa. Lokasi itu bisa menjadi tempat parkir sementara air. Kedalamannya cukup 1 meter dengan tanggul keliling.
Lebih ke hilir lagi, tim pengendali banjir berfokus dengan penyelesaian penurapan di belakang Pasar Segiri hingga Gang Nibung. Daerah bottle neck itu harus dilebarkan.
Tim konsultan mengaku, perubahan master plan penanggulangan banjir juga untuk mengakomodasi masalah lingkungan. “Jadi bukan dibangun turap saja, tapi dengan tanggul tanah. Jika Sungai Karang Mumus sudah terisolasi dengan tanggul dan turap, dimensinya juga sesuai desain, sungai tidak akan meluap lagi,” tutupnya. (kk)