TENGGARONG – Peluh Rony Abdurahman mulai bercucuran ketika samsak seukuran orang dewasa di depannya bergetar hebat disapu tendangan keras. Di belakang pelatih Mixed Martial Arts (MMA) asal Tenggarong, Kutai Kartanegara, tersebut, murid-muridnya bergantian mengikuti tendangan yang diperagakan. Setelah beberapa jam bertarung menghadapi samsak, latihan akhirnya kelar.
Rony yang kini berusia 40 tahun menguraikan tentang cabang olahraga MMA. Menurutnya, MMA adalah seni bela diri campuran dari muaythai, jiujutsu, dan yang lain. MMA mulai populer di stasiun televisi swasta sejak 2002. Dalam olahraga keras ini, dua petarung akan berlaga di sebuah ring berbentuk oktagon. Mereka menggunakan pelindung tangan yang lebih tipis dari sarung tinju. Petarung tak mengenakan pelindung kepala, siku, dan lutut.
Aturan dalam MMA, sambung Rony, adalah diperbolehkan mengenai seluruh bagian tubuh kecuali kemaluan dan belakang kepala. Petarung juga boleh menyerang menggunakan siku dan lutut. Pemenang MMA ditentukan berdasarkan poin setelah ronde ketiga berakhir, atau ketika lawan berhasil dikunci lalu menyerah, atau lawan tumbang.
Rony punya sebuah sasana MMA bernama Arkan Camp. Tempat berlatih MMA berbayar itu didirikan pada 27 Januari 2015. Ia bekerja sama dengan seseorang yang bersedia rumahnya di Jalan Jenderal Sudirman, Tenggarong, disulap jadi tempat berlatih.
Pada mulanya, sasana ini membuka latihan muaythai, tinju, dan Brazillian Jiujutsu (BJJ). Sasana itu sempat sepi sehingga dipindahkan ke Jalan Danau Semayang, Tenggarong. Di tempat baru ini, anggotanya mulai ramai. Beberapa cabor saat ini telah bergabung di Arkan Camp. Mulai wushu, muaythai, Indonesia Bela Diri Amatir (IBA) MMA, hingga kurash (bela diri bantingan dari Uzbekistan).
Rony mengatakan, membangun sasana MMA perlu modal besar. Tak hanya dana, tapi juga kepercayaan. Caranya dengan menunjukkan bahwa ia bukan atlet abal-abal. Sebagai pelatih, ia mengantongi cukup banyak sertifikat kompetensi. Tahun lalu, Rony mengikuti penataran pelatih muaythai tingkat nasional. Dalam kegiatan yang dihadiri pelatih PON muaythai tingkat lanjutan itu, ia terpilih menjadi pelatih terbaik. “Saya kaget bisa terpilih sebagai pelatih terbaik. Ternyata nilai teori dan praktik saya A semua,” sebutnya.
Ia juga mengantongi sertifikat technical delegate international dari IBA MMA, yang di Indonesia ini hanya dimiliki Rony dan seorang lagi dari Kutai Timur. “Yang lain, hanya pelatih MMA biasa. Kalau technical delegate ini, setiap pertandingan saya pasti dilibatkan,” kata Rony.
DARAH ATLET DARI AYAH
Pada saat masih remaja, Rony adalah anak laki-laki yang “berdarah panas.” Ia mengakui hal itu. Beradu pandang dengan orang saja, Rony langsung menantang berkelahi. Barangkali, katanya, kebiasaan tersebut berasal dari ayahnya, Edy Nur, seorang petinju jalanan di Kota Raja.
Ayah Rony cukup ternama pada 1970-an. Waktu itu, Monumen Pancasila Tenggarong adalah lapangan sepak bola. Ayahnya kerap mengikuti pertandingan tinju di situ. Edy Nur yang berkali-kali menang akhirnya diajak bergabung dengan Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina). Tapi pilihan itu diurungkan sang ayah.
Rony juga akrab dengan tinju namun ia menolak tawaran ayahnya untuk berlatih olahraga tersebut. Sampai suatu hari, sewaktu kelas 1 SMA, Rony dikeroyok orang hingga babak belur. Ia pun menerima tawaran ayahnya dan berlatih serius di rumah.
Setelah dua pekan berlatih keras, ia ditarungkan dengan petinju yang sudah dua tahun berlatih di sasana tinju Tenggarong. Walaupun masih pemula, Rony dapat mengimbangi permainan. Dari latih tanding yang memikat para pelatih tinju di sasana tersebut, ia diajak ikut seleksi kejurda.
Dari sinilah, Rony membangun karier tinju profesional. Ia melumat pertandingan kejurda mulai dari Kutai Kartanegara hingga skala Kaltim. Rony terus melaju sampai kejurnas. Ia bertanding dari Kendari, Makassar, dan Jakarta. “Saya pensiun sebagai atlet karena pada 2006 lalu rahang saya lepas,” kenangnya.
Meski tak lagi bertarung di atas ring, kecintaannya kepada dunia tinju tak pernah padam. Pada 2008, Rony mendirikan Sasana Junior Boxing Club di SMA 2 Tenggarong. Beberapa anak binaannya menjadi juara daerah dan ditarik ke Pertina. Pada 2010, Rony menangani tim tinju Kukar untuk porprov. Hasilnya memuaskan. Sembilan emas berhasil direbut. Rony kembali dipercaya menangani atlet muaythai, wushu, dan tinju Kukar pada 2013.
Rony kini dipercaya menjadi Ketua IBA MMA Kukar, Kabid Pendidikan dan Penataran KONI Kukar, Sekretaris Pengcab Kukar, Bendahara Pengcab Wushu Kukar, dan Ketua Harian Asosiasi Seni Tarung Tradisi (Asta) Kukar.
LAHIRKAN ATLET HEBAT
Seiring berkembangnya Arkan Camp hingga membuka cabang di Samarinda, semakin banyak atlet yang meminta dibina olehnya. Tak butuh waktu lama, Rony memutuskan melanjutkan pengabdian untuk daerah dengan membina atlet. “Awalnya saya bikin Arkan Camp untuk cari uang. Tapi naluri membina atlet malah muncul lagi,” ungkap Rony.
Ia berhasil mengantarkan Siti Khadijah, atlet muaythai kelas 43 kilogram, mendapatkan medali emas di Kejurprov 2019 dan lolos untuk berlaga PON di Papua nanti. Begitu pula Putri Widya, atlet muaythai kelas 56 kilogram, yang berhasil merebut medali emas di kejurprov 2019 lalu dan mendapat perak pada Pra PON 2019 juga lolos ke PON Papua.
Selain mengirim atlet ke pertandingan yang diselenggarakan pemerintah, Rony mendorong atletnya berlaga di OnePride, sebuah kompetisi MMA yang digelar sebuah stasiun televisi swasta. Sudah tujuh atlet yang bertarung di OnePride. Mereka adalah Vita Nopanti, Wulandari, Hanafi, Ahmadi, Ayub, Beni Suriansyah, dan Rizki Affandi.
Vita saat ini di peringkat dua kelas straw weight. Wulandari peringkat tujuh kelas yang sama. Sedangkan Ahmadi peringkat 10 welter weight. Akan tetapi, Ahmadi sudah pindah ke sasana yang lain. Dalam waktu dekat, atlet baru Arkan Camp, Amalina asal Muara Kaman, bertanding di OnePride di kelas straw weight.
Rony mengaku, membina atlet tak mudah. Apalagi menargetkan emas. Menurutnya, kedisiplinan atlet merupakan kunci kemenangan dalam sebuah pertandingan. (kk)
Artikel dari kaltimkece, jaringan mediakaltim.com