SAMARINDA – Kesabaran sejumlah Warga Tionghoa kian tidak terbendung seiring dengan peniadaan tata ritual persembahyangan yang dilakukan oleh Ketua Kelenteng Thien Ie Kong, Untung Brawijaya. Keinginan umat agar tata ritual dikembalikan seperti semula, yang disuarakan sejak satu tahun lalu belum juga ditanggapi jajaran pengurus Kelenteng.
Berkaitan dengan hal itu, sejumlah warga Tionghoa yang tergabung dalam Forum Umat Peduli Kelenteng Thien Ie Kong Samarinda (FUPK-TIK Samarinda) mendesak agar pihak pengelola segera mengembalikan tata ritual persembahyangan yang telah berlangsung sejak 116 tahun.
Desakan itu disampaikan Ketua FUPK-TIK Samarinda Ali Gunawan kepada sejumlah wartawan pada jumpa pers yang berlangsung di Aula Balai Wartawan Kaltim, di Samarinda, Minggu (9/5/2021). Menurut dia, kesabaran umat sudah habis, karena dalam satu tahun terakhir tidak ada itikad baik dari pengelola kelenteng yang diamanahkan, di bawah kendali Untung Brawijaya.
Desakan tersebut, terpaksa dilakukan sejumlah umat yang khawatir, jika ritual yang saat ini tidak dikembalikan seperti semula, akan berdampak timbulnya aura negatif dan otomatis membuat energi positif sirna di kelenteng yang terletak di bilangan Yos Sudarso Nomor 21 Samarinda itu.
Kegelisahaan yang dirasakan satu tahun terakhir, membuat umat tidak bisa beribadah dengan hati tentram, sementara tidak sedikitpun terlihat itikad baik dari pengelola untuk mengembalikan tata ritual kelenteng seperti semula.
Bahkan, FUP-TIK Samarinda, memberikan waktu empat hari kepada pengelola kelenteng untuk mengembalikan tata ritual seperti semula. Apabila dalam waktu empat hari tidak ada tanggapan, maka dengan terpaksa umat akan bertindak dengan mengembalikan tata ritual seperti semua secara mandiri.
“Apabila dalam waktu empat hari, terhitung sejak Senin, 10 Mei 2021 pengelola kelenteng tidak mengembalikan tata ritual seperti semula, jangan salah kami jika bertindak sendiri untuk mengembalikan tata ritual persembahyangan yang telah berlangsung 116 tahun di kelenteng ini,” kata Ali.
Karena itu, dia minta demi kepentingan umat. Kepada pengelola kelenteng tidak terus memaksakan tata ritual persembahyangan yang terjadi saat ini, sebab menyebabkan kegelisahan dan ketidaktentraman umat dalam beribadah.
Tuntutan atau desakan yang disampaikan FUP-TIK Samarinda, merupakan aspirasi yang datang dari umat dan demi kepetingan seluruh umat agar dapat beribdah dengan hati tenang di Kelenteng Tien Ie Kong.
Seperti diketahui peniadaan tata ritual yang dilakukan oleh Ketua Kelenteng dan jajarannya, menimbulkan pertanyaan dan kegelisahan dari sejumlah umat, karena hal tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan umat dan sejumlah pengurus kelenteng lainnya.
Peniadaan yang diamksud, yakni atribut atau peralatan peribadatan yang biasa ditemui di masing-masing altar singgasana para Dewa di dalam kelenteng yang berdiri sejak 1905 itu, justru berubah dan bahkan dihilangkan, sehingga berdampak terhadap suasana kebatinan yang dirasakan ketika berdoa di depan Dewa yang sudah tidak dilengkapi sejumlah atribut seperti biasanya.
Padahal sebagai pengurus kelenteng, hanya bertugas melayani atau memfasilitasi keperluan atau kepentingan umat untuk urusan peribadahan. Tetapi tidak berhak atau memiliki kewenangan mengubah ritual peribadatan, apalagi yang sifatnya sangat mendasar. “Jika hal seperti ini dibiarkan, dikhawatirkan akan berkembang lebih parah dan akan terjadi ritual yang menyimpang,” katanya.
Disebutkan di kelenteng tersebut terdapat tujuh Dewa yang memiliki kelebihan masing-masing. Salah satunya merupakan Dewa tuan rumah. Setiap Dewa biasanya dilengkapi sejumlah atribut. Berupa tempat dupa, tempat lilin, minyak serta tempat untuk menaruh sesembahan dari umat.
Namun sejak sejak Juni 2020, semuanya berubah. Para Dewa sudah tidak lagi dilengkapi sejumlah atribut pelengkap seperti biasanya. Altar persembahyangan dan perlengkapan yang biasa ada di dekat Dewa, ditiadakan.
Tata ritual yang selama ini dilakukan oleh para leluhur, memegang teguh pada ajaran Tri Dharma dan berpedoman pada Kitab Tao. Termasuk yang dilakukan oleh umat yang sembahyang di Kelenteng TIK Samarinda dan itu sudah berlangsung sejak 116 tahun lalu.
Dari informasi yang diperoleh, peniadaan tata ritual tersebut dilakukan dengan alasan keamanan dan mengurangi risiko kebakaran. Menurut Ali, alasan tersebut tidak mendasar. Karena selama ini, tidak pernah terjadi apa-apa di kelenteng tersebut walaupun banyak dupa dan lilin yang mengelilingi di sekitar para Dewa. Risiko banyak asap dupa dan bahaya kebakaran yang mungkin dijadikan alasan tersebut, katanya, sangat tidak tepat.
“Kelenteng, pasti banyak dupa dan banyak asap. Selama ratusan tahun tidak pernah terjadi apa-apa. Juga tidak ada keluhan. Sehingga perubahan yang terjadi terkesan sepihak tanpa melibatkan sejumlah pihak yang berkompeten, termasuk prosesi kerasukan yang dilakukan juga kami nilai sangat tidak mendasar,” tegasnya.
Peniadaan itu melanggar etik beribadah. Juga mengganggu religi serta kebatinan umat ketika memanjatkan doa di hadapan para Dewa yang tidak dilengkapi sejumlah atribut lagi. Apalagi setiap aturan dan perlengkapan para Dewa di altar memiliki pertimbangan Feng Shui yang sudah begitu dipercaya. Feng Shui adalah ilmu topografi kuno dari China yang memercayai bagaimana manusia, surga, dan bumi dapat hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan. (rls/red)