spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Serba-serbi Penanggalan Jawa (3)

III. Makna 1 Sura bagi Masyarakat Jawa

Setiap eksistensi dari hidup manusia baru selalu dimulai dengan Rijal (sinar hidup yang diciptakan oleh kekuatan gaib dari Tuhan YME. Perputaran hidup itu dimulai dari Rijal dan nantinya akan kembali ke Rijal lagi. Dari bulan pertama yaitu Sura sampai dengan bulan ke Sembilan manusia baru tersebut berada dalam kandungan ibu, untuk berproses menjadi bayi yang sempurna dan siap dilahirkan.

Pada bulan ke sepuluh si bayi itu ber-Wujud artinya telah menjadi manusia yang hidup karena diberi ruh oleh Sang Maha Pencipta. Selanjutnya di bulan kesebelas melambangkan akhir dari eksistensinya yaitu Wusana artinya sesudahnya. Yang terakhir adalah Suwung artinya kosong, hidup pergi Kembali dari mana hidup itu datang yaitu Sangkan Paraning Dumadi.

Penampakan bulan dalam penanggalan Jawa:

  1. Tanggal 1 bulan Sura Jawa, bulan kelihatan sangat kecil hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang.
  2. Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan penuh melambangkan dewasa yang telah bersuami istri.
  3. Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan purnama, bulan masih penuh tetapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang.
  4. Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan panglong, orang sudah mulai kehilangan daya ingatannya.
  5. Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain kembali layaknya seperti bayi.
  6. Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan manjing, di mana hidup manusia kembali ketempat asalnya menjadi rijal lagi.
  7. Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat di mana rijal akan mulai dilahirkan kembali ke kehidupan dunia yang baru.

Proses perputaran hidup ini dinamakan Cakra Manggilingan. Cakra adalah senjata berbentuk roda yang bergerigi tajam ageman dari Sri Kresna keturunan Batara Wisnu. Manggilingan selalu berputar untuk mencari keseimbangan baru. Manusia yang berbudi luhur selalu mengikuti jalan yang diperkenankan oleh Gusti Kang Murbeng Dumadi. Datang dari hal yang suci kelak akan kembali ke suci lagi.

Orang Jawa masa lalu memiliki Dino Mulyo (Hari Mulia) dalam satu tahun, yang diperingati dengan cara memuja dengan tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah memberikan anugrah yang tiada tara melalui jagat raya beserta isinya. Masyarakat Jawa masa lalu selalu menjaga eksistensi alam karena akan bermanfaat bagi manusia. Sedangkan manusia masa kini cenderung merusak alam guna keuntungan pribadi dan golongannya. Hari-hari mulia itu antara lain: 1 Sura, Aboge, Daltugi, Hanggara Asih dan Sukra Manis.

Sura merupakan Tahun Baru Jawa, Aboge singkatan dari Alip-Rabo-Wage, Daltugi singkatan dari Tahun Dal-Dino Setu (Hari Sabtu) dan Legi, Hanggara Kasih adalah Selasa Kliwon adalah hari diturunkannya Wahyu Cakraningrat atau Wahyu Jatmika di Tanah Jawa atau Nusantara, sedangkan Sukra Manis adalah Jumat Legi yang disebut Dino Purnomo (Hari Purnama)

Istilah Malam 1 Sura tentu tak asing lagi didengar di kalangan masyarakat. Tahun Baru Jawa ini suasananya jauh berbeda dengan perayaan Malam Tahun Baru Masehi yang cenderung ekspresif, diwarnai dengan pesta pora, bunyi petasan dimana-mana, kembang api penuh warna warni, bising suara terompet dan juga musik di setiap tempat. Semua seakan pada maklum, karena tahun baru harus dirayakan guna melupakan tahun kemarin dan menyambut tahun berikutnya.

Pada perayaan malam 1 Sura, masyarakat Jawa biasanya melakukan ritual lebih bernuansa impresif, hikmat, dan khusyuk. Masyarakat Jawa melakukan perenungan atas tindakannya selama hidup di dunia, baik itu pikiran, perkataan hingga perbuatan yang telah dilakukan pada tahun lalu, serta mohon petunjuk agar untuk tahun berikutnya dapat diberikan anugerah oleh Tuhan YME.

Pada malam 1 Sura, ada berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat Jawa, misalnya duduk berdiam melakukan semadi, berendam di sungai, berjalan tengah malam, dan hal mistis lainnya. Tentu saja memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kehendak dan kemauannya. Apabila tujuan semadinya kepada Tuhan YME, maka rahmat dan karunialah yang akan didapatnya. Namun apabila tujuan semadinya bukan kepada Tuhan YME, maka kekuatan setanlah yang didapatkan.

Pada tahun 1988 pernah dibuat film dengan judul Malam Satu Sura yang dibintangi oleh artis special film horror, yaitu Suzana. Di film tersebut diceritakan bahwa orang-orang Jawa sedang melakukan ritual menyembah setan. Sebenarnya kalau mereka ingin menyembah setan tidak perlu menunggu malam 1 Sura.

Setiap saat setan ada disekitar kita, setiap saat setan siap menggoda manusia, dan setiap saat setan juga siap menjerumuskan siapa saja yang dikehendakinya. Ibarat pisau, yang punya dua manfaat yaitu positif dan negatif. Sisi positif bermanfaat untuk mengiris bawang, menguliti hewan, merajang, memotong dan lain-lain. Sementara sisi negatif adalah untuk mencelakakan atau bahkan membunuh orang. Demikian juga dengan tingkah laku manusia, ada yang tujuannya baik dan ada pula yang tujuannya tidak baik.

Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan budaya Jawa, yaitu berusaha untuk melakukan pergeseran atas nilai dan makna malam 1 Sura, seakan penuh klenik, menyeramkan dan menakutkan. Padahal tidak ada hal yang benar dari semua tuduhan tersebut, karena berbeda dengan makna sebenarnya yang adiluhung.

Melalui tulisan ini, marilah kita mendudukkan kembali konteks malam 1 Sura pada porsi yang sebenarnya yaitu mesu diri untuk instropeksi dan mendapat petunjuk, anugerah, rahmat serta hidayah dari Gusti Kang Murbeng Dumadi. (Habis)

Ditulis oleh:
Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara
(Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)

16.4k Pengikut
Mengikuti