TANJUNG REDEB – Perizinan hulu PT Brau Agro Asia (BAA) dinilai masih cacat atau belum jelas sepenuhnya. Sebab, izin yang dikeluarkan oleh OPD terkait dianggap masih berbenturan dengan regulasi yang berlaku.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Berau, Lita Handini menerangkan, perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan perkebunan kelapa sawit itu tidak memiliki kebun sendiri dalam menjalankan usahanya.
“Mereka dapat memperoleh IUP-P jika memiliki sekurangnya 20 persen keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun sendiri. Jika ada kekurangan, maka wajib dipenuhi melalui kemitraan pengolahan berkelanjutan,” ungkapnya dalam RDP beberapa waktu lalu.
PT BAA dapat beroperasi karena mengacu pada Permentan nomor 21 tahun 2017, Pasal 11 ayat (1). Dalam peraturan tersebut, khususnya Pasal 11A dijelaskan bahwa kebun yang diusahakan sendiri sebagaimana pada pasal 11 ayat (1) dapat diperoleh dari hak milik atas tanah pekebun, hak guna usaha, dan/atau hak pakai.
Sedangkan pada Pasal 11B, kebun yang diperoleh dari hak milik atas tanah pekebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) dapat dilakukan dengan sewa atau sesuai kesepakatan antara pekebun dan perusahaan industri pengolahan perkebunan.
Dibeberkan Lita, pemilik kebun diwakili oleh Koperasi Harapan Masyarakat Berau (HMB). Diketahui, ada 180 petani dengan persilnya seluas 1.306 Hektare.
“Mereka menguasakan lahannya ke koperasi HMB untuk bekerjasama dengan PT BAA dalam urusan sewa-menyewa. Itu yang menjadi dasarnya,” terangnya.
Dijelaskannya, untuk memenuhi kekurangan 80 persen kebutuhan bahan baku produksi, maka dibentuk kemitraan antara PT BAA dengan koperasi yang ada di Kecamatan Segah.
Maka dari itu, persyaratan 20 persen dan kekurangan 80 persen bahan baku, menjadi tahap awal dikeluarkannya perizinan bagi PT BAA yang tidak memiliki kebun, dianggap sudah terpenuhi.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPRD Berau, Wendy Lie Jaya menerangkan, izin yang dikeluarkan oleh Disbun belum jelas sepenuhnya. Terlebih, persyaratan 20 persen dari keseluruhan bahan baku yang dinyatakan sudah selesai, belum dapat dibuktikan kebenarannya.
“Kami dari Komisi II memang belum memeriksa mengenai hal tersebut. Apalagi dokumen yang kami minta dalam surat kedua, belum diserahkan Disbun,” bebernya.
Mengenai 80 persen sisanya yang harus dipenuhi PT BAA, dinilai Politikus NasDem itu masih ada kejanggalan. Sebab, kata Wendy, ada kelompok tani dan koperasi yang sudah bermitra dengan perusahaan lain.
“Seperti ada yang bermitra dengan PT NPN, lalu kelompok tani Kasai Bersatu dengan PT SKJ, dan kemudian dengan PT BAA. Jadi ini kan janggal, karena sampai sekarang tidak pernah masuk barang ke sana, bagaimana bisa dinyatakan memenuhi syarat 80 persen?,” jelasnya.
Lalu, jika syarat 20 persen sudah terpenuhi karena terdapat 180 petani yang memberikan lahannya ke PT BAA, maka harus disampaikan dengan jelas.
Menurut Wendy, saat ini bukan 180 petani yang ada, melainkan 180 lokasi yang tersedia, dengan nama yang sama untuk lokasi berbeda.
“Bukti kepemilikannya yang kami minta juga sampai saat ini belum ada. Maka ini jadi pertanyaan, 80 persen itu bagaimana,” bebernya.
Wendy Lie Jaya menyebut dalam perizinan PT BAA yang dilakukan Disbun tidak memiliki suatu kejelasan. “Izinnya juga diloloskan untuk ke tahap selanjutnya. Padahal, berbagai persyaratan perizinan yang menjadi kewenangan Disbun dan ketentuan Permentan masih tumpang tindih,” imbuhnya.
Kendati demikian, Wendy menyarankan RDP beberapa waktu lalu tersebut direkomendasikan ke Kemenpan-RB, Mendagri dan Menteri Pertanian. “Biar kita tahu bagaimana petunjuk dari kementerian,” pungkasnya. (dez/adv)