spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

RUU Pemilu, Minta Sanksi untuk Parpol yang Tak Akomodir 30 Persen

JAKARTA – Ketua Umum Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI) Dwi Septiawati Djafar meminta, DPR RI memperkuat afirmasi keterwakilan perempuan dalam rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu. Salah satunya, ketentuan partai politik harus menempatkan 30 persen calon legislatif perempuan di nomor urut atas atau satu.

“Kalau kemudian nanti partai politik tidak bisa menempatkan perempuan minimal 30 persen dapil (daerah pemilihan) pada nomor urut satu, saya pikir ini bisa dibuatkan sanksinya,” ujar Dwi dalam diskusi virtual ‘RUU Pemilu: Di mana Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan?’, Jumat (26/6) lalu.

Menurut dia, keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat meningkatkan pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan negara. Sebab, jumlah politikus perempuan di parlemen masih 20 persen dari jumlah keseluruhan anggota DPR, jauh dari angka ideal 30 persen.

Tak hanya DPR RI, ia mengatakan, afirmasi keterwakilan perempuan juga seharusnya sampai ke legislatif tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Ia mengusulkan, keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/Kota diatur dalam undang-undang.

Dengan demikian, partai politik dipaksa oleh regulasi perundang-undangan agar mematuhi 30 persen keterwakilan perempuan. Sehingga, kata Dwi, setiap dapil terdapat calon legislatif (caleg) perempuan sebanyak 30 persen dari jumlah calon yang diusung masing-masing partai di dapil itu.

Tak hanya itu, caleg perempuan juga perlu ditempatkan di urutan atas bahkan satu di kertas suara. Hal ini sebagai upaya meningkatkan keterpilihan perempuan dan memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen.

“Kemudian 30 persen jumlah caleg perempuan dalam setiap dapil itu memaksa parpol menempatkan 30 persen, kalau tidak, tidak bisa ikut berkompetisi di dapil itu,” kata Dwi.

Selain itu, menurut dia, perempuan yang maju dalam kontestasi politik harus memahami isu-isu berkaitan dengan perempuan dan keberpihakan perempuan. Ia menyarankan agar UU Pemilu menggunakan sistem merit dalam proses pencalonan.

Ia menjelaskan, merit sistem yang dimaksud ialah mewajibkan syarat keanggotaan partai politik (parpol), minimal dua tahun sebelum masa pencalonan legislatif. Maka, calon yang maju dalam pemilihan memiliki latar belakang politik yang mumpuni.

“Jadi tidak ujug-ujug, tiba masanya datang, terdaftar sebagai anggota parpol, mendapatkan KTA (kartu tanda anggota), dan langsung terdaftar sebagai caleg dengan nomor yang bagus pula, dengan kemudian menyingkirkan perempuan-perempuan aktivis yang sudah berjuang dengan partai politik itu,” tutur Dwi.

Ia mengaku, KPPI telah menyampaikan surat ke DPR terkait usulan-usulan kebijakan afirmasi Keterwakilan perempuan dalam RUU Pemilu. Dwi berharap, pihaknya dapat diundang ke rapat pembahasan RUU Pemilu di DPR untuk menjelaskan ide dan gagasannya tersebut.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung berjanji akan membuka ruang dan masukan dari publik terhadap RUU Pemilu. Sebab, revisi UU Pemilu kali ini akan dilakukan secara komprehensif, dengan demikian pendapat masyarakat penting.

“Kami mungkin nanti akan memberi kesempatan RDP (rapat dengar pendapat), mungkin ada sesi khusus untuk kelompok perempuan untuk menyampaikan aspirasi. nanti saya cek juga surat yang disampaikan,” kata Doli dalam diskusi yang sama.

Diketahui, Komisi II DPR RI tengah menggodok draf RUU Pemilu. Revisi UU Pemilu masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2020.  (*/rd)

Artikel ini telah dimuat republika.co.id, judul: RUU Pemilu, DPR Diminta Perkuat Keterwakilan Perempuan

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti