Pada permulaan pandemi menyebar ke seluruh dunia, negara-negara dihadapkan kepada beberapa pilihan. Pertama adalah menangani pandemi secara total dengan mengesampingkan perekonomian. Lockdown di Wuhan, Tiongkok, adalah contohnya. Pilihan kedua adalah kebalikannya seperti diambil Amerika Serikat pada era Donald Trump yang lebih pilih ekonomi. Indonesia, sebagaimana banyak negara, ambil cara moderat. Opsi itu ialah menangani pandemi sembari menjaga ekonomi.
Pilihan tersebut melahirkan tiga program utama yaitu penanganan di bidang kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dampak ekonomi. Skema ini berlaku di seluruh daerah. Maka semua pemerintah daerah, termasuk Kaltim, kemudian merealokasi anggaran. Sepanjang 2020, total dana yang dialihkan di Kaltim untuk pandemi mencapai Rp 1,5 triliun, sebagaimana catatan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri. Seluruh Rp 1,5 triliun itu berasal dari APBD Kaltim dan APBD sepuluh kabupaten/kota. Sebanyak Rp 783 miliar yang dibelanjakan. Sisanya, Rp 731 miliar, kembali ke kas daerah.
Masyarakat bisa menilai hasil belanja Rp 783 miliar tersebut. Fakta-faktanya saja; yang positif adalah kurva pandemi cenderung mulai melandai. Rumah sakit di Kaltim masih mampu menampung pasien Covid-19. Tidak ada gelimangan pasien di Kaltim seperti Brazil dan AS dahulu, maupun bak India sekarang. Ekonomi juga tetap berputar walaupun pertumbuhannya minus.
Fakta yang cenderung negatif seperti sekolah masih tutup. Kemudian, mudik antarkota dikebiri. Halalbihalal saat Idulfitri dibatasi. Ketika Lebaran, tempat liburan, mal, hotel, dan restoran terpaksa sepi, serta masih banyak lainnya.
DPRD Kaltim melalui Panitia Khusus Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) 2020 Gubernur Kaltim, juga memberikan catatan. Sepanjang 2020, target indeks pembangunan manusia (IPM) dan pertumbuhan ekonomi Kaltim tak tercapai. Sementara itu, penduduk miskin dan pengangguran di Bumi Etam meningkat.
Berandai-andai jika Kaltim sejak awal (diperbolehkan) mengambil skenario berbeda; lockdown total. Strategi tersebut terbilang sukses di beberapa negara. Di “kampung halamannya” virus corona, Wuhan, sudah bebas dari Covid-19 setelah karantina massal. Ribuan warganya kini menonton konser musik untuk merayakan kebebasan dari penjara corona.
Selandia Baru serupa. Meskipun sebuah negara, Selandia Baru sebenarnya hanya sebesar Kaltim. Luasnya 268 ribu kilometer persegi, hampir setara dengan Kaltim sebelum Kaltara berpisah. Pintu masuk negara dengan dua pulau utama di tenggara Australia ini mudah dijaga. Kaltim yang punya pintu masuk tak terbilang banyak juga sama. Sementara itu, jumlah penduduk Selandia Baru cuma 5 juta jiwa, lebih 1 juta jiwa dari Kaltim.
Selandia Baru telah menang melawan pandemi. Negeri Kiwi itu duduk di peringkat pertama dari 98 negara dengan kinerja terbaik menghadapi virus corona sebagaimana publikasi Covid Performance Index. Istimewanya, perang tersebut dimenangkan dalam tempo sekejap, kurang lebih dua bulan. Cerita singkatnya, Selandia Baru menerapkan sistem peringatan empat tahap. Keempat level ialah persiapan, pengurangan, pembatasan, dan lockdown. Pada 25 Maret 2020, karantina massal diberlakukan. Kini, negara itu telah bebas dari Covid-19.
Kaltim, melalui pernyataan Gubernur Isran Noor, sempat mewacanakan lockdown total se-provinsi pada tahun lalu. Akan tetapi, kebijakan karantina wilayah adalah kewenangan pusat. Waktu itu, pertanyaan yang paling sering diajukan dari kebijakan lockdown adalah pembiayaannya. Mampukah negara membiayai rakyat saat karantina? Maka banyak juga yang protes, “Kalau hari ini tak bekerja, mau makan apa?”
Bagaimana bila Kaltim seandainya memberlakukan karantina dengan biaya sendiri? Mari tengok perhitungan sederhana berikut ini. Andaikata Kaltim di-lockdown total, ada 3,7 juta jiwa atau 1,2 juta kepala keluarga yang perlu ditanggung. Data jumlah penduduk ini menukil catatan Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kaltim.
Makanan menjadi prioritas yang perlu ditanggung negara. Bagaimanapun, memaksa 1,2 juta keluarga berdiam di rumah haruslah dijamin pangannya. Diasumsikan saja, bahwa Rp 100 ribu per keluarga per hari adalah cukup. Uang segitu boleh ditukar 2 kilogram beras, 1 kilogram ikan atau daging ayam, dan sayur-mayur. Masih ada angsul buat beli 1 kilogram jeruk dan sedikit susu setiap hari. Dengan kata lain, masyarakat akan mendapatkan menu empat sehat lima sempurna selama 14 hari karantina.
Pukul rata saja seluruh 1,2 juta KK se-Kaltim yang ditanggung. Tak peduli kaya atau papa, PNS atau mahasiswa, buruh atau pengusaha. Satu keluarga akan menerima Rp 1,4 juta untuk 14 hari. Anggaran yang diperlukan adalah Rp 1,68 triliun. Beda tipis dari Rp 1,5 triliun dana penanggulangan Covid-19 yang disiapkan pemerintah daerah se-Kaltim sepanjang 2020.
Mengacu bukti ilmiah, virus corona dalam tubuh akan hilang dalam 14 hari. Jika skenario lockdown diambil, Kaltim kemungkinan besar steril dari virus tersebut. Setelah itu, pekerjaan pun menjadi lebih ringan. Kaltim hanya perlu memperketat kedatangan orang-orang dari luar daerah, sebagaimana yang sudah-sudah. Manakala kasus muncul lagi, rantai penularan mudah diputuskan. Penelusurannya tidak terlalu rumit dibanding ketika virus merajalela.
Lebih dari itu semua, masyarakat di sekujur provinsi tidak akan dibatas-batasi lagi. Kerumunan yang diperbolehkan, berarti produktivitas warga kembali ke sedia kala. Ekonomi turut berputar. Siswa-siswi juga boleh bertemu guru dan sahabat karib mereka di sekolah. Remaja Kaltim bisa menikmati masa muda mereka, mengunjungi konser Fourtwnty, misalnya, layaknya muda-mudi di Wuhan dan Selandia Baru. Saat lebaran, bisa berlibur bareng keluarga di Pantai Manggar atau Pulau Kumala. Dan seterusnya dan seterusnya, silakan berandai-andai bersama.
Semuanya itu sangat mungkin dicapai hanya dengan “pengorbanan” dua pekan. Dampak bergandanya pun, niscaya lebih besar dari Rp 1,64 triliun tadi. Dengan demikian, jika pertanyaannya adalah mampukah Kaltim lockdown, jawabannya mampu secara anggaran. Faktanya, tersisa Rp 2,95 triliun anggaran dalam APBD Kaltim 2020. Dana itu tidak terserap dan menjadi sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) sebagaimana catatan DPRD Kaltim. Bahkan jika untuk membiayai 14 hari lockdown sekarang pun, hanya setengah SilPA tadi yang diperlukan.
Karantina wilayah memang keputusan pemerintah pusat, bukan gubernur atau para bupati dan wali kota. Akan tetapi, daerah punya hak mengusulkannya. Lagi pula, jika daerah menyatakan mampu menanggung biaya, siapa tahu Jakarta bakal mempertimbangkannya. Masalahnya, bukan mampu atau tidak mampu; mau atau tidak mau. (*)
Oleh: Felanans Mustari