spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sekolah Tua

(Bagian 1, Novel Bocah Bintan, Menggugah Harapan, Keyakinan dan Jiwa)

Bangunan sekolah itu memang kelihatan  sederhana. Paduan warna putih dan  dasar abu-abunya yang telah memudar semakin melukiskan  sederhananya sekolah itu. Atapnya terbuat dari bahan sirap atau kayu yang dipotong kecil-kecil serta tipis kemudian di atur berjejer rapi dibagian teratas  bangunan  itu, namun kami para siswanya selalu berkelit jika diejek oleh pelajar sekolah tetangga kami yang sudah memakai bahan atap asbes, selalu saja  dengan alasan bahwa sekolah kami itu menganut konsep ramah lingkungan, kendati seiring waktu berjalan kondisi dari  atap sirap sudah banyak yang rusak karena dimakan usia.

Tidaklah mengherankan, kami  para siswa kelas 5 SD saat itu  sudah terbiasa dengan   rembesan air hujan yang selalu mengalir dari sela-sela dinding bangunan kelas ketika hujan lebat turun, walau demikian tetap saja kami merasa nyaman berada didalamnya. Plafon  ruangan  terbuat dari bahan anyaman tembikar, itupun sudah ada yang berlubang dan rusak dibeberapa sudut, entahlah mungkin dilubangi oleh Tikus.

Sebagian dindingnya terbuat dari  kayu yang disusun berjejer sampai keatas menyentuh plafon ruangan kelas, tak ayal  banyak rayap  menjadikan  dinding kayu tersebut  sebagai rumah mereka, tiap kali kami bertugas piket menyapu  lantai kelas sebelum masuk jam aawal pelajaran, sampah wajibnya adalah kumpulan serbuk-serbuk kayu yang berserakan di lantai,  yang jelas bagi enam laki-laki yang duduk di bangku paling belakang  memiliki ketombe khusus yang sama dikepalanya, yaitu serbuk – serbuk kayu yang berjatuhan dari dinding kayu tersebut.

Lubang-lubang kecil  hasil buatan rayap itu  sering kami manfaatkan sebagai sumber informasi.  Tugas tambahan ketua kelas adalah memanfaatkan lubang tersebut untuk mencari tahu  keberadaan guru, apakah jam pelajaran berikutnya gurunya ada atau tidak, maka cukup di intip dari lubang itu, sebab ruangan kelas kami bersebelahan dengan ruangan para guru. Pak Basiran guru Ilmu Pengetahuan Sosial kami yang mejanya persis depan lubang tersebut sering menyumbat lubang rayap itu dengan gumpalan kertas, namun tetap saja tangan jahil selalu melepaskan sumbatan kertas itu.

Bangunan sekolah sederhana itu hanya memiliki 6 ruang kelas saja, sebuah ruangan perpustakaan merangkap Mushollah, sebuah dapur tua sekolah berukuran 3 x 2 m yang sebagian dindingnya berwarna hitam akibat terpaan asap kompor bi Minah, seorang janda tua yang  bertugas dapur di sekolahan itu.    Tepat disampingnya terdapat kamar mandi yang nyaris tidak ada yang mau pakai kamar mandi tersebut, Wicaksono teman kelas kami yang terkenal paling pembersih lebih baik memilih menahan buang air kecil dari pada harus masuk ke WC  tersebut. Selain itu kadang difungsikan menjadi penjara maut bagi siswa yang membandel, walau jujur aku salah satu alumninya  dihukum disitu.

BACA JUGA :  Komunikasi Multikultural Milenial di Era Normal Baru; Pola Komunikasi Multikultural dan Perubahannya pada Era Normal Baru

Dipojok kiri belakang sekolah berdiri warung tua yang nyaris roboh milik Ko’ Awie atau sapaan akrabnya babah sompret , para murid memanggilnya demikian karena jika dia marah sering mengumpat dengan kata-kata “dasar sompret !”. Seorang lelaki tua keturunan Tionghoa yang selalu setia menjaga warung kecilnya , sangking kecilnya ko’ Awie  lebih sering memilih duduk di kursi kayu bututnya sambil sesekali mengayunkan kipas anyaman dari bambu karena pengapnya udara dalam warungnya, walau sudah beranjak sepuh  ko’ Awie selalu ramah melayani para pelajar yang rutin membeli jajanan di warungnya,  kami tidak kuatir untuk jajan disitu karena pihak sekolah secara berkala selalu memantau dan memeriksa  makanan yang dijual disana, pihak sekolah tidak ingin mengambil resiko dengan kejadian yang pernah menimpa di sekolah tetangga beberapa pelajar mengalami keracunan makanan dan dilarikan ke rumah sakit akibat makan jajanan di warung sekolahan.

Ko’ Awie selalu melayani kami dengan kostum andalannya yaitu celana puntung dan  berbaju kaos oblong  yang warnanya sudah sulit untuk mengatakannya putih. Jajanan es Cincau dan es Kelapanya seringkali habis diserbu para murid , hebatnya kalau  sudah masuk musim  buah Rambutan dia juga menjual buah Rambutan di warungnya, jika musim layangan dia juga menjual layangan di warungnya, pokoknya barang-barang makanan dan jajanan sesuai permintaan  pasar. Jika  kami tidak punya uang  jangan kuatir bisa bon diwarungnya, karena Ko’ Awie orangya pelupa  kalender yang menempel di dinding warungnya merangkap sebagai catatannya, ko’ Awie menulis  dibalik kalender nama-nama siswa yang berhutang dan yang belum bayar. Ismail adalah teman kelasku yang menempati tangga teratas  berhutang di warungnya ko ‘Awie, lantaran namanya selalu di cari ko ‘Awie Ismail  pernah punya niat buruk menculik kalender itu, mungkin ingin menghilngkan jejak hutangnya.

Halaman belakang sekolah kam  persis dibelakang tepian bukit yang menghadap ke arah teluk, dari sana kelihatan perairan pelabuhan yang indah semakin membuat sekolah itu begitu eksotis dibalik kesederhanaanya. Disampingnya ada rumah bu Asmawati guru Ilmu Pengetahuan Alam kami yang menempati rumah dinas guru dilingkungan halaman belakang sekolah itu, hamparan rumput  hijau nan luas dan ditumbuhi sepuluh pohon cemara  tinggi besar yang berjejer rapi membuat udaranya begitu segar. Onggokan sebatang kayu cemara tua bekas tebangan diatas tanah menjadi tempat kami duduk menikmati jam-jam istirahat disana, sambil mendengar suara siulan angin sepoi-sepoi yang berhembus dari celah-celah dedaunan. Kami menyebut tempat itu sebagai taman  pemimpi, salah satu alasannya adalah karena kami sering tertidur disana.

BACA JUGA :  Ayah Kami Veteran RI, Pandai Mendongeng dan Menggambar

SDN 006 Kijang, Kecamatan Bintan Timur, begitu tertulis di papan nama sekolah dengan ukuran 1 x 2 meter bertengger di depan halaman sekolah, disudut bawah kanannya ada tulisan kecil  dengan spidol hitam, entah siapa yang menulisnya  yang jelas itu adalah warisan alumni angkatan sebelum kami, namun semua siswa yang sekolah disitu sepertinya setuju dengan tulisan yang tertera di papan nama sekolah itu.

Termasuk saat aku menjadi murid baru disana, karena mengikuti orangtuaku yang dipindahtugaskan ke Kijang, saat berada di depan papan nama tersebut, mataku tertuju ke tulisan kecil itu, sembari membacanya secara berbisik, ”aku pernah disini, awas ada guru killer….Selamat menikmati !”(tertanda pendahulumu). dalam perjalananku sekolah disana akhirnya aku tahu siapa guru yang dimaksudkan oleh tulisan tersebut.

Hamparan halaman luas dari tanah merah keras depan gedung sekolah itu menjadi saksi setiap senin pagi kami berkumpul melaksanakan upacara bendera dan tempat  bermain bola kaki serta permainan khusus anak laki-laki ”bola gebok”, permainan itu selalu menyebabkan temanku yang paling kecil menangis namanya Sumihar. Halaman luas itu mempertemukan 3 SDN lainnya, karena SDN kami berada ditengah diapit SDN 003 sebelah kiri dan SDN 1 serta SDN 004 disebelah kanan. Seluruh SD yang ada disitu selalu bersaing satu dengan yang lainnya, pokoknya dalam hal apapun apalagi jika sudah masalah adu lomba dalam rangka memperingati 17 Agusutus, sudah pasti menjadi ajang pembuktian eksistensi sekolah melalui aneka lomba yang dipertandingkan disana, hampir setiap tahun SDN 004 yang menjadi langganan juara umumnya dan bagi kami para siswa SDN 006, SDN 004 adalah musuh bebuyutan dalam setiap ajang  perlombaan apa saja.

Pilihanku untuk masuk ke sekolah ini bukan tanpa alasan, sebelum ayahku yang bekerja di PT aneka tambang (Antam) salah satu BUMN milik pemerintah bertugas di unit pertambanagn nikel (upn)  pulau Gebe  di kabupaten Halmahera tengah, pulau nan kecil terkadang di beberapa atlas Indonesiapun pulau ini tidak disebutkan namanya , akhirnya akan di mutasi ke unit pertambangan bauksit (upb) di Kijang di pulau Bintan.

Kijang tidak asing ditelingaku karena tetanggaku di samping rumah saat di pulau Gebe, namanya Imam Hermanto orang tuanya pernah berdinas di kijang selama 5 tahun, jadi darinya aku sedikit banyak mendapatkan informasi tentang daerah Kijang,  dia juga yang merekomendasikan agar diriku bisa melanjutkan sekolah di SDN 006 Kijang,  namun yang jelas dia tidak pernah bercerita  ada guru killer di sekolah itu .

BACA JUGA :  Deklarasi Balfour, Titik Awal Derita Palestina

Gedung sekolah warisan dari pemerintah kolonial Belanda ketika  mereka mengeksploitasi tambang bauksit disana sejak tahun 1924, penjajah Belanda mengeruk tanah bangsa ini yang banyak mengandung kandungan bauksit sebagai bahan utama menghasilkan aluminium, disebelah timur dari pulau Bintan, namanya Kijang , yah hanya sebuah daerah kecamatan kecil saja. Sebagian besar penduduknya menggantungkan kegiatan ekonominya dari kegiatan pengolahan pabrik bauksit yang dikelola oleh PT Antam Kijang milik Pemerintah, sejak tahun 1959 dimana Presiden Soekarno saat itu melakukan  era dinasionalisasi , pemerintah Indonesia mengambil semua aset tambang negeri ini dari warisan penjajah dan  kemudian mengelolahnya sendiri.

PT Antam turut menjadi lokomotif kegiatan kehidupan sehari-hari  warga Kijang,   berbagai sarana dan prasarana umum yang dibangun oleh pihak  perusahan turut dinikmati seluruh warga Kijang, seperti Rumah Sakit, taman bermain, gedung pertemuan, lapangan olah raga dan sebagainya, namun untuk pendidikan hanya ada satu  unit sekolah yang dibagun perusahan  itupun setingkat SMA saja karena memang belum ada sekolah  setingkat SMA yang dibangun pemerintah disana kala itu, mungkin itu adalah kebijakan perusahaan agar seluruh anak-anak di lingkungan PT Antam bisa memanfaatkan sekolah yang sudah ada dibangun pemerintah kabupaten, itulah yang menyebabkan kami semua berbaur menjadi satu tanpa melihat latar belakang kami masing-masing.

Daerah kecil nan asri penuh  dengan dinamika kegiatan tambang menjadi ritme utama pemandangan daerah Kijang. Bunyi sirine kerja dari corong tambang bauksit menjadi lagu rutin yang kami dengar setiap hari kerja, setiap jam 7 pagi dan jam 3 sore sebagai pertanda kegiatan kerja tambang para orang tua kami akan dimulai dan berakhir. Kijang dan bunyi sirine itu adalah satu ciri khas daerah itu, tanpa melihat penunjuk waktu  jika pagi hari sudah bunyi suara sirine tersebut, maka itulah waktu segera bergegas dan berangkat ke sekolah, Pernah beberapa siswa terlambat karena suatu waktu kerusakan pada sirene pabrik tersebut sehingga hari itu tidak terdengar bunyi sirine.  Kami para anak-anak disana menyebut suara sirine itu dengan istilah suling malaikat, tak tahu darimana asal penyebutannya , konon  karena kalau kami di bulan puasa saat bangun sahur dan akan berbuka selalu di ingatkan dengan bunyi sirine itu, katanya Malaikat yang sedang tiup suling agar bisa bangun makan sahur dan waktu berbuka. (***)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img