spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Serba-Serbi Penanggalan Jawa (1)

I. Sejarah Penanggalan Jawa

Bermula dari postingan Kangmas Wirayuda di Grup WhatsApp Panji Beber tanggal 6 Agustus 2021, dimana dalam postingannya menyinggung dua hal. Pertama, tentang level leluhur dan level keturunan yang mencapai 19 level. Kedua,  penanggalan Jawa, mulai dari nama bulan (sasi), nama hari (dinten), nama weton, hingga ke wuku. Sementara kita bahas yang kedua dulu, mengingat pada 9 Agustus 2021 bertepatan dengan Tahun Baru Jawa yang disebut Sura. Sedangkan untuk yang pertama akan kita bahas di postingan selanjutnya.

Dari website www.infobudaya.net/2017/09/sejarah-kalender-jawa/Kalender Jawa, bahwa Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi. Pada tahun 50 SM Raja/Prabu Sri Mahapunggung I (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/aksara, serta sastra Jawa. Bila kalender Jawa dibuat berdasarkan “Sangkan Paraning Bawana” (asal usul/isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” (=asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (Solar System).

Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, yaitu dengan memulai perhitungan dari angka nol (‘Das’=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa ‘baru’, tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara ( = tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M. Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/Hindustan. Akan tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa, bahwa:

  1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.
  2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 orang bukan 2 orang seperti banyak dikisahkan, dengan nama berasal dari bahasa Kawi yaitu:
  • DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR artinya = ‘bohong’, sangat jauh berbeda dengan aslinya.
  • SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API artinya “mampu” atau ‘sesuai’.
  • DUGA (dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuna berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti “pengati-ati’ atau ‘adab’.
  • PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuna artinya adalah ANGIN, dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti ‘sebaiknya/ seyogianya”.

    Keempat unsur/ anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (makrokosmos / bawana ageng) serta dalam tubuh manusia (mikrokosmos / bawana alit).

  1. Nama Ajisaka (Aji & Saka) berasal dari Bahasa Jawa Kuna, yang berarti Raja/Aji yang Saka (=mengerti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula. Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.

Sementara itu Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya berpendapat bahwa Prabu Ajisaka konon berasal dari India. Hal ini dimungkinkan karena Bahasa Jawa Kuna berasal dari Bahasa Sansekerta yang kelak akan menjadi Bahasa Kawi yang dipergunakan untuk kepentingan kesusastraan Jawa.

Kemudian saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta di Mataram pada tahun 1633-1646 Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan, yaitu Jawa/Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar Sytem), sementara di wilayah Barat/Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing/Belanda. Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang telah digunakan oleh masyarakat.

Akan tetapi penyatuan kalender Jawa/Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, yaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tanggal 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tanggal 1 Suro, hari Selasa Pon). Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1555 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1555 Jawa (Sultan Agungan) yang digunakan sekarang.

Apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun pada 911 SM, maka saat ini (2021) adalah tahun 2932 Jawa (asli, bukan Saka, Jawa kini, atau Hijriah). Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun. Pembaruan sisten penanggalan yang dilakukan Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1633 Masehi dengan cara memadukan Tahun Saka dan Tahun Islam menjadi Tahun Islam-Jawa, adalah bukti penyatuan atau akulturasi agama Islam dan budaya Jawa yang luar biasa. Sehingga untuk 1 Muharram 1443 Hijriah ini bertepatan dengan 1 Sura 1955 Jawa atau 9 Agustus 2021.

Semoga sekilas sejarah penanggalan Jawa yang dirangkum dari berbagai sumber ini bermanfaat untuk kita semua, sehingga keberadaannya harus dilestarikan baik oleh kita maupun anak cucu kelak.  (Bersambung)

Ditulis oleh:
Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara
(Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti