Beranda KUKAR Sudah Dilaporkan 2018, Tambang Ilegal Baru Ditindak, Jatam Nilai Lambat

Sudah Dilaporkan 2018, Tambang Ilegal Baru Ditindak, Jatam Nilai Lambat

0

SAMARINDA – Direktorat Jenderal Balai Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK), mengungkap kasus tambang batu bara ilegal di Kutai Kartanegara, beberapa hari lalu.

Sebanyak empat orang dijebloskan ke penjara karena tertangkap tangan menambang tanpa izin. Pengungkapan kasus yang dinilai kelompok antitambang lambat.

Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan dari KLHK, Sustyo Iriyono, membeberkan kronologi pengungkapan. Awalnya, Gakkum KLHK menerima laporan dari masyarakat bahwa ada penggalian tanpa izin di kawasan ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kukar. Persisnya di Greenbelt Waduk Samboja, Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Suharto.

Gakkum KLHK kemudian mengutus Tim Brigade Sporc Burung Enggang menindaklanjuti laporan. Jumat, 4 Februari 2022, pukul 14.00 Wita, tim tiba di Greenbelt Waduk Samboja. Di situ, tim menemukan sebuah ekskavator berkelir kuning dan tujuh orang sedang menggali emas hitam. Ketujuh orang tersebut berinisial BH, 40 tahun; NS, 40 tahun; AM, 29 tahun; SP, 43 tahun; NF, 25 tahun; HY, 46 tahun; dan HE, 28 tahun.

Tim Brigade Sporc Burung Enggang lantas menghentikan aktivitas penambangan dan melakukan pemeriksaan. Hasilnya, kegiatan tersebut dipastikan ilegal karena tak mengantongi izin. Atas dasar itu, tim menjadikan BH, NS, AM, dan SP sebagai tersangka. Tim juga mengamankan sejumlah barang bukti berupa tiga unit ekskavator dan satu unit buldoser.

“Selanjutnya, para tersangka dan barang bukti kami bawa ke kantor Gakkum untuk diperiksa,” beber Sustyo kepada kaltimkece.id, jejaring mediakaltim.com Jumat, 11 Februari 2022.

BH, NS, AM, dan SP kini mendekam di sel tahanan Markas Kepolisian Resor Kukar. Mereka dijerat pasal berlapis yakni pasal 89 ayat 1 huruf b dan atau a juncto pasal 17 ayat 1 huruf a dan atau b UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan juncto pasal 37 angka 5 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Mereka terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.

Sustyo mengatakan, penyelidikan kasus belum berhenti. Gakkum KLHK tengah mengembangkan kasus untuk mengungkap keterlibatan pihak-pihak lain dalam perkara ini. “Kami berharap, tersangka dan pemodal dapat dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera,” ujar Sustyo.

Direktur Jendral Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, memberikan keterangan tambahan. Pengungkapan kasus tersebut adalah wujud komitmen KLHK mengamankan hutan di zona IKN Nusantara. Mengingat, lingkungan hidup dan hutan merupakan bagian dari konsep IKN sebagai kota hijau atau forest city. Pertambangan ilegal diyakini mengakibatkan kerusakan hutan, lingkungan, dan kerugian negara.

Rasio menjelaskan, para pemain tambang ilegal, mulai dari pemodal, penjual, hingga pembeli, bisa dihukum berat. Ia mengacu pasal 94 ayat 1 huruf a dan c UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dalam aturan itu, hukuman bagi penambang ilegal adalah penjara selama 15 tahun dan denda maksimum Rp 100 miliar. Adapun pasal 98 ayat 1 di peraturan yang sama menyebutkan, pembeli atau penerima hasil tambang ilegal dihukum penjara maksimal tiga tahun serta denda maksimum Rp 1,5 miliar.

KLHK juga akan menjerat para penambang ilegal dengan UU 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini dilakukan, kata Rasio, agar tidak ada lagi yang berani menambang secara ilegal. “Selama ini, kami belum pernah melihat efek jera, baru efek kejut saja,” kata Rasio.

Dia turut membeberkan jumlah kasus yang diungkap Gakkum. Dalam beberapa tahun terakhir, Gakkum mengungkap 1.778 kasus. Beberapa di antaranya mengenai kasus pembalakan liar dan satwa. Dari 1.778 kasus, sebanyak 1.193 kasus sudah masuk meja hijau.

Gakkum juga mengungkap 94 kasus pertambangan tanpa izin alias peti di Kaltim. Sebanyak 22 kasus di antaranya sudah masuk pengadilan.

“Saya sudah perintahkan penyidik untuk mengembangkan kasus ini (peti di Waduk Samboja) untuk juga mengungkap pemodal atau pembeli hasil tambang ilegal,” jelas Rasio.


DINILAI LAMBAT
Menanggapi penindakan peti di Waduk Samboja yang dilakukan Gakkum KLHK, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, mengaku kecewa. Ia menilai tindakan tersebut lambat. Jatam, warga, dan pengelola waduk, sudah melaporkan kasus tersebut empat tahun lalu atau pada 2018. “Karena sudah ada kerusakan yang luas, baru ditindak. Lambat!” kritiknya kepada kaltimkece.id. “Beberapa laporan kami juga belum ada kelanjutannya.”

Hal senada disampaikan akademikus Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Rustam Fahmi. Menurutnya, aktivitas tambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto sudah berlangsung lama dan di depan mata.

“Ini bukan aktivitas gaib yang tidak kelihatan. Bahkan, dekat kantor kepolisian dan kecamatan. Ini menunjukkan bobroknya pengelolaan lingkungan,” ucapnya kepada kaltimkece.id via pesan singkat.

Rustam pernah meriset keanekaragaman hayati di Tahura Bukit Soeharto. Riset tersebut bertajuk Comparison of Mammalian Communities in a Human-Disturbed Tropical Landscape in East Kalimantan, Indonesia (2012). Dari hasil riset, beber Rustam, terdapat sejumlah spesies langka di Bukit Soeharto.

Beberapa di antaranya seperti beruang, macan dahan, rusa, hingga kancil.
“Keberadaan tambang di kawasan konservasi tersebut secara langsung dan tidak langsung berpangruh terhadap kelestarian fauna di Tahura,” terangnya.

Dikonfirmasi pada kesempatan berbeda, Kepala Unit I Sub Direktorat dari Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah Kaltim, Komisaris Polisi Andi Suryadi, menjelaskan penyebab lambatnya penanganan tambang ilegal.

Pengungkapan aktivitas gelap menjadi lambat jika alat buktinya minim.
“Laporan dari masyarakat saja tidak cukup. Kalau tidak naik ke penyidikan, berarti alat buktinya tidak ada. Seluruh perangkat harus lengkap,” jelas Kompol Andi Suryadi.

Selain itu, tambahnya, polisi kerap tidak menemukan aktivitas saat menyidak lokasi tambang diduga ilegal. “Ketika kami ke lapangan tapi alatnya tidak bergerak, itu tidak bisa dinaikkan ke penyidikan,” imbuhnya.

Kompol Andi Suryadi tidak menampik bahwa ada oknum penegak hukum di lingkaran setan tambang ilegal. Meski demikian, dia memastikan, polisi tidak tebang pilih menindak pelaku tambang ilegal. “Mungkin, ada oknum yang menjadi pahlawan kesiangan. Tapi, sepintar-pintarnya tupai melompat pasti jatuh juga. Sepintar-pintarnya menghindar bisa ketahuan juga,” katanya, bertamsil.

Dia pun memberikan saran mengenai pencegahan tambang ilegal di Tahura. Sebaiknya, penyidik pegawai negeri sipil dan kepolisian berkolaborasi mengamankan kawasan tersebut.

Pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama diyakini memudahkan mengawasi tambang ilegal. “Ibaratnya masuk rumah, di pintu masuk dan ke luarnya ada yang jaga. Jadi, siapa pun yang masuk, kami tahu,” tandasnya. (kk)

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version