SAMARINDA – Sidang kasus korupsi yang menjerat Bupati Penajam Paser Utara (PPU) nonaktif Abdul Gafur Mas’ud (AGM) dan kawan-kawan berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Rabu (15/6/2022) sore. Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ferdian Adi Nugroho menghadirkan 11 saksi.
10 orang saksi hadir di pengadilan, sedangkan 1 orang lainnya yakni Ahmad Zuhdi yang merupakan terdakwa perkara ini hadir secara virtual dari Gedung KPK Jakarta. 10 orang saksi yang hadir dalam persidangan yakni, Muhajir, Agus Suyadi, Asdarussalam, Petriyandi Ponganton Pasulu alias Ryan, Abdul Halim, Ricci Firmansyah, Hartono, Viktor Yuan, Alfian Aswadi, dan Syahruddin. Sedangkan 4 nama lainnya merupakan Ketua DPC Partai Demokrat PPU, Kutai Timur, Bontang, dan Samarinda.
Sidang yang diketuai Majelis Hakim Tipikor PN Samarinda, Jemmy Tanjung Utama, didampingi Hakim Anggota Hariyanto dan Fauzi Ibrahim kali ini merupakan pembuktian dakwaan JPU KPK kepada AGM, Muliadi, Edi Hasmoro, Nur Afifah Balqis, serta Jusman atas dakwaan penerima suap dari sejumlah pengusaha di PPU.
Dalam keterangannya, Ahmad Zuhdi mengaku pernah memberikan uang kepada Asdarussalam senilai Rp 500 juta secara bertahap, yaitu bulan Juni 2020 sebesar Rp 150 juta, Juli Rp 50 Juta, Agustus Rp 200 Juta, dan September Rp 100 Juta. Namun, Zuhdi mengaku tidak mengetahui apakah uang tersebut sampai ke tangan AGM.
Sementara, terkait komitmen pembayaran fee sebesar 2,5 persen untuk Dinas PUPR yang disampaikan oleh Edi Hasmoro pada proyek landscape tahun 2020 senilai Rp 24 miliar, Zuhdi mengatakan baru terealisasikan Rp 100 Juta. Uang itu diserahkan kepada Ricci Firmansyah saat proyek masih berjalan.
Komitmen fee 2,5 persen untuk Dinas PUPR dan 5 persen untuk Bupati itu dikatakan Zuhdi juga berlaku pada 15 proyek yang dikerjakannya pada tahun 2021 dengan anggaran senilai Rp 118 miliar. Total fee yang dikeluarkan Zuhdi dari anggaran tersebut harusnya senilai Rp 5,4 miliar, namun baru terealisasikan Rp 1,5 miliar.
Selain Dinas PUPR, Zuhdi juga mengaku memberikan bantuan uang kepada terdakwa Muliadi sebesar Rp 22 juta. Hal itu dilakukan secara bertahap, mulai Rp 10 juta, Rp 7 juta, dan Rp 5 juta.
Ia juga menjelaskan, pernah memberikan uang kepada terdakwa Jusman senilai Rp 33 juta. Di antaranya Rp 20 juta pertama merupakan pinjaman, sementara Rp 13 juta sebagai biaya kebutuhan kantor. Uang tersebut diberikan atas permintaan Jusman, lantaran insentif dari kantornya belum keluar. Selain itu juga karena Jusman pernah membantu proyek di Disdikpora PPU.
Zuhdi juga menjelaskan pernah memberikan uang kepada Dinas PUPR senilai Rp 300 juta pada 2020 sebagai bentuk realisasi fee 2,5 persen itu. Uang diserahkan kepada Ricci Firmansyah Rp 110 juta dan kepada Ryan sebesar Rp 190 juta.
“Uang itu diserahkan ke siapa? Apakah Edi Hasmoro?” tanya JPU. “Saya tidak tahu,” jawab Zuhdi.
Selain itu, saksi juga menguraikan pernah memberikan uang kepada Edi Hasmoro dengan totak Rp 57 Juta. Juga memberikan Rp 55 juta yang dipinjam oleh Edi untuk uang muka pembayaran mobil Toyota Fortuner.
“Sudah dikembalikan belum?” tanya JPU. “Sampai sekarang belum dikembalikan,” jawab Zuhdi.
Saksi juga mengaku bahwa pada tahun 2021 juga pernah memberikan uang Rp 100 juta kepada Ryan. Dan kepada Asdarussalam, ia menyerahkan uang Rp 20 juta atau Rp 25 juta, dirinya tidak terlalu ingat. Uang itu katanya, untuk membayar kontrak Kantor Kadin, dimana Asdarussalam adalah Ketua Kadin PPU.
JPU Putra Iskandar juga sempat memberikan pertanyaan terkait dengan sebutan “Bos” dalam keterangan BAP Ahmad Zuhdi. Saksi pun membenarkan bahwa sebutan itu mengarah ke AGM.
Sejumlah pertanyaan masih diajukan oleh pihak JPU kepada saksi, sebelum selanjutnya penasihat hukum para terdakwa mengajukan pertanyaan.
Perlu diketahui AGM didakwa dalam satu berkas perkara yang sama dengan Nur Afifah Balqis yakni dalam berkas bernomor 33/Pid.Sus-TPK/2022/PN Smr. Dalam dakwaan JPU KPK, menyebutkan terdakwa turut serta melakukan perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang suatu perbuatan yang berlanjut, menerima hadiah, atau janji.
Perbuatan para terdkawa tersebut merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana yang disebutkan dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b, Junto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentanh pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo, Pasal 64 ayat 1 KUHPidana dalam Dakwaan Primer. Subsider sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11, UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat 1 KUHPidana. (vic)